Palereman Alas Ketangga Srigati
Palereman Alas Ketangga Srigati adalah hutan keramat yang berada di Desa Babadan, Kecamatan Paron, Ngawi. Menurut kepercayaan masyakarat Jawa, Alas Purwa dan Alas Ketangga Srigati merupakan "pasangan". Alas Purwa diyakini sebagai "bapak hutan tanah Jawa", sedangkan Alas Ketangga Srigati diyakini sebagai "ibu hutan tanah Jawa". Ketika Kerajaan Majapahit diserbu oleh bala tentara Kerajaan Demak pimpinan Raden Patah, tempat ini menjadi petilasan Prabu Brawijaya V dan pengikutnya sebelum melanjutkan perjalanan ke Gunung Lawu. Petilasan tersebut ditemukan oleh mantan Kepala Desa Babadan, Sumo Darmojo, pada 1963.[1]
Lokasi
suntingPaleraman Alas Ketangga Srigati adalah hutan dengan luas 4.846 meter persegi. Berlokasi pada Kecamatan Paron, Ngawi. atau lebih tepatnya 12 km ke arah selatan dari Kecamatan Ngawi.
Di sekitar hutan ini, terdapat lebih dari 12 petilasan atau bekas tempat istirahat oleh orang orang terdahulu. Yang paling terkenal adalah Kali Tempur, sebuah sungai yang digunakan sebagai tempat meditasi. Kali ini adalah pertemuan dua aliran sungai dari Gunung Lawu yakni Sungai Ketonggo dan Sungai Cangmalang.
Sejarah
suntingKonon Katanya, Prabu Brawijaya V memilih tempat ini sebagai tempót peristirahatan setelat lari dari kejaran Kerajaan Majapahit. Prabu Brawijaya V juga beristirahat disini sebelum melanjutkan perjalanan menuju Gunung Lawu untuk memenuhi janjinya. terdapat juga banyak benda-benda peninggalan Prabu Brawijaya V di petilasan tersebut. Petilasan ini kemudian ditemukan oleh Sumo Darmojo, mantan kepala Desa Babadan, pada tahun 1963.
Gusti Dorodjatun IX dari Kasunanan Surakarta, mendatangi petilasan ini pada tahun 1974. Lalu menyatakan barwa petilasan ini adalah bagian dari sejarah Majapahit dan diberi nama Pesanggrahan Agung Srigati. Pada tahun 1981, diperbagus lagi menjadi sebuah pendopo oleh Sumo Darmojo.
Nama Alas Ketangga Srigati juga memiliki filosofinya tersendiri. Alas sendiri artinya adalah hutan dalam Bahasa Jawa. Dan Ketangga berasal dari "Katon" dan "Onggo". Katon sendiri artinya terlihat, sedangkan Onggo artinya makhluk halus dan supranatural. Srigati sendiri diambil dari nama Priyagung, seorang begawan asal Hindia yang turun di tanah Jawa.
Acara
suntingDI sekitar Pesanggrahan Agung Srigati, terdapat kain putih selambu atau Langse yang membalut pesanggrahan tersebut. Setiap tahunnya (Bulan Muharram atau Bulan Suro), warga setempat rutin mengadakan upacara ritual Ganti Langse atau Ganti Selambu, dimana warga setempat mengganti kain putih atau kain penutup Pesanggrahan Agung Srigati secara rutin tiap tahun. Dengan maksud sebagai pembersih diri masyarakat sekitar dari perbuatan buruk yang dilakukan dan juga sebagai rasa syukur atas pemberian Tuhan. Terdapat juga di sekitar Pesanggrahan beberapa pakaian, bekas dupa, dan sesajen yang ditaruh dalam takir terbuat dari daun pisang. Sesajen tersebut berisi bunga mawar, kemiri, telur ayam, gerih atau ikan asin, ikan teri, enjet, daun dadap serep, gula merah, kelapa diiris. Kemudian ada pula biji pinang, suruh dan gambir.[2]
Di daerah sekitar Pesanggrahan juga terdapat objek-objek yang memiliki arti filosofinya tersendiri. Ada yang bermakna hubungan antara individu dengan sang pencipta dan juga ada yang menggambarkan perjalanan spiritual individu. Terdapat juga pesan-pesan yang mengundang ketertarikan warga dan wisatawan yang datang kemari. Selain hal-hal yang berbau mistis, tempat ini juga mengandung kebudayaan dan adat istiadat setempat.
Rujukan
sunting- ^ Ardyanti, Alwida, Hendrisa Rizqie Romandoni, Uun Unzila Mushofiroh, Zahra Aurista Setiono, Darmadi Darmadi (2022-06-17). "Mengulas Filosofi Alas Ketonggo Srigati (Petilasan Prabu Brawijaya V) di Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi (Kajian Filosofi dan Nilai Budaya)". Innovative: Journal Of Social Science Research. 2 (1): 1–7. doi:10.31004 Periksa nilai
|doi=
(bantuan). - ^ Detikcom (2021-10-14). "Soal Alas Ketonggo Ngawi yang Dipercaya Gerbang Alam Gaib Gunung Lawu". Artikel.