Mohammad Noer

Mantan Gubernur Jawa Timur

Raden Panji Mohammad Noer (13 Januari 1918 – 16 April 2010), adalah Gubernur Jawa Timur pada masa bakti 1967 - 1976. Ia meniti karier dari bawah sebagai pegawai magang di Kantor Kabupaten Sumenep, Asisten Wedana, Patih (Wakil Bupati), Bupati Kabupaten Bangkalan, Residen (Pembantu Gubernur), Pejabat Sementara Gubernur Jawa Timur, hingga menjadi seorang Gubernur Jawa Timur.

Mohammad Noer
Foto resmi Mohammad Noer sebagai Gubernur Jawa Timur
Duta Besar Indonesia untuk Prancis
Masa jabatan
1976–1980
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Achmad Tahir
Pengganti
Barli Halim
Sebelum
Gubernur Jawa Timur ke-7
Masa jabatan
1967–1976
Informasi pribadi
Lahir13 Januari 1918
Sampang, Hindia Belanda
Meninggal16 April 2010(2010-04-16) (umur 92)
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Partai politikGolongan Karya
Suami/istriMas Ayoe Siti Rachma
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

“Agawe Wong Cilik Melu Gumuyu” (membuat rakyat kecil ikut tertawa) adalah ungkapan terkenal yang disampaikannya di depan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Maret 1973, sebagai Ketua Fraksi Utusan Daerah. Sejak itu ia sering disebut dengan "gubernurnya rakyat kecil".[1] Ia akrab disapa masyarakat Jawa Timur dengan sebutan Cak Noer.

Mohammad Noer juga pernah bertugas sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Prancis di mana ia berhasil mempromosikan potensi wisata Indonesia di mata dunia. Mohammad Noer dikenal pula sebagai penggagas Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura, daerah asalnya, yang telah ia impikan sejak menjadi Patih (Wakil Bupati) Kabupaten Bangkalan pada tahun 1950-an.

Riwayat Hidup sunting

Latar belakang dan keluarga sunting

Raden Panji Mohammad Noer dilahirkan di Kampung Beler, Desa Rong Tengah, sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten Sampang, Madura.[2] Mohammad Noer adalah putra ke-7 dari keluarga bangsawan pasangan Raden Aria Condropratikto dan Raden Ayu Siti Nursiah.[3]

Masa kanak-kanak Mohammad Noer di Kampung Beler tersebut menjadi titik awal yang menggugah hatinya untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu menolong rakyat kecil. Pada suatu malam, Mohammad Noer kecil menyaksikan rombongan rakyat dengan obor, menyandang pikulan dengan keranjang bermuatan yang berat, berbondong-bondong menaiki perahu-perahu kecil dan mengarungi Selat Madura. Ia bertanya-tanya, apa sesungguhnya makna dari kejadian tersebut. Baru lama setelah itu, ia baru menyadari bahwa sesungguhnya rakyat Sampang dihantui oleh kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan hidup lain yang mendorong mereka untuk merantau demi mempertahankan hidup di seberang laut yaitu Pasuruan, Probolinggo, Panarukan, serta daerah lainnya seperti Kalimantan dan Sulawesi.[4] Hal inilah yang menjadi pelecut baginya dan membulatkan tekadnya untuk berbuat sesuatu guna memperbaiki keadaan tanah kelahirannya yang kering tandus itu.

Mohammad Noer menikah pada 9 Mei 1941 dengan Mas Ayoe Siti Rachma dan dikaruniai 8 (delapan) orang anak yang terdiri dari 4 (empat) perempuan dan 4 (empat) laki-laki.[5]

Riwayat pendidikan sunting

Mohammad Noer mengawali pendidikan formalnya di HIS (Hollands Inlandse School), sekolah tingkat dasar yang didirikan pemerintah Belanda untuk anak-anak kalangan aristokrasi Indonesia.[6] Mohammad Noer bisa dikatakan sangat beruntung, sebagai cucu seorang bupati ia memenuhi syarat untuk memasuki sekolah priyayi tersebut. Disini Mohammad Noer diajarkan bahasa Belanda, bahasa Melayu, serta bahasa daerah. Pada tingkat sekolah ini, Mohammad Noer mulai memiliki kesadaran dan kesenangan akan membaca. Karya yang digemarinya adalah Siti Nurbaya dan karya-karya fiksi ilmiah karangan Jules Verne. Mohammad Noer lulus dari HIS pada tahun 1932.

