Millet adalah sistem yang diterapkan di Kesultanan Utsmaniyah untuk mengatur hukum yang berlaku untuk setiap komunitas agama. Berdasarkan sistem ini, umat Muslim mengikuti hukum syariah, umat Kristen menaati hukum gereja, dan umat Yahudi mengikuti hukum halakha.

Walaupun sering disebut dengan menggunakan istilah "sistem", sebelum abad ke-19, millet tidak diberlakukan secara sistematis di Kesultanan Utsmaniyah. Komunitas-komunitas non-Muslim hanya diberi otonomi tanpa adanya struktur "millet" yang mencakup komunitas-komunitas tersebut secara keseluruhan. Gagasan mengenai millet-millet yang terpisah untuk berbagai komunitas keagamaan di Utsmaniyah baru muncul pada abad ke-18.[1]

Pada abad ke-19, ketika nasionalisme tengah bangkit di Kesultanan Utsmaniyah, dilancarkan reformasi Tanzimat (1839–76) yang berujung pada penggunaan istilah "millet" untuk kelompok minoritas yang dilindungi secara hukum, mirip dengan bagaimana negara-negara saat ini menggunakan istilah "bangsa". Kata "millet" berasal dari bahasa Arab millah (ملة) yang secara harfiah berarti "bangsa".[2] Sistem millet telah disebut sebagai contoh pluralisme agama pada zaman pra-modern.[3]

Referensi sunting

  1. ^ Masters, Bruce (2001). Christians and Jews in the Ottoman Arab World: The Roots of Sectarianism. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 61–2. ISBN 978-0-521-80333-5. 
  2. ^ Masters, Bruce (2009). "Millet". Dalam Ágoston, Gábor; Bruce Masters. Encyclopedia of the Ottoman Empire. hlm. 383–4. 
  3. ^ Sachedina, Abdulaziz Abdulhussein (2001). The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Oxford University Press. hlm. 96–97. ISBN 978-0-19-513991-4. The millet system in the Muslim world provided the pre-modern paradigm of a religiously pluralistic society by granting each religious community an official status and a substantial measure of self-government.