Pedagogi bahasa adalah disiplin ilmu mengenai teori dan teknik mengajar bahasa. Ilmu ini dideskripsikan sebagai suatu jenis pengajaran yang memerlukan seorang pengajar untuk mengajar bahasa dengan menggunakan pengetahuan dan pengalamannya sebelumnya dalam mengajar bahasa.[1] Pendekatan ini berbeda dengan metodologi berbasis penelitian.[1]

Dalam pedagogi bahasa, terdapat beberapa metode yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: struktural, fungsional, dan interaktif.[2] Tiap-tiap kelompok ini mencakup sejumlah metode yang dapat digunakan untuk mengajar dan belajar bahasa.

Perkembangan sunting

Perkembangan pedagogi bahasa terjadi dalam tiga tahap.[butuh rujukan] Pada akhir tahun 1800-an dan sebagian besar tahun 1900-an, pedagogi bahasa biasanya dikemukakan sebagai metode-metode. Pada tahun 1963, Profesor Linguistik Universitas Michigan Edward Mason Anthony Jr. merumuskan sebuah kerangka kerja untuk mendeskripsikan metode-metode tersebut menjadi tiga tingkatan: pendekatan, metode, dan teknik. Pada tahun 1982, kerangka kerja itu dikembangkan oleh Richards dan Rogers menjadi pendekatan, desain, dan prosedur.

Metodologi sunting

Pada akhir tahun 1800-an dan sebagian besar tahun 1900-an,[3] pengajaran bahasa biasanya dikemukakan sebagai berbagai metode. Guna meningkatkan praktik mengajar, para pengajar dan peneliti biasanya berusaha mencari tahu tentang metode mana yang paling efektif.[4] Namun, metode merupakan sebuah konsep yang ambigu dalam pengajaran bahasa dan telah digunakan dalam banyak konteks yang berbeda. Menurut Bell, penggunaannya yang beragam ini "memberikan tantangan bagi siapa pun yang ingin memasuki analisis atau dekonstruksi metode".[5]

Metode-metode mengajar bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan tiga pandangan pokok:

  1. Pandangan struktural, yaitu pandangan yang memperlakukan bahasa sebagai sebuah sistem dari elemen-elemen yang berkaitan secara struktural untuk mengodekan makna (contohnya tata bahasa).
  2. Pandangan fungsional, yaitu pandangan yang menganggap bahasa sebagai sarana untuk mengekspresikan atau mencapai tujuan-tujuan tertentu, (contohnya mengajukan permohonan, memberikan informasi, atau meminta informasi).
  3. Pandangan interaktif, yaitu pandangan yang menganggap bahasa sebagai sarana untuk membentuk dan memelihara hubungan sosial dengan berfokus pada pola-pola gerakan, perbuatan, negosiasi, dan interaksi yang ada dalam percakapan. Pandangan ini cukup dominan sejak tahun 1980-an.[2]

Selain itu, ada banyak metode eksklusif milik beberapa perusahaan dan sekolah tertentu yang tidak digunakan secara luas dalam pengajaran arus utama. Metode yang paling terkemuka adalah sejumlah pelajaran komputer spesifik yang menggunakan pemrograman dan pengenalan wicara untuk memberikan balikan kepada para partisipannya.

Pendekatan, Metode, dan Teknik sunting

Pada tahun 1963, Professor Linguistik Universitas Michigan Edward Mason Anthony Jr. merumuskan sebuah kerangka kerja untuk mendeskripsikan berbagai metode mengajar bahasa menjadi tiga tingkatan: pendekatan, metode, dan teknik.[6] Menurut Anthony, "Susunannya hierarkis. Pokok organisasinya adalah bahwa sejumlah teknik menjalankan sebuah metode yang sesuai dengan suatu pendekatan."[3] Konsep milik Anthony mengenai pendekatan adalah sekumpulan prinsip atau ide tentang sifat pemelajaran bahasa yang konsisten seiring berjalannya waktu; "sebuah pendekatan itu aksiomatis".[3] Metode milik Anthony bersifat lebih prosedural; "sebuah rencana menyeluruh untuk menyajikan bahan ajar bahasa secara berurutan, tanpa ada bagian yang berkontradiksi, dan sepenuhnya berdasarkan pendekatan yang dipilih."[3] Yang terakhir, konsepnya mengenai teknik mengacu pada implementasi aktual di dalam ruang kelas bahasa; "sebuah trik, siasat, atau rencana tertentu yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan jangka pendek."[3] Ia memandang bahwa sejumlah teknik konsisten dengan metode dan pendekatan yang ditentukan.[6]

Metode adalah sebuah rencana untuk menyajikan bahan ajar bahasa yang perlu dipelajari dan harus berdasarkan pendekatan yang dipilih. Untuk mengubah suatu pendekatan menjadi sebuah metode, sebuah sistem instruksional (pembelajaran) harus didesain dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan mengajar/belajar, bagaimana materinya seharusnya dipilih dan diorganisasi, jenis-jenis tugas yang perlu dikerjakan, peran para peserta didik, dan peran para pengajar. Teknik adalah sebuah siasat atau trik yang sangat konkret dan spesifik yang didesain untuk mencapai tujuan jangka pendek. Yang demikian itu didasarkan pada metode dan pendekatan yang dipilih.[2]