Setelah menyelesaikan studinya di HIS, Mohammad Noer kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).[7] Awalnya Mohammad Noer disekolahkan ayahnya di MULO Surabaya, namun setahun kemudian ia dipindahkan ke MULO Blitar. Kepindahan ini mungkin karena ayahnya telah mempersiapkan agar ia kelak dapat memasuki sekolah pangreh praja. Mohammad Noer lulus dari MULO pada tahun 1936.

Mohammad Noer kemudian melanjutkan studinya di MOSVIA (Middelbare Opleidingschool voor Inlandse Ambtenaren).[8] MOSVIA merupakan sekolah pangreh praja menengah yang didirikan oleh pemerintan kolonial Belanda, yang diperuntukkan bagi calon pemimpin bumiputera. Mohammad Noer menerima konsep kepemimpinan priyayi atau kepanjangan tangan penguasa Belanda. Ia sebetulnya berkeinginan untuk masuk ke sekolah pertanian yang bernama MLS (Middelbare Landbouwschool), karena dilandasi oleh kondisi desa asalnya yang kering tandus serta memaksa masyarakatnya untuk pergi keluar mengadu nasib dengan perahu-perahu kecil. Namun orang tua Mohammad Noer berkehendak lain dan menyuruhnya untuk bersekolah di MOSVIA serta berkarier sebagai pamong. Mohammad Noer kemudian menyelesaikan studinya di MOSVIA pada tahun 1939.[9]

Riwayat awal karier sunting

Dari pegawai magang hingga Gubernur Jawa Timur sunting

Mohammad Noer mengawali kariernya sebagai pegawai magang di kantor Kabupaten Sumenep pada 1 Juli 1939.[10] Setelah setahun magang, ia kemudian diangkat menjadi Pegawai Pangreh Praja Penuh pada 1 Agustus 1941 dan menjabat sebagai Mantri Kabupaten Bangkalan.

Namun di akhir tahun 1941, Jepang mulai memasuki wilayah Indonesia. Jepang yang tengah dalam peperangan besar melawan sekutu di Pasifik Selatan kemudian membentuk satuan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dimaksudkan untuk membantu pasukan Jepang melawan musuh perangnya. Seiring dibentuknya PETA, masing-masing kabupaten diwajibkan untuk mengirimkan beberapa pemuda untuk dilatih militer di Bogor. Mohammad Noer ditunjuk Bupati Bangkalan R.A. Cakraningrat untuk mengikuti pelatihan ketentaraan tersebut.[11] Setelah menyelesaikan pelatihan di Bogor, Mohammad Noer kemudian diangkat sebagai chudancho (perwira setingkat kapten) dan diserahi tugas untuk memimpin sebuah kompi. Dengan terpaksa Mohammad Noer harus meninggalkan posisi sebelumnya sebagai mantri dan konsentrasi memimpin satuannya di pantai utara Madura.

Setelah PETA dibubarkan pada 15 Agustus 1945 diikuti dengan proklamasi kemerdekaan, Mohamad Noer kembali menjadi seorang pamong praja dan menjabat sebagai Asisten Wedana atau setara Camat Kabupaten Bangkalan pada 1 September 1945.[12] Tugas ini ia rasa cukup berat, karena Mohammad Noer harus menyampaikan pengertian kepada masyarakat akan kemerdekaan Indonesia, serta memperbaiki kembali segala perangkat kepamongprajaan yang rusak akibat diporakporandakan penjajahan Jepang.

Kariernya terus meningkat, setelah mengemban tugas sebagai Asisten Wedana, ia kemudian diangkat menjadi Pembantu Bupati Bangkalan. Di jabatan barunya ini, Mohammad Noer aktif merintis pembangunan sekolah-sekolah dasar dengan mengajak masyarakat bergotong-royong. Ia sering terjun ke pelosok-pelosok wilayah Kabupaten Bangkalan dengan sepeda untuk meninjau langsung kegiatan di lapangan.[13] Jabatan ini dijalaninya selama 10 tahun. Ada dugaan bahwa stagnansi jabatan ini karena prinsipnya yang tidak ingin bergabung dengan partai politik yang berkuasa saat itu.[14] Sebagaimana diketahui dalam periode demokrasi liberal menjelang diberlakukannya kembali UUD 1945 itu, politik adalah panglima. Namun Mohammad Noer tidak pernah risau akan hal itu, ia menganggap bahwa hal ini mengandung hikmah yang mendalam dan memberikannya banyak pengalaman dan pengetahuan akan kepemerintahan.

