Misinformasi vaksinasi

informasi yang tidak benar atau menyesatkan mengenai vaksin

'Misinformasi imunisasi dan penggunaan vaksin adalah misinformasi yang beredar di media massa dan media sosial untuk melawan penyebaran penggunaan vaksin[1][2][3] meskipun tidak ada keraguan serius atau perdebatan dalam lingkaran medis dan ilmiah arus utama tentang manfaat vaksinasi.[4] Kekhawatiran yang tidak berdasar tentang keamanan vaksin sering disajikan di internet sebagai informasi ilmiah.[5] Sebagian besar sumber internet tentang topik ini tidak akurat, walau sebagiannya mungkin benar, yang dapat menyebabkan orang yang mencari informasi mempercayai kesalahpahaman tentang vaksin.[6]

Meskipun perlawanan terhadap vaksinasi telah ada selama berabad-abad, kehadiran internet dan media sosial pada masa kini makin memfasilitasi penyebaran misinformasi terkait vaksin dengan lebih cepat dan masif.[7] Penyebaran informasi palsu yang disengaja dan teori konspirasi telah dipropagasi oleh masyarakat umum dan selebriti.[8] Kampanye misinformasi maupun disinformasi secara aktif oleh selebriti asing terkait dengan peningkatan diskusi negatif secara daring dan penurunan penggunaan vaksin terus meningkat seiring waktu.[9]

Berbeda dengan disinformasi vaksinasi, misinformasi vaksinasi mungkin tidak sepenuhnya keliru, dan penyesatan yang dilakukan tidak menyeluruh, namun cukup untuk merusak persepsi masyarakat tentang vaksin.

Penyebaran dan perkembangan

sunting

Survei oleh Royal Society for Public Health menemukan kenyataan bahwa 50 persen dari orang tua yang memiliki anak di bawah usia lima tahun secara teratur menemukan misinformasi terkait vaksinasi di media sosial.[10] Di media sosial X, bot yang menyamar sebagai pengguna asli, ditemukan berusaha menciptakan kesan palsu bahwa jumlah individu di kedua sisi perdebatan hampir sama, sehingga bisa dianggap menyebarkan informasi menyesatkan terkait vaksinasi dan keamanan vaksin.[11] Akun-akun yang dibuat oleh bot menggunakan cerita tambahan yang menarik terkait anti-vaksinasi sebagai sebuah teknik clickbait untuk meningkatkan pendapatan mereka dan mengekspos pengguna pada malware.[11]

Sebuah studi mengungkapkan bahwa Michael Manoel Chaves, seorang mantan paramedis yang dipecat oleh NHS akibat melakukan pelanggaran berat setelah menculik dua pasien yang sedang dia rawat, terlibat dengan komunitas anti-vaksinasi. Orang-orang seperti ini sebelumnya tertarik pada pengobatan alternatif atau teori konspirasi.[12] Studi lain menunjukkan bahwa kecenderungan untuk mempercayai teori konspirasi berkorelasi negatif dengan niat individu untuk divaksinasi.[13]

Penyebaran misinformasi tentang vaksin dapat menghasilkan keuntungan finansial dengan memposting di media sosial, kemudian meminta sumbangan atau penggalangan dana untuk tujuan kampanye anti-vaksinasi.[12]

Dampak

sunting

Didorong oleh misinformasi, aktivisme anti-vaksinasi terus meningkat di media sosial dan di banyak negara.[14] Penelitian menunjukkan, bahwa melihat situs web yang mengandung misinformasi vaksin selama 5–10 menit dapat mengurangi niat seseorang untuk divaksin.[15][16] Sebuah studi tahun 2020 menemukan bahwa "sebagian besar konten tentang vaksin di situs media sosial populer berisi pesan-pesan anti-vaksinasi." Studi itu juga menemukan adanya hubungan signifikan antara bergabung dengan kelompok yang meragukan efek vaksin di media sosial dengan keraguan terbuka terhadap keamanan vaksin, serta hubungan substansial antara kampanye disinformasi asing dan penurunan cakupan vaksinasi.[17]

Pada tahun 2003, sebuah rumor tentang vaksin polio terbukti telah meningkatkan keraguan vaksinasi di Nigeria dan menyebabkan peningkatan lima kali lipat jumlah kasus polio di negara tersebut selama tiga tahun.[18][19] Sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa misinformasi tentang vaksin COVID-19 di media sosial "menyebabkan penurunan niat [untuk vaksinasi] sebesar 6,2 persen di Inggris dan 6,4 persen di Amerika Serikat di antara mereka yang sebelumnya mengatakan pasti akan menerima vaksin."[5]

