Direktorat Jenderal Perhubungan Udara

direktorat jenderal di Kementerian Perhubungan Indonesia

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (disingkat menjadi Ditjen Hubud) adalah unsur pelaksana di lingkungan Kementerian Perhubungan Indonesia yang bertugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penerbangan.[1]

Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara
Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia
Gambaran umum
Dasar hukumPeraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015
Susunan organisasi
Direktur JenderalIr. Novie Riyanto Rahardjo, MSEA
Situs web
hubud.dephub.go.id

Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, direktorat jenderal ini memiliki Balai Besar Kalibrasi Fasilitas Penerbangan, Balai Teknik Penerbangan, Balai Kesehatan Penerbangan, sepuluh Otoritas Bandar Udara, dan puluhan Unit Penyelenggara Bandar Udara yang tersebar di seantero Indonesia.

Sejarah

sunting

Penerbangan Indonesia dari masa ke masa:[2]

Tahun 1913: Penerbangan Pertama di Indonesia Pada tanggal 19 Februari 1913 seorang penerbang asal Belanda bernama J.W.E.R Hilger berhasil menerbangkan sebuah pesawat jenis Fokker dalam kegiatan pameran yang berlangsung di Surabaya. Penerbangan tersebut tercatat sebagai penerbangan pertama di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) meskipun berakhir dengan terjadinya kecelakaan namun tidak menewaskan penerbangnya.

1924: Penerbangan pertama dari Belanda ke Jakarta

sunting

Dengan adanya prospek yang baik bagi penerbangan sipil maupun militer di Indonesia, maka pada tanggal 1 Oktober 1924 sebuah pesawat jenis Fokker F-7 milik maskapai penerbangan Belanda mencoba melakukan penerbangan dari Bandara Schiphol Amsterdam ke Batavia (sekarang Jakarta). Penerbangan yang penuh petualangan tersebut membutuhkan waktu selama 55 hari dengan berhenti di 19 kota untuk dapat sampai di Batavia dan berhasil mendarat di lapangan terbang Cililitan yang sekarang dikenal dengan Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

1928: Rintisan Rute Penerbangan di Indonesia

sunting

Pada tanggal 1 November 1928 di Belanda telah berdiri sebuah perusahaan patungan KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij) yang terbentuk atas kerjasama Deli Maatschappij, Nederlandsch Handel Maatschappij, KLM, Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan dagang lainnya yang mempunyai kepentingan di Indonesia. Dengan mengoperasikan pesawat jenis Fokker-F7/3B, KNILM membuka rute penerbangan tetap Batavia-Bandung sekali seminggu dan selanjutnya membuka rute Batavia-Surabaya dengan transit di Semarang sekali setiap hari. Setelah perusahaan ini mampu mengoperasikan pesawat udara yang lebih besar seperti Fokker-F 12 dan DC-3 Dakota, rute penerbangan pun bertambah yaitu Batavia-Palembang-Pekanbaru-Medan bahkan sampai ke Singapura seminggu sekali.

1929: Awal mula penerbangan berjadwal di Indonesia

sunting

Dengan suksesnya penerbangan pertama Belanda ke Jakarta, masih diperlukan lima tahun lagi untuk dapat memulai penerbangan berjadwal. Penerbangan tersebut dilakukan oleh perusahaan penerbangan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) menggunakan pesawat Fokker F-78 bermesin tiga yang dipakai untuk mengangkut kantong surat. Kemudian pada tahun 1931 jenis pesawat yang dipakai diganti dengan jenis Fokker-12 dan Fokker-18 yang dilengkapi dengan kursi agar dapat mengangkut penumpang.

1949: Asal nama Garuda Indonesia Airways

sunting

Pada tanggal 25 Desember 1949, Dr. Konijnenburg, mewakili KLM menghadap dan melapor kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta bahwa KLM Interinsulair Bedrijf akan diserahkan kepada pemerintah sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan meminta presiden memberi nama bagi perusahaan tersebut karena pesawat yang akan membawanya dari Yogyakarta ke Jakarta nanti akan dicat sesuai nama itu.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekarno menjawab dengan mengutip satu baris dari sebuah sajak bahasa Belanda gubahan pujangga terkenal, Raden Mas Noto Soeroto pada zaman kolonial, "Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden" ("Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauanmu"). Pada tanggal 28 Desember 1949, terjadi penerbangan bersejarah pesawat DC-3 dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair yang membawa Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Kemayoran, Jakarta untuk pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan logo dan nama baru, Garuda Indonesia Airways, pemberian Presiden Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.

Tahun 1952: Pembentukan Djawatan Penerbangan Sipil

sunting

Pada tahun 1952 pemerintah membentuk “Djawatan Penerbangan Sipil” yang saat itu bertanggungjawab kepada Kementerian Perhubungan Udara, tugas dan tanggung jawabnya adalah menangani administrasi pemerintahan, pengusahaan dan pembangunan bidang perhubungan udara, Djawatan Penerbangan Sipil ini merupakan cikal bakal Direktorat Jenderal Perhubungan Udara saat ini.

Tahun 1963: Direktorat Penerbangan Sipil

sunting

Pada tahun 1963 Djawatan Penerbangan sipil diubah nama menjadi Direktorat Penerbangan Sipil seiring dengan perkembangan dunia usaha penerbangan.

Tahun 1969: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara

sunting

Untuk mendorong perkembangan dunia usaha penerbangan yang semakin baik pada pemerintahan Orde Baru telah membentuk Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada tahun 1969 guna menyesuaikan kebutuhan dan pemanfaatannya sebagai pengganti dan penyempurnaan Direktorat Penerbangan Sipil dengan struktur organisasi terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Angkutan Udara Sipil, Direktorat Keselamatan Penerbangan dan Direktorat Fasilitas Penerbangan.

Pada tahun 1974 struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara disempurnakan menjadi Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan, Direktorat Pelabuhan Udara dan Direktorat Telekomunikasi Navigasi Udara & Listrik.

Penerbangan Indonesia terus berkembang bukan hanya bidang lalu lintas dan angkutan udara saja namun sudah mulai dengan perkembangan industri pembuatan pesawat terbang sehingga diantisipasi dengan pembentukan direktorat khusus yang menangani kelaikan udara berstandar internasional, pemerintah mengeluarkan KM 58 Tahun 1991 mengenai penyesuaian struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, strukturnya terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Angkutan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan, Direktorat Teknik Bandar Udara, Direktorat Fasilitas Elektronika dan Listrik dan Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara.

1978: Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN)

sunting

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 50/OT/Phb-78, tentang Susunan organisasi dan tata kerja pelabuhan udara dan Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN), terbentuk kantor SENOPEN di Medan, Pekanbaru, Palembang, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Biak. Fungsi unit kerja kantor SENOPEN adalah pemberian pelayanan navigasi penerbangan.

Struktur organisasi

sunting

Tugas pokok

sunting

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan No: KM 60 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menyelenggarakan fungsi:[3]

  1. Perumusan kebijakan di bidang perhubungan udara;
  2. Pelaksanaan kebijakan di bidang perhubungan udara;
  3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang perhubungan udara;
  4. Pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perhubungan udara; dan
  5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 60 TAHUN 2010 (2012-11-05). "Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan" (PDF). Diakses tanggal 2012-08-04. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Penerbangan Indonesia dari masa ke masa, 2012, diakses tanggal 2012-08-04 
  3. ^ Tugas Pokok

Pranala luar

sunting