Pada tahun 1959, dalam sidang lengkap Dewan Perwakilan Daerah Tingkat II Kabupaten Bangkalan mengangkat Mohammad Noer yang tidak berpartai itu terpilih menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Bangkalan.[15] Sebagai Bupati, Mohammad Noer menjalankan Program 3P yaitu Pendidikan menuju Tauhid agar melek huruf; Percaya kepada Allah supaya hatinya bersih; dan Perhubungan agar tidak ada lagi daerah terpencil. Mohammad noer kemudian melakukan program perbaikan dan pelebaran jalan di dalam Kabupaten Bangkalan serta melakukan program peningkatan pendidikan dengan membangun SMA Negeri Bangkalan dimana ia langsung bertindak sebagai ketua panitianya.[16] Mohammad Noer dikenal sebagai orang yang tepat waktu. Pernah ada suatu kesempatan, Mohammad Noer mendapat undangan rapat paripurna DPRD Tingkat II Kabupaten Bangkalan. Ia yang datang sesuai waktu undangan kemudian mendapati bahwa rapat terlambat dimulai tanpa penjelasan. Menanggapi hal tersebut, Mohammad Noer kemudian keluar ruangan dan pergi meninggalkan gedung. Hal itu membuat aparatnya untuk berhati-hati dan berusaha selalu tepat waktu.[16]

Setelah selesai menjalani tugas sebagai Bupati, Mohammad Noer pada 1 Mei 1965 diangkat menjadi Pembantu Gubernur Jawa Timur untuk wilayah Madura yang berkantor di Pamekasan, Madura.[17] Menurutnya ini adalah jabatan yang bersifat koordinatif, ia bukan lagi penguasa suatu daerah seperti bupati. Sebagau residen, Mohammad Noer menggalakkan program penghijauan Madura yang kemudian mengajak masyarakat sepanjang pantai Sampang sampai Pamekasan untuk menanam jambu air dan jambu monyet. Serta diikuti dengan pembangunan irigasi baru dengan menggalang dana masyarakat. Hal ini dilakukannya untuk mencapai mimpinya mengubah Madura yang kering tandus menjadi daerah yang produktif.

Pada masa transisi dari orde lama ke orde baru, keadaan Jawa Timur sangatlah rawan. Beberapa pimpinan G30S/PKI yang masih belum tertangkap melarikan diri ke hutan-hutan di Jawa Timur bagian Selatan. Pada bulan Februari tahun 1967, Gubernur Jawa Timur, Mayor Jenderal Wiyono ditugasi pemerintah pusat untuk mengikuti SESKOAD di Bandung selama 4 bulan. Hal ini menyebabkan adanya kekosongan posisi gubernur di provinsi Jawa Timur. Kemudian Menteri Dalam Negeri, Letnan Jenderal Basuki Rachmat, menunjuk Mohammad Noer untuk mengisi posisi ini atas dasar prestasinya selama menjabat sebagai Pembantu Gubernur Jawa Timur.[18] Selain itu memang Let. Jend. Basuki Rachmat terkesan akan kegesitan Mohammad Noer saat bersama-sama gerilya saat masa Perang Kemerdekaan.

Tugas pertama yang diemban oleh Mohammad Noer sebagai Pejabat Sementara Gubernur adalah menumpas sisa-sisa G30S/PKI yang dilakukan di daerah Blitar Selatan dan Malang Selatan.[19] PKI yang menebar teror dengan program 3P-nya (Perampokan, Penculikan, dan Pembunuhan), Mohammad Noer pun melaksanakan program yang juga bernama 3P, yang terdiri dari Pendidikan, Pangan, dan Perhubungan. Program ini dilaksanakan untuk menetralkan isolasi mental dan geografi daerah-daerah yang dulunya didominasi PKI, serta menghidupkan kembali dasar pembangunan masyarakat Pancasila.

