Nama haji adalah nama yang dipakai sesudah melaksanakan ibadah Haji. Budaya mengganti nama sesudah berhaji ini dikenal di beragam kebudayaan di Indonesia.[1] Penggantian nama ini biasanya dilakukan ketika berada di Mekkah atau Madinah, atau sepulang di Indonesia dengan meminta saran dari kiai.[2][3][4][5] Nama-nama yang dipilih sesudah berhaji umumnya adalah nama-nama berbahasa Arab yang memiliki arti baik.[6]

Penggantian nama sunting

Penggantian nama sesudah ibadah haji ini biasanya difasilitasi oleh KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) dengan memberikan semacam sertifikat penggantian nama.[5] Nama haji yang dipilih biasanya berasal dari bahas Arab yang memiliki arti baik, menggantikan nama-nama berbahasa daerah. Contohnya seperti Sunarto menjadi Fakhruddin Al-Razi, dan Sumiarti menjadi Fatimah.[6]

Buya Hamka dalam memoarnya menyebut pemberian nama haji merupakan tradisi umum jemaah haji asal Nusantara pada awal abad ke-20. Penyematan nama dilakukan oleh seorang pemandu haji kepada jemaah yang ditandai dengan mengaitkan serban bagi laki-laki atau selendang bagi perempuan.[7]

Tokoh sunting

Beberapa tokoh diketahui mengikuti tradisi penggantian nama seusai beribadah haji, di antaranya:

Pandangan Islam sunting

Tidak ada tuntunan mengganti nama sesudah menjalankan ibadah haji dalam Islam. Hukum Islam memerintahkan penggantian nama jika nama tersebut berarti buruk dan tidak ada sangkut-pautnya dengan dilaksanakannya ibadah Haji. Sebagian ulama berpendapat jika penggantian nama dilakukan karena telah berhaji, maka hukumnya adalah bidah.[2][10]

Dalam penerapannya, banyak nama orang yang sudah baik artinya (dalam bahasa daerah misalnya) juga ikut diganti karena mengikuti tradisi penggantian nama ini. Sebagian ulama tidak melarang tradisi penggantian nama ini selama tidak mengandung unsur meramal nasib dan sifat berbangga diri setelah berhaji. Mengganti nama karena tidak percaya diri dengan nama sebelumnya karena terdengar ndeso atau kampungan juga diperbolehkan.[5]

Catatan kaki sunting

  1. ^ Setiawan, Farid (2021-11-26). Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah: 1911-1942. UAD PRESS. ISBN 978-602-0737-59-1. 
  2. ^ a b "Mengganti Nama Setelah Haji, Bagaimana Hukumnya?". NU Online Jatim. Diakses tanggal 2022-07-31. 
  3. ^ "Saat Jamaah Ganti Nama Setelah Haji | Ihram". ihram.co.id. 2019-08-17. Diakses tanggal 2022-07-31. 
  4. ^ "Tradisi Unik Jemaah Haji Madura, Ganti Nama Setelah Pulang Dari Makkah". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2022-07-31. 
  5. ^ a b c Tebuireng, Tim Redaksi Majalah (2015-11-01). Alhamdulillah, NU Punya Universitas: Majalah Tebuireng Edisi 41. Majalah Tebuireng. 
  6. ^ a b Misrawi, Zuhairi (2009). Mekkah: kota suci, kekuasaan, dan teladan Ibrahim. Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-436-2. 
  7. ^ Hamka (2020). Kenang-Kenangan Hidup. Gema Insani. hlm. 89. ISBN 978-602-250-743-7. 
  8. ^ Indriawati, Tri (2022-04-01). PEMIKIRAN DAN PERGERAKAN POLITIK HAJI MISBACH DI SURAKARTA TAHUN 1912-1926. Penerbit Lakeisha. ISBN 978-623-420-036-2. 
  9. ^ Ph.D, Al Makin (2015-02-02). Antara Barat dan Timur. Serambi Ilmu Semesta. ISBN 978-602-290-031-3. 
  10. ^ "Mengganti Nama setelah Haji dan Memberi Gelar Haji/Hajjah". www.alquran-sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-31.