Pasambahan (dalam bahasa Minangkabau: persembahan) adalah salah satu jenis sastra lisan Minangkabau. Sastra lisan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau dalam acara perkawinan, kematian, dan acara adat lainnya. Pasambahan yang biasanya digunakan dalam upacara adat ini menggunakan bahasa halus dengan perumpamaan dan nilai-nilai budaya. Djamaris (2002:44) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam pasambahan ini berbeda dengan bahasa sehari-hari, bahasanya lebih puitis. Kepuitisan itu ditandai oleh banyaknya ungkapan, kiasan, pepatah petitih, pantun, dan talibun, serta susunan kalimat yang teratur sehingga bila diucapkan terdengar berirama dan merdu.[1]

Peran pasambahan sunting

Pasambahan menurut Djamaris (2002:43) berasal dari kata "sambah"' yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘sembah’ yaitu pernyataan hormat dan khidmat; kata atau perkataan yang ditujukan kepada orang yang dimuliakan. Dengan demikian, pasambahan berarti ‘pemberitahuan dengan hormat’. Lebih lanjut ia "Pasambahan" merupakan pembicaraan dua pihak, yaitu dialog antara tuan rumah ("si pangka") dan tamu ("si alek"') untuk menyampaikan maksud atau tujuan dengan (rasa) hormat. Medan (1976) menyatakan upacara adat yang menggunakan "pasambahan" ini, di antaranya 1) peresmian pengangkatan penghulu, 2) upaca yang berhubungan dengan perkawinan, 3) upacara yang berhubungan dengan kematian, 4 upacara yang berhubungan dengan pembangunan rumah, dan 5) upacara yang berhubungan dengan kelahiran. Kegiatan "pasambahan" ini biasanya dilakukan dalam keadaan duduk bersila.[2]

Dalam (Djamaris, 2002:44) dijelaskan upacara adat yang salah satu unsurnya pasambahan ini melibatkan dua pihak, yaitu tuan rumah (si pangka) dan tamu (si alek). Masing-masing pihak ini mempunyai juru bicara yang sudah ditentukan sebelumnya. Juru bicara inilah yang disebut dengan juru sambah. Juru sambah ini harus menghafal kata-kata, ungkapan, petatah-petitih, pantun, dan talibun yang sering digunakan dan disampaikan dalam pasambahan. Selain itu, juru sambah juga harus fasih berkata-kata, bersuara merdu agar siapapun yang hadir pada acara itu merasa khidmat mendengarnya.Adapun tata cara dan urutan pembicaraan dalam pasambahan sebagai berikut.[3]

Nilai-nilai budaya sunting

Sebagai salah satu acara dalam adat, pasambahan mencerminkan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat (Minangkabau) menganggap pelrlu mempelajarinya. Nilai budaya dalam "pasambahan", di antaranya:

1. Kerendahan hati

Orang yang rendah hati selalu menghargai orang lain. Hal ini tampak pada awal acara pasambahan dimulai. Juru sambah tuan rumah menyapa tamu satu persatu dengan menyebutkan gelar adatnya. Itu pertanda bahwa pihak tuan rumah sangat mengahargai tamunya. Setelah itu, juru sambah akan menyampaikan maksudnya.

2. Musyawarah

Segala sesuatu yang akan dilakukan dan diputuskan selalu dimuyawarahkan terlebih dahulu. Apapun yang disampaikan oleh juru sambah selalu didahului dengan kata lah saizin kato jo mupakaik karena memang telah dirundingkan terlebih dahulu.

3. Ketelitian dan Kecermatan

Baik juru sambah tuan rumah maupun juru sambah tamu harus teliti dan mencermati apa yang disampaikan oleh masing-masing pihak melalui juru sambahnya. Apa yang diucapkan oleh juru sambah yang satu harus diulangi oleh juru sambah lainnya. Hal itu untuk meyakinkan bahwa ia tidak salah mendengarkan tentang apa yang dikatakan juru sembah yang dimaksud.

4. Taat pada Adat

Masyarakat tradisional sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Dalam pasambahan itu segala sesuatu yang akan dilakukan ditanyakan dahulu apakah sudah sesuai dengan adat yang berlaku karena salah satu syarat untuk dapat disetujuinya suatu permintaan adalah sesuai aturan adat yang berlaku.

Referensi sunting

  1. ^ Djamaris, Edwar. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. 2002. 
  2. ^ 1. Medan, Tamsin. 1976. “Struktur Pidato Adat pada Kenduru Perkawinan”Majalah Bahasa dan Sastra, II, No. 3. Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta
  3. ^ Medan, Tamsin. Struktur Pidato Adat pada Pidato Perkawinan. 1976.