Sesuai dengan REPELITA I, Mohammad Noer merasa perlu untuk mengadakan kegiatan massal yang sederhana namun bermanfaat untuk membiasakan rakyat berpartisipasi membangun. Yaitu dengan program pemagaran halaman rumah.[20] Program ini ternya dilaksanakan untuk mendidik rakyat Jawa Timur untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing, serta untuk mengontrol aparat desa, apakah perintah dan petunjuknya dipatuhi rakyatnya atau tidak.

Gubernur Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur sunting

Pengadaan Cadangan Pangan Nasional Tahun 1972-1973 sunting

Sebagai Gubernur, Mohammad Noer menggalakkan pertanian di provinsi yang dipimpinnya ini. Ia kemudian membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang ditujukan untuk meningkatkan ekonomi para petani sebagai produsen pangan. Program intensifikasi dilakukannya dengan menyalurkan bibit-bibit unggul dan pupuk kepada petani melalui BUUD tersebut. Hasilnya sungguh luar biasa, kenaikan produksi beras naik 36,36% dari masa pemerintahan sebelumnya. Pencapaian ini berada diatas target REPELITA I yang menargetkan produksi beras di angka 141,77 kg/kapita/tahun, Jawa Timur berhasil memproduksi 182,85/kg/kapita/tahun. Produksi beras Jawa Timur sebesar 200.000 ton pada tahun 1972 menyumbangkan 50 hingga 60% dari hasil seluruh Indonesia.[21]

Hasil kerja keras Mohammad Noer dan rakyat Jawa Timur tersebut membuahkan hasil. Rakyat Jawa Timur dianugerahi Pemerintah Republik Indonesia penghargaan Parasamya Punakarya Nugraha sebagai simbol keberhasilan rakyat Jawa Timur dalam melaksanakan REPELITA I.[22] Penghargaan ini diberikan langsung oleh Presiden Soeharto pada 21 Agustus 1974 di stadion Tambaksari, Surabaya. Mohammad Noer juga memperoleh penghargaan sipil tertinggi dari Pemerintah Republik Indonesia yaitu Bintang Mahaputra Utama III atas jasanya terhadap bangsa dan negara Indonesia.

“Agawe wong cilik melu gumuyu” (membuat rakyat kecil ikut tertawa) sunting

Ungkapan itu disampaian dalam pidato Mohammad Noer dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Maret 1973, sebagai Ketua Fraksi Utusan Daerah. Dalam pidato ini Mohammad Noer menuturkan bahwa ia mempunyai cita-cita dimana rakyat kecil bisa turut menikmati hasil pembangunan.[1] Pidato tersebut mendapat perhatian serius dari semua golongan dan juga media, yang kemudian menyebut Mohammad Noer sebagai “Bapak Wong Cilik Jawa Timur”.

Penyelesaian masalah dengan pendekatan religius sunting

Mohammad Noer juga kerap melakukan penyelesaian masalah dengan pendekatan religius. Contohnya saat melerai pertikaian antara masyarakat Bangkalan dengan Sampang dan yang lain adalah penanganan musibah penerbangan haji di Sri Lanka.

Konflik carok antar warga Madura tersebut terjadi pada 17 Mei 1974. Mohammad Noer tahu betul bahwa masyarakat Madura sangat menyanjungi Sunan Ampel mengingat pada bulan puasa mereka sering melakukan ziarah makam dan melakukan khatam Al-Qur’an disana. Oleh karena itu, Mohammad Noer kemudian mengundang kedua pihak yang diradang konflik ke Masjid Sunan Ampel, Surabaya untuk melakukan ikrar damai yang kemudian berhasil meredam perselisihan.[23]

Kemudian saat penanganan musibah perjalanan haji dari Jawa Timur yang terjadi pada 4 Desember 1974. Mohammad Noer mendapat perintah dari Presiden Soeharto untuk menangani jenazah korban kecelakaan tersebut. Seluruh keluarga korban menginginkan jenazah segera dikembalikan ke keluarga masing-masing, padahal kondisi sangat sulit untuk mengidentifikasi 184 jenazah. Kemudian Mohammad Noer memutuskan untuk memakamkan seluruh jenazah di halaman Masjid Sunan Ampel dengan terlebih dahulu memohon maaf kepada pihak keluarga korban dan menyampaikan bahwa seluruh korban adalah syuhada haji yang gugur dalam perjalanan suci.[24]