Media sosial lagi-lagi menjadi platform utama penyebaran cepat misinformasi vaksin selama pandemi terjadi. Sebagai contoh, sebuah studi tahun 2020 tentang opini publik terkait vaksin COVID-19 domestik China menemukan sekitar seperlima dari unggahan di weibo terkait vaksin mengklaim bahwa vaksin COVID-19 umumnya terlalu mahal, sekalipun sebenarnya diberikan kepada masyarakat secara gratis. Banyak orang di China juga percaya bahwa vaksin inaktif lebih aman dibandingkan vaksin mRNA SARS-Covid-2 yang baru dikembangkan. Penyebabnya bisa jadi kombinasi antara kebanggaan nasional dan kurangnya literasi vaksin.[20]

Secara umum, misinformasi terkait vaksin COVID-19 mengurangi kepercayaan publik. Penerimaan publik terhadap vaksin COVID-19 domestik China turun secara signifikan karena kekhawatiran tentang kemungkinan biayanya yang tinggi. Sebuah survei daring menunjukkan hanya 28,7 persen peserta yang menyatakan minat pasti untuk divaksinasi. Sebagian besar orang, atau 54,6 persen, menyimpan keraguan terhadap vaksin.[21]

Dari fakta ini terlihat bahwa isu misinformasi yang sebenarnya tidak relevan dengan bahaya penggunaan vaksin, cukup untuk merusak kepercayaan masyarakat terhadap vaksin.

Upaya melawan misinformasi

sunting

Secara umum telah disadari bahwa paparan berulang kali terhadap misinformasi, misalnya melalui media sosial, membuat individu dapat memiliki model mental yang keliru mengenai fungsi, risiko, dan tujuan vaksin. Semakin lama seseorang tertular misinformasi, semakin kuat pula misinformasi itu tertanam dalam model mental mereka, sehingga koreksinya menjadi lebih sulit dilakukan.[22] Lebih jauh lagi, seiring waktu, model ini dapat menjadi bagian integral dari pandangan individu yang ragu terhadap vaksin terhadap keseluruhan dunia yang mereka tinggali. Manusia memang cenderung menyaring informasi baru yang mereka terima agar sesuai dengan pandangan dunia mereka yang sudah ada.[23] – fakta vaksin yang bersifat korektif pun tidak terkecuali untuk pola pikir ini. Dengan demikian, pada saat individu sudah menjadi ragu terhadap vaksin tiba di kantor dokter, tenaga kesehatan, maka dia sudah menjadi tantangan yang berat terhadap sosialisasi vaksin. Jika ingin mengubah pemikiran mereka dan mempertahankan kekebalan kelompok terhadap penyakit yang dapat dicegah, maka yang harus dilakukan harus lebih dari sekadar menyajikan fakta tentang vaksin. Penyedia layanan kesehatan membutuhkan strategi komunikasi yang efektif untuk mengubah pikiran dan perilaku mereka yang sudah terlanjur sulit percaya vaksin.

 
Communication strategies to tackle vaccine misinformation

Strategi komunikasi untuk melawan misinformasi vaksin dan secara efektif untuk meningkatkan niat mau divaksinasi meliputi komunikasi konsensus ilmuwah bahwa vaksin aman dan efektif, penggunaan humor untuk menghilangkan ketegangan yang diciptakan mitos vaksin, dan pemberian peringatan tentang misinformasi vaksin. Dibandingkan dengan usaha-usaha seperti ini, membantah misinformasi vaksin dan menyediakan materi edukasi vaksin sebenarnya kurang efektif dalam mengatasi misinformasi. Taktik menakut-nakuti, dan kegagalan untuk mengakui ketidakpastian, tidak efektif dan bahkan dapat berbalik arah serta memperburuk kondisi korbannya yang tidak mau divaksinasi.[24][25]

Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang terlibat dalam komunikasi ilmiah harus secara langsung melawan misinformasi karena pengaruh negatifnya pada audiens pasif yang mengamati perdebatan vaksin, sekalipun tidak terlibat langsung di dalamnya.[26] Bantahan terhadap misinformasi vaksin haruslah sesederhana mungkin untuk menghindari penekanan pada misinformasi tersebut.[26] Menggabungkan bukti ilmiah dengan cerita yang terhubung pada sistem kepercayaan dan nilai audiens juga bermanfaat.[26]

