Mumi Papua adalah tradisi pengawetan jenazah manusia di wilayah Pegunungan Tengah, Papua. Berbeda dengan tradisi mumi yang berada di Mesir, mumi yang berasal dari pulau Papua ini tak berada di dalam peti dan dibalut kain, melainkan mumi ini masih berbentuk utuh dan berwarna gelap melalui pengasapan.

Tradisi akonipuk Kurulu di Lembah Baliem

Terdapat 5 suku di papua yang mempunyai tradisi kematian jenazah yang dijadikan mumi, diantaranya adalah suku Mek di Pegunungan Bintang, suku Dani (Hubula) di Lembah Baliem dengan tradisi Akonipuk, suku Migani (Moni) di Intan Jaya, suku Yali di Kurima dan suku Mee di Dogiyai.[1]

Penelitian 1980-an hingga 1990-an sunting

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an telah ditemukan tujuh tradisi mumi di kabupaten Jayawijaya dan kabupaten Yahukimo.

Ketujuh Mumi tersebut berada di :

  • 3 Mumi laki-laki yang berada di kecamatan Assologaima, sebelah barat kota Wamena.

Dari ketujuh tradisi mumi tersebut, hanya Mumi Werupak Elosak di desa Aikimadan Mumi Wimontok Mabel di desa Yiwika - Kecamatan Kurulu - Kabupaten Jayawijaya, Papua yang sudah dikenal oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang mengunjungi Kabupaten Jayawijaya. Hal ini disebabkan masyarakat pribumi setempat membuka peluang kepada masyarakat luar untuk menyaksikannya walaupun harus dikenakan biaya.[2]

Penelitian selanjutnya sunting

Pada umumnya, yang dijadikan mumi adalah seorang laki-laki. Namun, ada juga mumi perempuan di Papua yang rupanya tidak sengaja terbentuk karena cuaca dingin dan ditemukan di dalam gua, yaitu mumi Yamen Silok di Kurima.

Mumi-mumi di Papua itu juga berada pada posisi duduk. Alasannya dalam konsep prasejarah, penguburan dalam posisi duduk ibarat posisi bayi dalam kandungan. Lalu mumi tersebut berposisi duduk dengan mulut ternganga dan kedua tangannya memegang masing-masing kedua lututnya.

Mumi dari Papua ini tak disimpan di museum maupun peti mati, melainkan ditaruh di rumah honai dan sangat di sakralkan.[3]

Proses pengerjaan mumi sunting

Dalam proses pengerjaan mumi, terlebih dahulu mayatnya diasap dengan kayu bakar. Sebelum pengasapan dilakukan, dipersiapkan babi yang baru lahir sebagai tanda waktu.

Waktu pengasapan berlangsung adalah sejak babi lahir sampai babi tersebut mempunyai taring yang panjang. Setelah selesai pengasapan, kemudian dilakukan upacara-upacara untuk memandikan para petugas, pelepasan mumi dengan memotong babi yang digunakan sebagai tanda waktu dan mengalungkan ekor babi yang dipotong tersebut ke leher mumi. Setelah semua proses pengerjaan mumi selesai, maka diakhiri dengan pesta bakar batu.

Menariknya, ada satu proses lain dalam pemumian di Papua. Suku Mek, menaruh jenazah di atas pohon selama satu tahun sehingga menjadi mumi secara alami.

"Cuaca yang dingin di atas pohon menjadikan jenazah terawetkan secara alami. Baru setelah itu, diturunkan dan ditaruh di dalam gua," terang Hari.

Jadi ada dua metode pemumian di Papua, yakni diasapi dan ditaruh di atas pohon. Kemudian, muminya ada yang ditaruh di dalam honai (rumah tradisional Papua) dan ada di dalam gua.[1]

Sejarah sunting

Diketahui mumi dari papua ini merupakan kepala suku besar yang bernama Werupak Elosak (nama ketika masih hidup). Kepala suku ini dikenal sebagai sosok orang yang ramah dan bijaksana. Oleh sebab itu, warga lokal sengaja mengawetkan jasad Werupak Elosak untuk dihormati dan agar bisa dikenal sepanjang masa.

Mumi Werupak Elosak berumur sekitar 230 tahun ini masih mengenakan pakaian tradisional Koteka yang masih utuh. Ia adalah seorang Panglima Perang dan meninggal akibat luka tusukan Sege (tombak) yang masih terlihat jelas hingga kini.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi dengan Mumi Wimontok Mabel. Ia adalah seorang Kepala Suku. Wimontok yang berarti berperang terus. Karena pada masa hidupnya ia adalah seorang Kepala Suku yang ahli dalam berstrategi perang. Wimontok meninggal akibat usia tua dan memberi wasiat kepada keluarganya agar jasadnya diawetkan dijadikan Mumi. Dari segi ukuan Mumi ini lebih kecil dari Mumi Werupak.

Disini, setiap lima tahun sekali diadakan upacara adat untuk melingkarkan semacam kalung di leher Wimontok. Upacara tersebut disertai pemotongan hewan Babi. Kemudian lemah dari hewan Babi tersebut dioleskan keseluruh tubuh Mumi. Dari kalung tersebutlah perkiraan umur Mumi didapat yaitu sekitar 382 tahun.

Para Mumi ini dibuat dengan menggelar Upacara Sakral dilanjutkan dengan pengasapan jenazah selama tiga bulan secara terus menerus. Setelah menjadi Mumi, perawatan selanjutnya ditangani oleh kaum laki-laki saja. Karena menurut adat setempat, sentuhan tangan wanita akan membuat Mumi menjadi rusak serta mendatangkan malapetaka bagi wanita tersebut dan lingkungan sekitar.

Mumi-mumi ini hanya diletakan pada sebuah kotak dari kayu dan disimpan dalam Pilamo, Rumah Adat khusus laki-laki. Tidak semua mayat/jasad disini yang diperbolehkan menjadi Mumi. Hanya yang mempunyai jasa besar terhadap suku seperti Kepala Suku atau Panglima Perang yang secara adat diizinkan menjadi Mumi.[2]

Referensi sunting

  1. ^ a b Farhan, Afif. "Mengenal Mumi Papua yang Belum Banyak Orang Tahu". detikcom. Diakses tanggal 2020-03-14. 
  2. ^ a b Admin. "SEJARAH MUMI DI TANAH PAPUA, INDONESIA". Diakses tanggal 2020-03-14. 
  3. ^ Nur, Himas. "Mengenal Mumi dari Papua yang Berusia Ratusan Tahun". Phinemo.com.