Orang Tionghoa di Indonesia
Orang Tiongkok di Indonesia (Hoakiau di Indonesia) merupakan buku karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada 1960 oleh Bintang Press. Dalam buku ini, Toer (yang merupakan Suku Jawa) mengkritik kebijakan diskriminasi yang diterapkan untuk Orang Tionghoa-Indonesia. Buku ini berdasarkan serangkaian artikel yang dipublikasikan di halaman pertama surat kabar terbesar di Jakarta saat itu yaitu Bintang Timur yang diterbitkan olehHasyim Rahman [1].
Toer, seorang Humanisme, berkecimpung dalam gejolak perpolitikan menulis banyak esai yang menekankan pentingnya publikasi etnik Tiongkok dalam mempromosikan bahasa Melayu (yang saat itu digunakan secar terbatas oleh populasi Indonesia) di seluruh wilayah Hindia Belanda[2]. Lebih lanjut, Toer juga menyuarkan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan tentara Jawa untuk "menundukkan wilayah di luar Jawa"[3].
Toer bertahan dalam penjajahan Jepang dan ditahan oleh Tentara Nasional Indonesia bertahun-tahun saat masa pemerintahan Soekarno di awal 1960an karena bukunya dan dukungannya terhadap etnis Tiongkok dan advokasinya terhadap persekusi kaum Tiongkok[2]. Setelah kudeta militer tahun 1965, perpustakaan miliknya dibakar, rumahnya disita, dan dirinya dipukuli. Ia kemudian ditahan selama 14 tahun, sebagian besar dilakukan di Pulau Buru[2]. Buku-bukunya diterbitkan ulang di Indonesia setelah kejatuhan Soeharto[1].
Latar Belakang
suntingBuku ini dipublikasikan saat munculnya pemerintahan bercorak soft-authoritarian saat Demokrasi Terpimpin (1959–1965) dan pembatasan perdagangan dan interaksi dengan orang asing. Regulasi ini mencapai titik puncak saat penerbitan Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia pada November 1959, melarang jasa retail yang dimiliki orang non-pribumi di daerah pedesaan. Pengusaha asal etnis Tiongkok, Arab, dan Belanda menjadi sasaran peraturan ini untuk memberikan keuntungan kepada pengusaha pribumi[4]. Pemberlakuan peraturan ini menimbulkan penolakan dari pemerintah Tiongkok dan beberapa lingkaran komunitas di Indonesia. Selain itu, terdapat pula pertanyaan mengenai kewarganegaraan etnis Tiongkok di Indonesia.
Gerakan Persatuan yang dipimpin oleh gerakan politik kaum Tiongkok-Indonesia yaitu Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) tumbuh tetapi gerakan tersebut menghadapi serangan terhadap komunitas Tiongkok di Jawa Barat pada Mei 1963[5]. Pasca kegagalan kudeta pada 1965, grup ini di cap sebagai komunis dan diberantas.
Karakter utama dari buku ini bernama Minke yang menkah dengan keturunan Tiongkok[4]. Pada 1960 Toer menyatakan bahwa "etnis Indonesia-Tiongkok bukan pengembara dari luar negeri yang mendarat di Indonesia. Mereka sudah ada di Indonesia lama seperti nenek moyang kita. Mereka adalah ornag Indonesia, hidup dan mati di Indonesia tetapi karena beberapa motif politik, mereka menjadi orang asing"[4].
Referensi
sunting- ^ a b Foreword by Maxwell Ronald Lane[perlu rujukan lengkap] Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "max2" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b c Foreword to the English translation by K.S. Jomo[perlu rujukan lengkap] Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "ks" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Pramoedya Ananta Toer, ‘17 August 1945’, Inside Indonesia, Oct-Dec 2003)
- ^ a b c Purdey 2006, hlm. 11.
- ^ Purdey 2006, hlm. 13.