Pieter Willem Botha

(Dialihkan dari P. W. Botha)


Pieter Willem Botha, (12 Januari 1916 – 31 Oktober 2006), biasanya dipanggil "P.W." dan "Die Groot Krokodil" dalam bahasa Afrikaans yang berarti "Si Buaya Besar", adalah Perdana Menteri Afrika Selatan dari 1978 hingga 1984 dan juga presiden dari 1984 hingga 1989.

Infobox orangPieter Willem Botha

Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran12 Januari 1916 Edit nilai pada Wikidata
Paul Roux (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Kematian31 Oktober 2006 Edit nilai pada Wikidata (90 tahun)
Wilderness (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Penyebab kematianSerangan jantung Edit nilai pada Wikidata
State President of South Africa (en) Terjemahkan
3 September 1984 – 15 Agustus 1989
← Marais ViljoenFrederik Willem de Klerk →
Perdana Menteri Afrika Selatan
9 Oktober 1978 – 14 September 1984
← B.J. Vorster – tanpa nilai →
Minister of Defence of South Africa (en) Terjemahkan
Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaNederduitse Gereformeerde Kerk (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
PendidikanUniversity of the Free State (en) Terjemahkan
Bethlehem Voortrekker High School (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanpolitikus Edit nilai pada Wikidata
Partai politikPartai Nasional Edit nilai pada Wikidata
Keluarga
Pasangan nikahAnna Elizabeth Botha (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Orang tuaPieter Willem Botha (en) Terjemahkan Edit nilai pada WikidataHendrina Christina de Wet (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Penghargaan

Find a Grave: 16413805 Modifica els identificadors a Wikidata

Botha adalah pendukung lama Partai Nasional Afrika Selatan dan penganjur kukuh segregasi rasial dan sistem apartheid.

Karier parlementer

sunting

Botha pertama kali dipilih menjadi anggota parlemen pada 1948 dan diangkat menjadi menteri pertahanan oleh Perdana Menteri B.J. Vorster pada 1966. Ketika Vorster mengundurkan diri pada 1978, Botha diangkat sebagai penggantinya oleh parlemen Afrika Selatan.

Meskipun umumnya dianggap konservatif, Botha juga dianggap jauh lebih pragmatis daripada pendahulunya. Ia berminat untuk melakukan pembaruan konstitusional, dan berharap untuk menerapkan suatu bentuk sistem federal di Afrika Selatan yang akan memungkinkan pemerintahan sendiri yang lebih besar bagi wilayah-wilayah kulit hitam, sementara masih tetap mempertahankan keunggulan pemerintahan pusat kulit putih.

Sebagai seorang bekas menteri pertahanan, Botha mengembangkan kebijakan militer yang ambisius yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan milter Afrika Selatan. Sebagai perdana menteri, ia berusaha meningkatkan hubungan dengan barat – khususnya Amerika Serikat – namun memperoleh hasil yang campuran. Ia mengatakan bahwa pemerintahan apartheid, meskipun tidak populer, sangat penting untuk menangkal komunisme Afrika, yang telah masuk ke negara-negara tetangga Angola dan Mozambik.

Pada tahun 1980-an ia mulai mengembangkan program senjata nuklir rahasia dengan bekerja sama dengan Israel. Ia juga tetap gigih mempertahankan pendudukan Afrika Selatan atas wilayah tetangga Afrika Barat Daya – yang kini menjadi negara merdeka Namibia; di sana Botha bertanggung jawab karena memperkenalkan satuan-satuan pasukan khusus kontra-pemberontak, koevoet. campur tangan Afrika Selatan yang mendukung gerakan pemberontak UNITA dalam perang saudara Angola berlanjut hingga awal tahun 1990-an. Untuk mempertahankan kekuatan militer negara tersebut, sebuah program wajib militer yang sangat ketat untuk kaum laki-laki kulit putih Afrika Selatan diberlakukan pada 1981 yang pada hakikatnya memaksa semua laki-laki dewasa untuk terlibat dalam berbagai tingkatan dalam dinas militer setiap tahun, hingga mereka mencapai usia 55 tahun.

Sebagai presiden

sunting

Pada 1983 Botha mengusulkan sebuah konstitusi baru, yang kemudian diajukan kepada warga kulit putih untuk menentukan sikap mereka. Meskipun tidak memberlakukan sistem federal seperti sebelumnya, konstitusi ini menciptakan dua kamar di parlemen, satu untuk masyarakat kulit berwarna Dewan Perwakilan) dan satu lagi untuk orang-orang India (Dewan Utusan), di samping dewan yang telah ada untuk warga kulit putih (Dewan Deputi). Parlemen baru yang tiga kamar ini secara teoretis mempunyai kekuasaan legislatif yang setara, tetapi hukum masing-masing dewan hanya berlaku dalam komunitasnya masing-masing. Namun, konstitusi ini juga mengubah cabang eksekutif, menghapuskan jabatan perdana menteri dan sebaliknya menciptakan jabatan eksekutif kepresidenan yang kuat dengan kekuasaan yang diperluas. Jabatan kepresidenan dan kabinet mempunyai yurisdiksi satu-satunya terhadap daerah-daerah kekuasaan lain yang dianggap sebagai tanggung jawab “nasional”, seperti misalnya kebijakan luar negeri dan hubungan antar-ras. Meskipun konstitusi yang baru ini dikritik oleh mayoritas kulit hitam karena gagal memberikan mereka peranan formal apapun dalam pemerintahan, banyak komentator internasional yang memujinya sebagai “langkah pertama” dalam apa yang dianggap sebagai serangkaian pembaruan. Pada 1984, Botha dipilih sebagai Presiden Afrika Selatan yang pertama dalam konstitusi yang baru saja disetujui.

