Nicolaus Driyarkara
Nicolaus Driyarkara S.J. (13 Juni 1913 – 11 Februari 1967) adalah seorang filsuf, imam Katolik dalam Serikat Yesus, dan tokoh pendidikan Indonesia.
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 13 Juni 1913 Kedunggubah |
Kematian | 11 Februari 1967 (53 tahun) Rumah Sakit Santo Carolus |
Kegiatan | |
Pekerjaan | filsuf |
Driyakara dikenal akan gagasan atau ajaran pokok "manusia adalah kawan bagi sesama" (homo homini socius). Pemikiran ini merupakan kritik, koreksi, dan upaya perbaikan terhadap konsep homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya), yang menggambarkan sosialitas yang penuh konflik, persaingan, dan permusuhan.
Latar belakang dan pendidikan
suntingNicolaus Driyakara lahir sebagai anak bungsu dari sebuah keluarga sederhana di desa Kedunggubah, Kabupaten Purworejo. Pada masa kecil, ia lebih dikenal dengan nama Djentu, suatu kata berbahasa Jawa yang menunjuk pada sifat badan yang kekar dan gemuk.[1]
Pada tahun 1929, ia bergabung di Seminari Menengah Yogyakarta. Masa pendidikannya di seminari ini diselesaikannya pada tahun 1935. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Novisiat Serikat Yesus di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, tempat di mana ia mendapat pendidikan mendasar dalam menginternalisasi spiritualitas dan cara hidup sebagai seorang Yesuit. Pada tahun 1937–1938, di tempat yang sama, ia mendalami kesusastraan Timur dan Barat. Pada tahun 1938, Driyarkara dipercaya menjadi bidel (ketua angkatan), meskipun saat itu ia satu-satunya calon imam pribumi di antara enam calon lainnya yang berasal dari Belanda. Hal ini menunjukkan pengakuan atas kapasitas kepemimpinannya. Setelah menyelesaikan pendidikan di Girisonta, ia melanjutkan studi filsafat di Kolese Santo Ignatius, Yogyakarta, sejak tahun 1939 hingga selesai pada tahun 1941. Pada tahun 1942–1943, ia melanjutkan studi teologi di Muntilan, Jawa Tengah, yang kemudian diselesaikannya pada tahun 1946–1947 setelah tertunda akibat situasi perang.[1]
Pada 6 Januari 1947, Driyarkara menerima tahbisan imamat dari tangan Vikaris Apostolik Semarang, Albertus Soegijapranata, S.J. Pada tahun yang sama, ia dikirim ke Belanda untuk memperdalam studi teologi di Maastricht, yang diselesaikannya pada tahun 1949. Setelah itu, ia menjalani masa tersiat di Drongen, Belgia, hingga tahun 1950, sebagai bagian dari formasi dalam tarekat Serikat Yesus. Driyarkara kemudian melanjutkan studinya dalam bidang filsafat di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma. Pada tahun 1952, ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan disertasi mengenai pemikiran Nicolas Malebranche. Disertasi tersebut berupa manuskrip setebal 300 halaman yang ditulis dalam Bahasa Latin klasik. Naskah asli disimpan di Roma, tetapi pada tahun 1954 terbit versi ringkasannya dengan tebal 40 halaman.
Karya tulis
suntingSebelum dikenal sebagai filsuf ternama, Driyarkara menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar secara mendalam. Sejak 1 Januari 1941 hingga awal 1950-an, saat ia menjadi dosen di Girisonta dan di Seminari Tinggi Yogyakarta, ia mencatat refleksi pribadinya dalam catatan harian yang kerap membahas persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat global maupun masyarakat Indonesia. Karya-karya awalnya, yang ditulis dalam Bahasa Jawa dan diterbitkan di majalah mingguan Praba yang terbit di Yogyakarta. Tulisannya dipublikasikan dengan nama samaran "Pak Nala" yang ia sampaikan juga dalam Warung Podjok. Tulisan-tulisan ini pada awalnya tidak disampaikan sebagai tulisan filosofis.
Pada tahun 1951, Driyarkara mulai dikenal publik melalui tulisannya di majalah Basis. Dengan nama pena "Puruhita", ia memperkenalkan gagasan-gagasan filosofisnya kepada masyarakat. Gaya penulisannya yang khas—menggunakan pendekatan percakapan yang dapat membawa pembaca ke permenungan mendalam, sehingga tulisannya kemudian diterima dengan baik. Pada tahun yang sama, ia juga ditugaskan menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, yang kelak menjadi cikal bakal Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta.
Saat mengasuh Basis, Driyarkara yang awalnya merupakan dosen dalam bidang filsafat, mendapat tugas menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, embrio IKIP Sanata Dharma. Pidato pertanggungjawabannya tentang kepentingan pendidikan guru memperoleh tanggapan luas, dan sejak saat itu (1955) selain dikenal sebagai filsuf juga seorang ahli pendidikan. Lewat tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah, Driyarkara memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa. Misalnya, ketika gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, ia menjadi salah seorang pembela pertama hak mahasiswa dan pelajar untuk dapat melakukan demonstrasi. Dalam keadaan kritis dan buntu-mentok, dia tampil dengan gagasan menerobos lewat pemberian makna.