Ketika diperkenalkan kepada komunitas pengajaran bahasa, kerangka kerja Anthony diterima dengan baik dan dipandang sebagai sebuah cara yang bagus untuk mengklasifikasikan praktik-praktik pengajaran yang berbeda.[7] Meskipun demikian, kerangka kerja ini tidak mendefinisikan perbedaan antara pendekatan, metode, dan teknik secara jelas sehingga berdasarkan laporan Kumaravadivelu, terdapat banyak orang yang tidak puas terhadap kerangka kerja Anthony.[7] Anthony sendiri mengakui keterbatasan-keterbatasan kerangka kerjanya dan bersikap terbuka terhadap gagasan untuk memperbaikinya.[7]

Pendekatan, Desain, dan Prosedur sunting

Pada tahun 1982, Richards dan Rogers melakukan pendekatan untuk mengembangkan kerangka kerja tiga tingkatan Anthony. Namun, alih-alih mempertahankan istilah pendekatan, metode, dan teknik, mereka memilih mengubahnya menjadi pendekatan, desain, dan prosedur.[8] Konsep mereka mengenai pendekatan mirip dengan konsep Anthony, tetapi desain dan prosedur mereka memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari metode dan teknik Anthony.[8] Desain mereka mengacu pada seluruh implikasi praktis mayor, seperti desain silabus, jenis-jenis aktivitas yang dilakukan di dalam ruang kelas, serta peran peserta didik dan pengajar. Prosedur mengacu pada perilaku-perilaku, praktik-praktik, dan teknik-teknik berbeda yang didapati di dalam ruang kelas.[8] Istilah-istilah baru ini dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan kerangka kerja Anthony[9] dan memberi mereka kriteria spesifik untuk mengevaluasi "metode-metode" yang berbeda.[10] Proses evaluasi ini merupakan hal utama yang membedakan perumusan mereka dari perumusan Anthony, mengingat bahwa kerangka kerja Anthony dimaksudkan murni bersifat deskriptif.[10]

Kendati upaya-upaya Richards dan Rogers dalam mendefinisikan pendekatan, desain, dan prosedur secara jelas, kerangka kerja mereka dikritik oleh Kumaravadivelu karena mengandung "sebuah elemen artifisialitas dalam konsepsinya dan sebuah elemen subjektivitas dalam operasinya".[11] Kumaravadivelu juga menunjukkan kritik-kritik senada yang dikemukakan oleh Pennyworth dan Routledge Encyclopedia of Language Teaching and Learning.[11] Brown juga mempertanyakan kesesuaian desain istilah Richards dan Rogers; ia menunjukkan bahwa dalam pengajaran bahasa Inggris, desain biasanya digunakan untuk mengacu pada desain kurikulum secara khusus daripada definisi luas yang digunakan Richards dan Rogers.[12] Kebanyakan manual pelatihan pengajar terkini pun lebih memilih untuk menggunakan istilah pendekatan, metode, dan teknik.[13]

Metode-Metode Struktural sunting

Pendekatan Struktural memperlakukan bahasa sebagai "sebuah sistem dari elemen-elemen yang berkaitan secara struktural untuk mengodekan makna" dan menekankan kompetensi-kompetensi dalam unit-unit fonologis serta butir-butir gramatikal dan leksikal.[14] Pendekatan ini memeriksa produk-produk bahasa, antara lain, seperti, suara, morfem, kata, kalimat, dan kosakata.[15]

Metode Tata Bahasa-Penerjemahan sunting

Metode tata Bahasa-Penerjemahan (grammar-translation method) adalah sebuah metode mengajar yang digunakan untuk membelajarkan tata bahasa kepada para peserta didik dan membelajarkan kosakata kepada mereka melalui hafalan terjemahan langsungnya. Metode ini merupakan metode mengajar yang paling banyak digunakan di Eropa dari tahun 1840-an hingga 1940-an.[16] Kebanyakan para pembelajar pada masa kini menyatakan bahwa metode ini tidak efektif jika tidak dikombinasikan dengan metode lainnya.[butuh rujukan] Pada masa sekarang, metode ini paling banyak digunakan dalam pembelajaran tradisional bahasa-bahasa klasik, tetapi metode ini tetap menjadi metode mengajar bahasa Inggris yang paling banyak digunakan di Jepang.[butuh rujukan]

Di sekolah, pengajaran tata bahasa terdiri atas proses pelatihan dalam aturan-aturan bahasa sehingga para peserta didik dapat menyampaikan pendapat mereka dengan benar, memahami ucapan-ucapan yang ditujukan kepada mereka, dan menganalisis teks-teks yang mereka baca. Hal ini bertujuan agar ketika lulus, para pelajar sudah menguasai kompetensi-kompetensi bahasa, seperti kosakata, tata bahasa, dan ortografi untuk bisa membaca, memahami, dan menulis teks-teks dalam berbagai konteks. Pengajaran ini membuat para peserta didik memeriksa teks-teks sehingga mereka menyadari bahwa bahasa merupakan sebuah sistem yang dapat dianalisis.