Menerapkan sistem kepresidenan dipandang sebagai sebuah langkah penting dalam mengkonsolidasikan kekuatan pribadi Botha. Pada tahun-tahun sebelumnya, ia telah berhasil memberlakukan sejumlah undang-undang yang membatasi kebebasan berbicara melalui parlemen, dan dengan demikian menekan kritik-kritik terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

Gaya kepemimpinan Botha yang otoritar membuat ia tidak populer di antara beberapa negara barat dan banyak pihak yang mengecamnya sebagai diktator yang kejam dan rasialis. Di banyak negara barat, seperti misalnya Amerika Serikat, Britania Raya (yang merupakan basis Gerakan Anti Apartheid, dan negara-negara Persemakmuran Bersama terjadi banyak perdebetan tentang pemberlakuan sanksi-sanksi ekonomi untuk memperlemah Botha dan menggangsir rezim minoritas kulit putih. Pada akhir 1980-an – ketika invetasi asing di Afrika Selatan menurun – penarikan investasi mulai menimbulkan dampak yang hebat terhadap ekonomi negara itu.

Rezim apartheid

sunting

Dalam hal tertentu, praktik sistem apartheid Botha tidak begitu keras dibandingkan dengan para pendahulunya: pernikahan antar-ras – yang sebelumnya dilarang – dilegalisir, dan larangan konstitusional terhadap partai-partai multi ras dicabut. Botha juga mengendurkan Group Areas Act (Undang-undang Wilayah Kelompok), yang melarang warga kulit berwarna tinggal di daerah-daerah tertentu. Pada 1983, pembaruan-pembaruan konstitusional memberikan hak-hak politik terbatas kepada orang-orang Berwarna (warga Afrika Selatan keturunan campuran kulit putih dan bukan kulit putih) dan orang-orang India. Namun, menyangkut masalah sentral tentang memberikan hak-hak politik kepada orang-orang kulit hitam dan pengakhiran supremasi kulit putih, ia tidak bersedia mundur sedikit pun. Dalam menghadapi ketidakpuasan yang kian meningkat, ia memberlakukan penindasan negara yang lebih hebat, seperti Undang-undang Darurat dan tindakan-tindakan terselubung yang disponsori negara terhadap para aktivis anti apartheid. Ia juga dengan gigih menolak untuk berunding dengan Kongres Nasional Afrika.

Yang menjadi ciri khas dari pemerintahannya adalah pidato Botha pada 1986 yang berjudul “Menyeberangi Sungai Rubikon,” sebuah pidato kebijakan yang diharapkan akan berisi pembaruan-pembaruan yang baru. Sebaliknya, ia menolak untuk takluk kepada tekanan-tekanan yang menuntut konsesi terhadap mayoritas kulit hitam, termasuk pembebasan terhadap Nelson Mandela. Perlawanannya terhadap opini internasional langsung menyebabkan negaranya semakin terisolasi. Muncul seruan-seruan di seluruh dunia agar sanksi ekonomi segera diberlakukan atas Afrika Selatan, dan nilai mata uang Afrika Selatan Rand pun jatuh. Pada tahun itu, Botha juga mengumumkan berlakunya keadaan darurat.

Kejatuhan Botha

sunting

Kebijakan Botha yang tak mengenal kompromi mempolarisasikan pandangan partainya sendiri, dan akhirnya menimbulkan perpecahan di dalam Partai Nasional. Pada Februari 1989 Botha dilaporkan mengalami stroke dan, setelah menyerah terhadap pertikaian di dalam partai maupun terhadap tekanan-tekanan dari AS dan Britania Raya, Botha dipaksa untuk mengundurkan diri. Tokoh moderat Frederik W. de Klerk kemudian menjadi presiden pada 1989. Dalam beberapa bulan, de Klerk mengumumkan penghapusan larangan terhadap kelompok-kelompok anti apartheid, termasuk Kongres Nasional Afrika, pembebasan Nelson Mandela, dan permulaan negosiasi. Pemerintahan de Klerk menyaksikan penghapusan sistem apartheid dan negosiasi yang akhirnya membawa Afrika Selatan kepada pemilihan umum yang benar-benar demokratis dan terbuka bagi semua ras pada 27 April 1994.

Pensiun

sunting

Botha pensiun di rumahnya di kota Wilderness, dekat dengan kota George di Western Cape, dan menghindarkan diri dari media. Ia tetap menentang banyak pembaruan F. W. de Klerk, dan menolak memberikan kesaksian pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk oleh pemerintahan Mandela untuk mengungkapkan kejahatan-kejahatan pada masa apartheid. Pada Agustus 1998 ia didenda dan dijatuhi hukuman penjara yang ditunda karena ia menolak memberikan kesaksian sehubungan dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kekerasan yang diberlakukan oleh Dewan Keamanan Negara (SSC) yang ia, sebagai presiden hingga 1989, telah pimpin.

Botha meninggal dunia pada 31 Oktober 2006 akibat serangan jantung.

Ia tak memiliki hubungan keluarga dengan politikus Partai Nasional kontemporer Roelof Frederik "Pik" Botha, yang menjadi menteri luar negeri.

Rujukan

sunting

Lihat pula

sunting
Didahului oleh:
Balthazar Johannes Vorster
Perdana Menteri Afrika Selatan
1978–1984
Diteruskan oleh:
jabatan dihapuskan
Didahului oleh:
Marais Viljoen
Presiden Negara untuk Afrika Selatan
1984–1989
Diteruskan oleh:
Frederik Willem de Klerk