Partisipasi politik

pemikiran bung Karno

Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M.Nelson partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap, sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.[1] Sehingga dengan partisipasi politik tersebut, masyarakat berharap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut dapat memberikan perubahan yang lebih baik di masyarakat. Hingga dapat mewujudkan cita-cita negara tersebut.

Golongan partisipasi politik menurut Milbrath and Goel:[1]

1. Apatis, merupakan orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik

2. Spektator, merupakan orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilu.

3. Gladiator, merupakan mereka yang tidak secara aktif terlibat dalam proses politik.

4. Pengkritik, dalam bentuk partisipasi tak konvensional. Individu tersebut memberikan opini pemerintah dengan tujuan agar pemerintah suatu negara tersebut dapat menjadi lebih baik dengan cara mengkritik.

Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musyawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50–60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy.

Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.

Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:

  • Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
  • Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa memengaruhinya.
  • Rezim partisipatif - warga bisa memengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
  • Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.

Referensi

sunting
  1. ^ a b Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.