Beberapa lembaga pemerintah, seperti Centers for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat dan National Health Service (NHS) di Inggris, telah menyediakan laman web khusus untuk memerangi misinformasi terkait vaksin.[27][28]

referensi

sunting
  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Geoghegan
  2. ^ "Misinformation about the vaccine could be worse than disinformation about the elections". POLITICO (dalam bahasa Inggris). 21 December 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 February 2021. Diakses tanggal 3 January 2021. 
  3. ^ Zadrozny, Brandy (30 November 2020). "Covid-19 vaccines face a varied and powerful misinformation movement online". NBC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 1 June 2023. 
  4. ^ Dubé, Ève; Ward, Jeremy K.; Verger, Pierre; MacDonald, Noni E. (1 April 2021). "Vaccine Hesitancy, Acceptance, and Anti-Vaccination: Trends and Future Prospects for Public Health". Annual Review of Public Health (dalam bahasa Inggris). 42 (1): 175–191. doi:10.1146/annurev-publhealth-090419-102240 . ISSN 0163-7525. PMID 33798403 Periksa nilai |pmid= (bantuan). the scientific and medical consensus on the benefits of vaccination is clear and unambiguous 
  5. ^ a b Loomba, Sahil; de Figueiredo, Alexandre; Piatek, Simon J.; de Graaf, Kristen; Larson, Heidi J. (5 February 2021). "Measuring the impact of COVID-19 vaccine misinformation on vaccination intent in the UK and USA". Nature Human Behaviour. 5 (3): 337–348. doi:10.1038/s41562-021-01056-1 . PMID 33547453 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  6. ^ Kortum, Philip; Edwards, Christine; Richards-Kortum, Rebecca (30 June 2008). "The Impact of Inaccurate Internet Health Information in a Secondary School Learning Environment". Journal of Medical Internet Research. 10 (2): e986. doi:10.2196/jmir.986 . PMC 2483927 . PMID 18653441. 
  7. ^ Hoffman, Beth L.; Felter, Elizabeth M.; Chu, Kar-Hai; Shensa, Ariel; Hermann, Chad; Wolynn, Todd; Williams, Daria; Primack, Brian A. (10 April 2019). "It's not all about autism: The emerging landscape of anti-vaccination sentiment on Facebook". Vaccine. 37 (16): 2216–2223. doi:10.1016/j.vaccine.2019.03.003. PMID 30905530. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 November 2020. Diakses tanggal 2 January 2021. 
  8. ^ Gillmor, Dan; Corman, Steven; Simeone, Michael (July 11, 2021). "The Power of Local Celebrities in the Fight against Vaccine Hesitancy". Scientific American (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 6 January 2023. 
  9. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Wiysonge
  10. ^ Burki, Talha (1 October 2019). "Vaccine misinformation and social media". The Lancet Digital Health (dalam bahasa English). 1 (6): e258–e259. doi:10.1016/S2589-7500(19)30136-0 . ISSN 2589-7500. 
  11. ^ a b Broniatowski, David A.; Jamison, Amelia M.; Qi, SiHua; AlKulaib, Lulwah; Chen, Tao; Benton, Adrian; Quinn, Sandra C.; Dredze, Mark (October 2018). "Weaponized Health Communication: Twitter Bots and Russian Trolls Amplify the Vaccine Debate". American Journal of Public Health. 108 (10): 1378–1384. doi:10.2105/AJPH.2018.304567. PMC 6137759 . PMID 30138075. 
  12. ^ a b "Normalization of vaccine misinformation on social media amid COVID 'a huge problem'". ABC News (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 December 2020. Diakses tanggal 3 January 2021. 
  13. ^ Bertin, Paul; Nera, Kenzo; Delouvée, Sylvain (2020). "Conspiracy Beliefs, Rejection of Vaccination, and Support for hydroxychloroquine: A Conceptual Replication-Extension in the COVID-19 Pandemic Context". Frontiers in Psychology. 11: 565128. doi:10.3389/fpsyg.2020.565128 . PMC 7536556 . PMID 33071892 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  14. ^ DiResta, Renée (20 December 2020). "Anti-vaxxers Think This Is Their Moment". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 December 2020. Diakses tanggal 2 January 2021. 