Pemimpin yang mau mendengar kritik publik sunting

Di saat banyak pemimpin Indonesia enggan mendengarkan teriakan oposisi, Mohammad Noer justru mengundang seorang seniman Rendra, yang terkenal lantang mengkritik dan melawan pemerintah. Rendra diundang tampil di Gedung Gelora Pancasila Surabaya dan Mohammad Noer duduk di baris paling depan bersama sang istri. Menurutnya ini bukanlah sikap pembangkangan terhadap atasan ataupun rezim Orde Baru yang berkuasa, namun menempatkan sesuatu pada posisi dan proporsi yang wajar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[25]

Sosialisasi Program KB dengan kentongan sunting

Mengingat tingginya tingkat kelahiran bayi di Provinsi Jawa Timur yang mencapai 2,4% per tahunnya, Mohammad Noer kemudian menggalakkan Program Keluarga Berencana di wilayah yang dipimpinnya itu.[26] Cara unik namun efektif digelarnya. Yaitu dengan mengingatkan para ibu di pedesaan untuk meminum pil KB melalui penabuhan kentongan secara serentak di saat senja.[24]

Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Prancis sunting

 
Foto Mohammad Noer sebagai Dubes RI untuk Prancis.

Mohammad Noer diangkat menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Prancis pada Oktober 1976. Mohammad Noer tahu bahwa rakyat Prancis sangat menjunjung tinggi bahasa nasionalnya, yaitu bahasa Prancis. Oleh karena itu, Mohammad Noer menyampaikan pidato pertamanya sebagai Duta Besar dalam bahasa Prancis, hasil belajar singkatnya memahami bahasa asing tersebut. Hal ini direspon sangat positif bagi publik dan pemerintah Prancis saat itu. Sebagai Duta Besar, Mohammad Noer berperan aktif dalam mengembangkan potensi pariwisata Indonesia di mata dunia yang didukung oleh Menteri Luar Negeri Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Salah satunya adalah Candi Borobudur yang kala itu baru selesai menjalani pemugaran. Kesuksesan Mohammad Noer mempromosikan objek pariwisata tersebut adalah dengan diterbitkannya perangko Republik Prancis yang bergambarkan Candi Borobudur.[27] Atas jasanya dalam menjalin hubungan diplomasi antara Indonesia dengan Prancis, Mohammad Noer mendapatkan penghargaan Grand Officer d’Ordre National du Mérite dari Pemerintah Republik Prancis di akhir masa jabatannya.[28]

Penggagas Jembatan Suramadu sunting

Mohammad Noer menggagas pembangunan Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura, sejak ia menjabat sebagai Patih (Wakil Bupati) Kabupaten Bangkalan. Dengan adanya jembatan tersebut ia berharap akan adanya percepatan perkembangan ekonomi di Pulau Madura yang ia ketahui sangat kering dan gersang. Selain itu ia juga telah memprediksikan akan terjadinya kepadatan di Surabaya yang berdekatan langsung dengan Pulau Madura khususnya Kabupaten Bangkalan. Tiang pancang pertama dibangun Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 melalui Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 2003 tentang Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009. Selain sebagai penggagas jembatan Suramadu, Mohammad Noer juga dikenal sebagai tokoh yang peduli akan pendidikan warga Madura. Pada tahun 2008, Mohammad Noer juga mengusahakan Beasiswa Unggulan untuk anak Madura yang berprestasi sejak dari SMP untuk kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Terpilihnya 20 anak berprestasi ini adalah untuk mempersiapkan warga Madura pasca pembangunan Suramadu.[29]

Wafat sunting

 
Batu Prasasti di Makam Mohammad Noer, Sampang, Madura

Mohammad Noer meninggal dunia di usia 92 tahun pada 16 April 2010 sekitar pukul 08.50 WIB di Ruang ICU, Rumah Sakit Darmo Surabaya. Sebelum dimakamkan Mohammad Noer dishalatkan di tiga masjid, yaitu Masjid Al Falah Surabaya, Masjid Agung Bangkalan, dan Masjid Agung Sampang. Jenazahnya kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Somor Kompah, Kabupaten Sampang, Madura.[30]

