Naskah Merapi-Merbabu

Naskah-naskah Merapi-Merbabu adalah kumpulan naskah yang ditemukan di kawasan pegunungan Merapi dan Merbabu, Jawa Tengah. Naskah-naskah ini umumnya ditulis dalam aksara Buda dan sebagian kecil dalam aksara Jawa. Sebagian besar naskah menggunakan sarana daun lontar dan sedikit di antaranya menggunakan nipah.[1][2] Naskah-naskah ini disalin atau ditulis pada rentang abad ke-16 dan 18 Masehi.[3]

Naskah Kunjarakarna yang tersimpan di Universitas Leiden

Isi dari naskah-naskah Merapi-Merbabu terbentang dalam berbagai bahasan, mulai dari ilmu perbintangan, kakawin, kidung, mantra, kebahasaan, hingga obat-obatan tradisional. Bahasa Jawa Kuno digunakan dalam karya-karya kakawin, sedangkan pada karya-karya lainnya tercampur dengan bahasa Jawa yang lebih baru.[1] Koleksi besar naskah-naskah Merapi-Merbabu tersimpan di Perpustakaan Nasional, kurang lebih sebanyak 400-an naskah.[4]

Penemuan

sunting
 
Gunung Merapi dipandang dari sisi gunung Merbabu

Informasi mengenai naskah-naskah ini pertama kali ditemukan dalam laporan statistik tertanggal 12 Agustus 1923, masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen.[5] Naskah-naskah kuno tersebut milik Keluarga Pak Kojo, cicit Penembahan Windoesono, seorang pendeta Buddha, saat Islam masuk Jawa Tengah, beliau menyingkir ke lereng Merapi tepatnya 1822 di lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kedakan, Residen Kedu. Membawa serta lebih kurang 1.000 naskah. Namun menurut informasi van der Molen, sejalan dengan perjalanan waktu naskah-naskah itu telah menyusut dan kini hanya tinggal sekitar 400 naskah.[5]

Tiga puluh tahun kemudian, Bataviaasch Genootshap berusaha untuk memperolehnya. Usaha tersebut dilakukan dengan susah payah, karena Pak Kojo, pemilik naskah-naskah itu sangat sulit melepaskan naskah-naskah yang diwariskan kepadanya. Dari berita laporan tertanggal 27 April 1952, dapat diketahui bahwa usaha pengambilalihan naskah-naskah tersebut akhirnya berhasil, dan sejak itu sebagian besar naskah koleksi Merbabu tersimpan di Bataviaasch Genootschap. Dikatakan sebagian besar karena sebagian lain naskah koleksi Merbabu terbawa ke tempat lain, antara lain, ke salah satu perpustakaan di Prancis; Berlin, Jerman (Pigeaud, 1967); dan juga Belanda.[5]

Penelitian

sunting

Para peneliti yang tertarik dan pernah melakukan penelitian terhadap naskah-naskah koleksi Merbabu antara lain:[5]

  1. Friederich, yang berusaha membuat daftar naskah koleksi Merbabu. Berdasarkan penelitiannya, ia menyatakan bahwa naskah-naskah itu ditulis oleh orang bukan Muslim karena isinya pengertian tentang agama India (Hindu), bahasanya juga sangat dekat dengan karya sastra Kawi di Bali. Semua naskah ditulis dalam prosa, dan isinya tentang agama Hindu.
  2. Cohen Stuart, orang pertama yang berusaha menyusun katalog naskah koleksi Merbabu. Berdasarkan hasil pengamatannya, Stuart mengoreksi pendapat Friederich, ia mengatakan tidak semua naskah koleksi Merbabu berisi ajaran Hindu tetapi juga ada yang tentang pengertian ajaran Islam dan juga tidak semua teks ditulis dalam prosa, tetapi cukup banyak juga yang ditulis dalam puisi. Cohen Stuart juga mengemukakan tentang penanggalan naskah. Ia menyimpulkan bahwa naskah-naskah koleksi Merbabu sebagian kemungkinan berasal dari abad ke-16 dan ke-17.
  3. Willem van der Molen, peneliti pertama yang mengamati secara khusus salah satu naskah koleksi Merbabu. Naskah yang dikajinya berjudul Kunjarakarna. Hasil penelitiannya dilahirkan dalam bentuk disertasinya yang diterbitkan tahun 1983. Pusat perhatian van der Molen dalam penelitiannya adalah paleografi dan penanggalan naskah. Ia secara khusus mengamati masalah huruf dan penanggalan yang terdapat dalam naskah yang dikajinya. Hasil penelitiannya telah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi sejarah kesusastraan Jawa, karena telah memberi gambaran yang tepat mengenai perkembangan huruf Jawa dari masa ke masa dan cara penghitungan penanggalan naskah yang sangat akurat.
  4. Kuntara Wiryamartana, peneliti kedua yang mengkaji naskah koleksi Merbabu secara khusus. Teks yang dikaji berjudul Arjunawiwaha. Berbeda dengan van der Molen yang lebih mengamati masalah perkembangan huruf dan penanggalan, Wiryamartana lebih menekankan perhatiannya pada isi teks. Ia mengkaji masalah transformasi teks, bahwa melalui perjalanan waktu isi teks sebuah naskah juga mengalami perkembangan pemahaman sesuai dengan resepsi para pembacanya. Hasil penelitian Wiryamartana ini dituangkan kedalam disertasinya yang diterbitkan tahun 1991.[6]