  15. ^ Betsch, Cornelia; Renkewitz, Frank; Betsch, Tilmann; Ulshöfer, Corina (26 March 2010). "The Influence of Vaccine-critical Websites on Perceiving Vaccination Risks". Journal of Health Psychology. 15 (3): 446–455. doi:10.1177/1359105309353647. PMID 20348365. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 January 2021. Diakses tanggal 2 January 2021. 
  16. ^ Chou, Wen-Ying Sylvia; Oh, April; Klein, William M. P. (18 December 2018). "Addressing Health-Related Misinformation on Social Media". JAMA (dalam bahasa Inggris). 320 (23): 2417–2418. doi:10.1001/jama.2018.16865. ISSN 0098-7484. PMID 30428002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 January 2021. Diakses tanggal 2 January 2021. 
  17. ^ Wilson, Steven Lloyd; Wiysonge, Charles (1 October 2020). "Social media and vaccine hesitancy". BMJ Global Health (dalam bahasa Inggris). 5 (10): e004206. doi:10.1136/bmjgh-2020-004206 . ISSN 2059-7908. PMC 7590343 . PMID 33097547 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  18. ^ "Vaccine Hesitancy, an Escalating Danger in Africa | Think Global Health". Council on Foreign Relations (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2020. Diakses tanggal 2 January 2021. 
  19. ^ Wiysonge, Charles Shey (3 November 2020). "How ending polio in Africa has had positive spinoffs for public health". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2020. Diakses tanggal 2 January 2021. 
  20. ^ Yin, Fulian; Wu, Zhaoliang; Xia, Xinyu; Ji, Meiqi; Wang, Yanyan; Hu, Zhiwen (2021-01-15). "Unfolding the Determinants of COVID-19 Vaccine Acceptance in China". Journal of Medical Internet Research (dalam bahasa Inggris). 23 (1): e26089. doi:10.2196/26089 . PMC 7813210 . PMID 33400682 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  21. ^ Lin, Yulan; Hu, Zhijian; Zhao, Qinjian; Alias, Haridah; Danaee, Mahmoud; Wong, Li Ping (2020-12-17). "Understanding COVID-19 vaccine demand and hesitancy: A nationwide online survey in China". PLOS Neglected Tropical Diseases (dalam bahasa Inggris). 14 (12): e0008961. doi:10.1371/journal.pntd.0008961 . ISSN 1935-2735. PMC 7775119 . PMID 33332359 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  22. ^ Ecker, Ullrich K.H.; Lewandowsky, Stephan; Cheung, Candy S.C.; Maybery, Murray T. (November 2015). "He did it! She did it! No, she did not! Multiple causal explanations and the continued influence of misinformation". Journal of Memory and Language (dalam bahasa Inggris). 85: 101–115. doi:10.1016/j.jml.2015.09.002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 December 2020. Diakses tanggal 29 March 2021. 
  23. ^ Kunda, Ziva (1990). "The case for motivated reasoning". Psychological Bulletin (dalam bahasa Inggris). 108 (3): 480–498. doi:10.1037/0033-2909.108.3.480. ISSN 1939-1455. PMID 2270237. 
  24. ^ Whitehead, Hannah S.; French, Clare E.; Caldwell, Deborah M.; Letley, Louise; Mounier-Jack, Sandra (2023-01-27). "A systematic review of communication interventions for countering vaccine misinformation". Vaccine (dalam bahasa Inggris). 41 (5): 1018–1034. doi:10.1016/j.vaccine.2022.12.059. ISSN 0264-410X. PMC 9829031  Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 36628653 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  25. ^ "How to tackle vaccine misinformation: what works and what doesn't?". NIHR Evidence. 13 July 2023. doi:10.3310/nihrevidence_58944. 
  26. ^ a b c Steffens, Maryke S.; Dunn, Adam G.; Wiley, Kerrie E.; Leask, Julie (23 October 2019). "How organisations promoting vaccination respond to misinformation on social media: a qualitative investigation". BMC Public Health. 19 (1): 1348. doi:10.1186/s12889-019-7659-3 . ISSN 1471-2458. PMC 6806569 . PMID 31640660. 
  27. ^ "Why vaccination is safe and important". nhs.uk (dalam bahasa Inggris). 31 July 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 January 2021. Diakses tanggal 2 January 2021. 
  28. ^ "Questions and Concerns | Vaccine Safety | CDC". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). 25 August 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 January 2021. Diakses tanggal 2 January 2021.