Ringkasan riwayat karier sunting

  • Juli 1939 -Agustus 1949, Pamong Praja
  • Agustus 1949-Maret 1950, Kapten TNI
  • Maret 1950-Januari 1976, Pamong Praja terakhir
  • Desember 1967-Januari 1976, Gubernur Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur
  • 1973 -1978, Anggota MPR RI
  • Oktober 1976-Oktober 1980, Duta Besar R.I untuk Prancis
  • Agustus 1981-1983, Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
  • 1983-11 Maret 1988, Anggota DPA Periode II
  • 1987, Anggota MPR RI
  • 1989-1997, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN)
  • 1989-2010, Ketua Dewan Penyantun seluruh Universitas Negeri di Surabaya dan beberapa Universitas Swasta di Surabaya, Jember dan Madura
  • 1980-2010, Ketua Yayasan Jantung Cab. Utama Jawa Timur
  • 1984-2010, Ketua Yayasan Asma Wilayah Jawa Timur
  • 1985-2010, Ketua Yayasan Aji Dharma Bhakti (bergerak di bidang Sosial Pendidikan) Pemberian beasiswa
  • 2005-2010, Dewan Kurator Universitas Al-Zaytun
  • 1970-an, Komisaris PT Super Mitory Utama (Sidoarjo)
  • 1970-an, Komisaris PT Unilever Indonesia (Surabaya)
  • 1970-an, Komisaris perusahaan properti PT Mas Murni Indonesia
  • 1970-an, Komisaris Bank Tiara
  • 1990-an, Direktur Utama PT Dhipa Madura Pradana
  • 1990-an, Komisaris SCTV (Surya Citra Televisi)

Penghargaan[31] sunting

Tanda Kehormatan sunting

   
     
     
     
Baris ke-1 Bintang Mahaputera Utama (1974) Bintang Gerilya (1960)
Baris ke-2 Bintang Jalasena Utama (1975) Bintang Bhayangkara Utama (1973) Satyalancana Perang Kemerdekaan I (1964)
Baris ke-3 Satyalancana Perang Kemerdekaan II (1964) Satyalancana Penegak (1969) Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia
Baris ke-4 Satyalancana Kebaktian Sosial (1985) Lencana Melati - Gerakan Pramuka (1985) Grand Officer of the National Order of Merit - Prancis

Lainnya sunting

  1. Manggala Karya Kencana dari BKKBN
  2. Tanda Penghargaan dari Menteri Pemuda & Olah Raga
  3. Tanda Penghargaan dari Menteri Keuangan "Pembayar Pajak Penghasilan Perorangan"
  4. Piagam Penghargaan Rektor Univ. Airlangga "WIIDYA AIRLANGGA KENCANA" Atas Jasa Prestasinya ikut memajukan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan (S.K. Rektor Universitas Airlangga No.3748/PT03.H/P/1993) Tertanggal 13 Nopember 1993

Catatan kaki sunting

  1. ^ a b Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 131
  2. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 5
  3. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 30
  4. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 26-27
  5. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 103
  6. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 35-36
  7. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 37
  8. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 38
  9. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 39-41
  10. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 41
  11. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 52
  12. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 55
  13. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 61
  14. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 63
  15. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 64
  16. ^ a b Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 65
  17. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 66
  18. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 68
  19. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 72
  20. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 73
  21. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 94-95
  22. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 101
  23. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 142
  24. ^ a b Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 143
  25. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 12
  26. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 85
  27. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 159
  28. ^ Rifai, M.A., Hendrowinoto N.K.S. (1991). Mohammad Noer. Halaman 161
  29. ^ [1] Diarsipkan 2013-02-18 di Wayback Machine., diakses pada 27 Februari 2013
  30. ^ M Noer Dimakamkan di Somor Kompah, diakses pada 17 April 2010
  31. ^ Lembaga Pemilihan Umum 1988, hlm. 558.

Daftar pustaka sunting

Rifai, Mien A., Hendrowinoto, Nurinwa Ki S. (1991). Mohammad Noer. Jakarta: Yayasan Biografi Indonesia.

Bibliografi sunting

Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
Moch. Wijono
Gubernur Jawa Timur
1967–1976
Diteruskan oleh:
Soenandar Prijosoedarmo
Jabatan diplomatik
Didahului oleh:
Achmad Tahir
Duta Besar Indonesia untuk Prancis
1976–1980
Diteruskan oleh:
Barli Halim