Ngobeng

ngobeng adalah sebuah tradisi warisan Kesultanan Palembang Darussalam yang memiliki nilai flosofis yang tinggi kini terhempas oleh akulturasi budaya.

Ngobeng adalah tata cara penyajian untuk ngidang (berhidang, makan berat) dalam perayaan khas Palembang seperti dalam acara pernikahan, khitanan, syukuran, dan hari-hari keagamaan. Tradisi ini diperkirakan dimulai pada era Kesultanan Palembang Darussalam dan merupakan tradisi Islam yang telah terasimilasi dengan budaya lokal, yakni makan bersama menggunakan tangan secara langsung sambil duduk bersila sesuai sunnah Nabi Muhammad.[1]

Santapan ngidang khas perayaan Palembang dengan dulang nasi minyak di tengah, pulur (penyegar seperti sambal, acar, buah), serta iwak (lauk-pauk seperti malbi dan pentol ikan)

Para pemuda yang turut ngobeng berdiri dalam barisan untuk mengantarkan makanan secara estafet ke tempat hidangan pada acara yang bersangkutan. Cara ini memiliki tujuan yaitu mempercepat kedatangan makanan di tempat acara dan meringankan beban pembawa makanan.[1] Satu hidangan ditujukan bagi delapan orang agar hadirin tetap dapat menjangkau sajian yang telah dihidangkan penyelenggara acara.[1][2] Sajian makanan dalam ngobeng berupa iwak (lauk), pulur (sayur, sambal, dan buah-buahan), serta nasi putih atau nasi minyak yang dihidangkan di dalam dulang yang diletakkan di tengah-tengah hidangan.[1]

Tradisi ngobeng dan ngidang sudah mulai jarang dilakukan dan masyarakat Palembang, terutama muda-mudinya, tidak begitu mengenal tradisi ini karena penyajian makanan dalam berbagai acara di Palembang semakin tergantikan dengan metode prasmanan.[1][2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. hlm. 37–38. 
  2. ^ a b "Ngobeng » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-02-26.