Naskah-naskah

sunting

Naskah-naskah Merapi-Merbabu memiliki banyak bentuk, di antaranya kakawin, parwa dan kidung. Sementara, bahasan yang dibawa juga beraneka ragam, seperti perbintangan, yoga, mantra dan obat-obatan. Naskah yang mengangkat tema ajaran Buddha ditemukan salah satunya tentang Kunjarakarna. Naskah yang bertema Islam juga ditemukan dalam naskah-naskah Merapi-Merbabu, di antaranya Tapel Adam, Anbiya, dan Caritaning Para Nabi yang menceritakan kisah Adam hingga Muhammad.[2][4][7]

Kakawin

sunting

Naskah Merapi-Merbabu yang berbentuk kakawin di antaranya menceritakan Ramayana, Arjunawiwaha, Bharatayuddha dan Arjunawijaya. Kakawin Ramayana dalam hal ini merupakan naskah tertua, bertahun 1521 Masehi.

Sebagian naskah dalam bentuk parwa adalah Pramanaprawa, Bismaprawa, dan Sabaparwa.

Kidung

sunting

Naskah yang berbentuk kidung di antaranya ialah Kidung Ragadarma, Kidung Darma Jati, Kidung Mudasara, Kidung Subrata dan Kidung Surajaya. Naskah Subrata serupa juga ditemukan di Tengger, yang dapat menggambarkan kemungkinan hubungan antara masyarakat Merapi-Merbabu dan Tengger di masa lalu.

Pengaruh

sunting

Naskah-naskah Merapi-Merbabu membuktikan bahwa komunitas sastra yang makmur pernah hidup di kawasan tersebut. Karya-karya Merapi-Merbabu juga mengilhami budaya sastra yang unggul di Kraton Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta.[2] Sebagai contoh, naskah Arjunawiwaha dari Merapi-Merbabu banyak digubah oleh pujangga-pujangga kraton Surakarta pada abad ke-18 dan 19 Masehi. Hal ini dapat menggambarkan hubungan antara para wiku di pegunungan dengan orang-orang kraton di Surakarta.[4]

Lihat juga

sunting
  • Aksara Buda, aksara yang digunakan untuk menulis naskah-naskah Merapi-Merbabu

Referensi

sunting
  1. ^ a b Kartika, Setyawati (1995). "Naskah-naskah Merapi-Merbabu Koleksi Museum Nasional Indonesia: Tinjauan Awal" (PDF). Humaniora. I. 
  2. ^ a b c W. van der Molen, I. Wiryamartana. The Merapi-Merbabu manuscripts. A neglected collection. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no:1, Leiden, 51-64.
  3. ^ Hidayat, Rahayu Surtiati; Munandar, Agus Aris; Wibawarta, Bambang; Marihandono, Djoko; Sutami, Hermina; Surajaya, I. Ketut; Budianta, Melani; Muhadjir; Lauder, Multamia RMT (2018-09-12). Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-635-6. 
  4. ^ a b c Administrator (2005-05-23). "Naskah-Naskah yang Terlupakan". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-30. 
  5. ^ a b c d Titiek Pudjiastuti. "Naskah-naskah Koleksi Merbabu-Merapi;Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa". Wacana. Diakses tanggal 11 September 2018. [pranala nonaktif]
  6. ^ Kuntara, Wiryamartana. "Kuntara Wiryamartana Filologi Jawa dan Kuñjarakarṇa Prosa" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-09-11. Diakses tanggal 11 September 2018. 
  7. ^ "SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI - PDF Download Gratis". docplayer.info. Diakses tanggal 2020-11-30.