Ngabekten (Hanacaraka: ꧋ꦔꦧꦼꦏ꧀ꦠꦺꦤ꧀) adalah salah satu tradisi yang dilakukan di wilayah trah Mataram Islam, seperti Surakarta dan Yogyakarta dalam rangka memperingati hari raya Idul Fitri. Ngabekten dilakukan sebagai wujud permohonan maaf dan penghormatan kepada orang tua maupun figur yang dituakan, dalam hal ini adalah Sultan atau Susuhunan.

Ngabekten
꧋ꦔꦧꦼꦏ꧀ꦠꦺꦤ꧀
JenisRitual budaya
FrekuensiSetiap tahun
Lokasi
NegaraIndonesia
PesertaKerabat dan Abdi Dalem Keraton

Asal usul sunting

Etimologi sunting

Dilihat dari asal katanya, ngabekten berasal dari kata bekti dalam Bahasa Jawa yang artinya berbakti atau tingkah laku seseorang untuk menghormat kepada orang tua atau yang dituakan.[1]

Sejarah sunting

Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi Ngabekten mulai dilakukan. Namun dalam catatan sejarah, tradisi Ngabekten telah ada sejak masa pemerintahan Panembahan Senopati di Kesultanan Mataram. Saat itu, Ki Ageng Mangir yang merupakan salah satu musuh dari Panembahan Senopati hadir ke istana Keraton Kutagede untuk menghaturkan sembah bekti (hormat) kepada raja.[2]

Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Ngabekten menjadi ajang berkumpulnya kerabat, abdi dalem dan para pejabat-pejabat di negara agung maupun manca negara Kesultanan Mataram. Tradisi ini merupakan hal yang wajib dilakukan oleh mereka, dan Sultan tak segan untuk menghukum abdi dalem atau pejabat yang tidak hadir dalam pelaksanaan tradisi ini.[2]

Setelah pecahnya Mataram pada tahun 1755, tradisi Ngabekten dilanjutkan oleh kedua kerajaan pecahan tersebut, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.[1]

Prosesi sunting

Pelaksanaan sunting

Pada awalnya, prosesi Ngabekten dilaksanakan selama tujuh hari pertama dalam bulan Syawal selama berturut-turut, kemudian menjadi tiga hari berturut-turut dan terakhir, sampai saat ini hanya diadakan selama dua hari berturut-turut, yaitu pada bulan Syawal tepatnya tanggal 1 dan 2 Syawal.

Pada hari pertama, dilakukan ngabekten kakung yaitu prosesi yang diikuti oleh para abdi dalem dari pangkat bekel anom sampai dengan pangkat pangeran sentana, Adipati Paku Alam atau Adipati Mangkunagara, para pangeran dan para kerabat dekat Sultan/Susuhunan dari cucu sampai dengan canggah yang laki-laki serta para suami cucu, sampai dengan canggah perempuan dan para duda cucu sampai dengan canggah perempuan yang belum kawin lagi. Pelaksanaan tersebut dilaksanakan setelah selesai melaksanakan sembahyang Idul Fitri, di Bangsal dan Tratag Bangsal Kencana dengan waktu yang berbeda. Sedang Lebaran hari kedua disebut dengan ngabekten putri yang dilakukan oleh wanita yaitu permaisuri Sultan/Susuhunan, permaisuri Adipati, para saudara perempuan dan anak perempuan Sultan/Susuhunan yang belum kawin, para janda Sultan/Susuhunan terdahulu yang belum kawin lagi, para istri pangeran, para janda pangeran yang belum kawin lagi, para abdi dalem keparak dari pangkat bekel enom sampai pangkat bupati anom, para istri abdi dalem bupati, para janda abdi dalem bupati yang belum kawin lagi, para kerabat dekat Sultan/Susuhunan dari cucu sampai dengan canggah yang perempuan serta para istri cucu sampai dengan canggah laki-laki Sultan/Susuhunan dan para janda cucu sampai dengan canggah laki-laki yang belum kawin lagi.[3]

Adat dan Tata Cara sunting

Selama prosesi ngabekten, biasanya dilakukan dengan sungkem sambil mencium kaki Susuhunan (Surakarta) atau mencium lutut Sultan (Yogyakarta). Urutannya dimulai dari peserta dengan status sosial paling tinggi, hingga yang rendah. Sedangkan khusus untuk Adipati atau abdi dalem dan kerabat yang usianya lebih tua dari raja, biasanya hanya melakukan sembah karna dengan mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan telinga.[4]

Dalam prosesi ngabekten diatur pula ageman (busana) yang digunakan oleh Sultan, Adipati, dan peserta ngabekten. Pada masa lalu, para pangeran dan abdi dalem tingkat tinggi memakai pakaian keprabon atau kebesaran, misalnya untuk pria mengenakan kain kampuh, bercelana panjang putih, berkuluk biru, tidak berbaju dan tidak bersandal. Busana untuk abdidalem bupati hanya kuluknya yang putih, sedangkan untuk wanita mengenakan kampuh, tidak berbaju dan tidak bersandal.[1]

Setelah zaman Jepang, dalam pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IX atau Susuhunan Pakubuwana XI, pakaian kebesaran tidak digunakan lagi. Hanya berpakaian biasa tetapi harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya menggunakan kebaya warna warni tetapi tidak menggunakan kuthubaru untuk wanita, sedangkan untuk pria mengenakan pranakan, atela, atau beskap sesuai dengan paugeran yang berlaku.

Aturan sunting

Dalam pelaksanaan ngabekten, terdapat larangan-larangan yang harus dipatuhi antara lain:

  • Pakaian yang dikenakan tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang ditulis dalam buku pranatan
  • Jika Sultan atau Susuhunan telah hadir dalam pelaksanaan ngabekten, yang datang terlambat dilarang menyusul, kecuali abdidalem yang sedang melaksanakan tugas menyerahkan hajat dalem gunungan kepada abdidalem penghulu, diperbolehkan menyusul
  • Mundur dan majunya yang akan ngabekti harus menunggu perintah dari Sultan atau Susuhunan. Jika ada yang mundur sebelum selesai, tidak diperbolehkan kembali lagi
  • Selama sowan tidak diperbolehkan membaca, berkata keras-keras, menunjuk ke arah sesuatu, terlebih ketika Sultan atau Susuhunan telah hadir
  • Tidak diperkenankan menyandang senjata tajam
  • Harus urut satu per satu dan rapi sesuai dengan urutan dalam peraturan [5]

Referensi sunting

Pranala luar sunting