Driyakara tercatat pernah menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam Universitas Indonesia (1960–1967), pengajar di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1961–1967), dan di Universitas Saint Louis, Amerika Serikat (1963–1964).
Driyarkara memang tidak pernah menulis buku. Driyarkara tidak meninggalkan satu pun karya utuh komprehensif tentang satu persoalan. Ketika menulis, Driyarkara kerapkali menggunakan nama samaran "Nala" atau "Puruhita".[2] Selain disertasi, hampir semua karya Driyarkara berupa tulisan-tulisan pendek. Isinya komentar tentang persoalan-persoalan hangat pada zamannya. Tulisan terpanjang berupa pidato pengukuhan gelar guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 1962. Ia menjadi guru besar luar biasa hingga sekitar tahun 1967.
Dengan metode fenomenologi eksistensial, metode yang dikembangkan Malebranche, persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat perenungan kehidupan bangsa-negara Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi Indonesia. Driyarkara mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar yang menerobos.
Beberapa buku kumpulan tulisan dan tentang Driyarkara
sunting- Jejak sebagai pemikir dibukukan dari siaran-siaran radio RRI dan renung filsafatnya dalam buku Pertjikan Filsafat (PT Pembangunan, Jakarta, 1962).
- Kumpulan kuliah-kuliahnya disatukan dalam Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969 Cet I dan 1975 Cet II.
- Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Manusia, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1980.
Aktivitas politik
suntingDriyarkara pernah menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sejak tahun 1962 hingga 1967, sebagai wakil dari Golongan Karya. Ia juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1965 hingga 1967.[1]
Meninggal dunia
suntingSejak kembali dari Amerika Serikat, kondisi kesehatan Driyarkara mulai mengalami penurunan secara drastis. Ia kemudian meninggal dunia pada 11 Februari 1967 di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di tempat peristirahatan terakhir para imam Yesuit di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah.[1][3]
Sekolah tinggi
suntingPada tanggal 2 Februari 1969, yakni dua tahun setelah meninggalnya Driyarkara, di sebuah ruang tamu di Susteran Theresia yang terletak di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta, berlangsung perintisan Sekolah Tinggi Filsafat bernama Driyarkara.
Proses pembidanan sebuah sekolah filsafat dilakukan bersama oleh rekan-rekan Driyakara, yaitu Fuad Hassan dan Slamet Iman Santoso, yang mendambakan didirikannya sebuah institut filsafat di Indonesia yang terbuka untuk umum, berdiri sendiri, dan merupakan pusat yang mampu menarik dosen untuk lebih memantapkan usaha pengembangan filsafat di Jakarta. Inilah dies natalis pertama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada tahun 1969.
Pendapat
suntingSoe Hok Gie, adik Arief Budiman—salah satu pengagumnya—menyebut Driyarkara sebagai "filsuf dalam arti sebenarnya". "Dia selalu meragukan postulat, bertanya, menggugat segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Namun, dari segala keraguan itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai tercipta kepastian-kepastian kecil."
Fuad Hassan menggolongkannya sebagai pemikir yang selalu risau atas realitas masyarakat, "seorang pekerja keras" kata Slamet Iman Santoso, filsuf yang tidak memburu popularitas tulis Daoed Joesoef. Franz Magnis-Suseno SJ, Soerjanto Poespowardoyo, Mudji Sutrisno, Toeti Heraty—sekadar menyebut beberapa nama—menyatakan Driyarkara bukan hanya guru besar yang berhasil merangsang minat berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis filsafat sistematik, tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi juga filsafat sebagai kegiatan yang inheren dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikir besar Indonesia lainnya, Soedjatmoko, menyebut Driyarkara pembawa pemikiran filsafat modern. Driyarkara pemberi makna atas perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.
Referensi
sunting- ^ a b c d Bunga Rampai Mengenang Prof. DR. N. Drijarkara SJ dan Pemikiran Filosofisnya (PDF). Jakarta: Seksi Publikasi dan Seksi Ilmiah Senat Mahasiswa STF Driyarkara. 1988. Diakses tanggal 27 Januari 2025.
- ^ "Highlight - Universitas Sanata Dharma". www.usd.ac.id. Diakses tanggal 2024-04-05.
- ^ Sujoko, Albertus (9 Oktober 2012). "Misteri Romo Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara SJ dan Upaya Memfilmkannya (7)". Sesawi.net. Diakses tanggal 27 Januari 2025.
Pranala luar
sunting- (Indonesia) "Jejak Pikiran dan Sosok Driyarkara", Kompas
- (Indonesia) "Warisan Driyarkara: Sumbangsih untuk Bangsa Ini"[pranala nonaktif permanen], Kompas