Padi Supertoy adalah jenis padi yang sempat menjadi terkenal pada sekitar periode 2007-2008 karena menjanjikan akan menghasilkan 15 ton produksi per hektar. Padi ini diklaim hasil inovasi dari Supriyadi alias Toyong dan sempat dibanggakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terlihat dari aktivitas panen bersama Padi Supertoy HL2 di Purworejo pada tanggal 17 April 2008, yang hingga kini masih tercatat sebagai dokumentasi di situs resmi Kementerian Sekretaris Negara. [1]

Padi supertoy diklaim mampu menghasilkan total panen 15 ton per hektar dan bisa dipanen berkali-kali walau sudah ditebas pada panen pertama.[2]

Jenis padi sebenarnya

sunting

Walau diklaim varietas baru yang sanggup menghasilkan panen luar biasa 15 ton per hektar, peneliti jurusan budidaya pertanian Dr Ir Djoko Prajitno Msc, didampingi peneliti pemuliaan tanaman Ir Supriyanta MP dan Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan UGM Drs Suryo Baskoro MS, membantah dan menyatakan bahwa padi ini sebenarnya jenis padi pari jawa, hasil silangan rojolele dan pandanwangi, sehingga seharusnya hasil panennya hanya berkisar 3-4 ton per hektar. Produksi dinilai mungkin saja didorong lewat teknik ratooning, yaitu ditunggu tumbuh kembali dan menghasilkan panen baru, setelah dipotong saat panen pertama, namun tidak akan signifikan melipatgandakan total panen, bahkan akan cenderung turus turun. Selain itu teknik ratooning dinilai berisiko mendorong menyebarnya wabah dan hama sehingga malah membuat petani menderita. [3]

Gagal panen

sunting

Peringatan dari UGM akhirnya menjadi kenyataan saat berbagai kelompok petani geram karena hasil panen tidak seperti yang dijanjikan, bahkan ada yang gagal panen karena bulir padi kopong, tidak berisi. Di Desa Grabag, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, petani menuntut ganti rugi sebesar Rp 1,6 Miliar dan membakar padi supertoy yang tidak memberikan mereka hasil apapun dan mulai terserang hama di panen kedua. PT SHI awalnya menjanjikan ganti rugi setelah panen perdana tidak memberi hasil sesuai harapan, namun karena tidak ada MOU, petani pada akhirnya harus menanggung kerugian sendiri. Sementara itu manajemen PT SHI sendiri yang menganjurkan mereka menanam padi supertoy dan menjamin hasilnya, terus berganti-ganti personel dan akhirnya menghilang. Petani kemudian beralih kembali ke jenis IR2.[4][5]

Gagal panen serupa juga terjadi di Madiun, tepatnya Desa Mlilir Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun. Petani sendiri sebenarnya enggan menanam padi ini, karena selain harga benihnya mahal, juga rakus pupuk. Sebagai perbandingan, jika padi biasa membutuhkan pupuk 5 kwintal, maka padi Superoy butuh pupuk hingga 1 ton.[6]

Penolakan tanggung jawab oleh pemerintah

sunting

Sekalipun awalnya sempat didukung istana, Menteri Pertanian Anton Apriantono menolak bahwa pemerintah seharusnya ikut bertanggung jawab karena pembelian dan penanaman benih Supertoy HL2 dianggap transaksi petani dengan pihak swasta, dalam hal ini PT Sarana Harapan Indopangan.

"Ya sama perusahaannya dulu. Swasta yang salah masa kita yang menanggung,"[7]

Pada akhirnya terbongkar bahwa jenis padi ini belum lolos uji kelayakan dan uji layak mutu sesuai yang diamanatkan Permentan No 37 tahu 2006. Sementara Pemerintah Kabupaten Purworejo juga menolak ikut bertanggung jawab.

"Kami hanya membantu mengawasi jalannya proyek penanaman percontohan Super Toy HL2 di lahan milik masyarakat," demikian keterangan Bupati Purworejo Kelik Sumrahadi.[8]

Tanggung jawab PT SHI

sunting

Heru Lelono, Komisaris Utama PT SHI, menyatakan PT SHI sudah bertanggung jawab dan masalah dianggap selesai dengan pemberian ganti rugi sebanyak Rp 1,6 Miliar melalui Bupati Purworejo oleh Iswayudi, Direktur Utama PT SHI.[9]

Referensi

sunting