Pengetahuan ini diperoleh secara bertahap dengan menjelajahi fakta-fakta bahasa dan mekanisme-mekanisme sintaktisnya mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Peserta didik harus banyak mengerjakan latihan-latihan tata bahasa supaya bisa memahami aturan-aturan yang dibelajarkan dalam suatu program pembelajaran.[butuh rujukan]Itu pun jika sang pengajar mengoreksi latihan peserta didiknya. Peserta didik lalu dapat mengetahui perkembangannya dalam menggunakan bahasa dengan membandingkan hasil-hasil latihannya. Dengan demikian, ia dapat berdaptasi dengan aturan-aturan gramatikal dan menguasai sedikit demi sedikit logika internal dalam sistem sintaktis. Analisis gramatikal kalimat merupakan tujuan mengajar tata bahasa di sekolah. Praktiknya membuat peserta didik mampu mengenali suatu teks sebagai satu kesatuan yang koheren serta (praktiknya) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan pelatihan bahasa asing. Terminologi gramatikal berguna dalam mencapai tujuan tersebut. Tata bahasa memungkinkan tiap peserta didik untuk memahami bagaimana cara kerja bahasa ibunya sehingga mereka mampu untuk mengomunikasikan pikirannya.

Metode Audiolingual sunting

Metode Audiolingual—juga dikenal sebagai Metode Aural-Oral—dikembangkan di Amerika Serikat kira-kira pada saat Perang Dunia II.[17] Pemerintah sadar bahwa mereka membutuhkan lebih banyak orang yang dapat berbicara dengan fasih dalam berbagai bahasa serta dapat bekerja sebagai juru bahasa, asisten kamar sandi, dan penerjemah. Akan tetapi, karena pembelajaran bahasa asing di negara itu sangat berfokus pada pembelajaran membaca, tidak ada buku pelajaran, bahan ajar lain, dan mata pelajaran lain pada saat itu sehingga metode-metode dan bahan-bahan pembelajaran yang baru harus dirancang.[18] Para prajurit perlu berbicara dengan orang-orang lokal yang tinggal di daerah penugasan mereka sehingga mereka harus mempelajari bahasa-bahasa baru dengan cepat.[17] Program Pelatihan Khusus Angkatan Darat AS membuat program-program intensif berdasarkan teknik-teknik Leonard Bloomfield dan para linguis lainnya yang dirancang untuk bahasa-bahasa penduduk asli Benua Amerika. Dalam program ini, para peserta didik berinteraksi secara intensif dengan para penutur asli dan seorang linguis dalam sejumlah percakapan terbimbing yang dirancang untuk menguraikan tata bahasa dasar dan mempelajari kosakata dari suatu bahasa. "Metode Informan" ini sukses besar ketika digunakan untuk kelas-kelas kecil dan para pemelajar yang termotivasi.[2]

Meskipun Program Pelatihan Khusus AS ini hanya berlangsung selama beberapa tahun, program ini mendapatkan banyak perhatian dari pers populer dan komunitas akademik. Charles C. Fries mendirikan Institut Bahasa Inggris di Universitas Michigan untuk melatih para pengajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan asing. Setelah itu, program-program yang hampir serupa dibuat, antara lain, di Universitas Georgetown dan Universitas Texas berdasarkan metode-metode dan teknik-teknik yang digunakan oleh pasukan militer itu. Metode yang berkembang ini memiliki banyak kesamaan dengan Pendekatan Oral British walaupun keduanya dikembangkan secara terpisah. Sementara itu, perbedaan utama antara keduanya terletak pada kesetiaan Metode Audiolingual yang berkembang ini pada linguistik struktural sehingga berfokus pada tata bahasa dan analisis kontrastif untuk menemukan perbedaan-perbedaan antara bahasa asli peserta didik dan bahasa sasaran. Hal ini berguna untuk mempersiapkan bahan-bahan ajar spesifik sehingga masalah-masalah yang mungkin timbul dari perbedaan-perbedaan itu dapat diatasi. Bahan-bahan ajar ini sangat menekankan latih tubi sebagai sebuah cara untuk menghindari atau mengatasi masalah-masalah tersebut.[2]

Versi pertama dari metode ini pada mulanya disebut Metode Oral, Metode Aural Oral, atau Pendekatan Struktural. Menjelang akhir tahun 1950-an, Metode Audiolingual benar-benar mulai terbentuk setelah mendapatkan tekanan dari pemerintah akibat Perlombaan Antariksa. Berbagai pelajaran dan teknik pun didesain ulang untuk menambahkan berbagai wawasan dari psikologi behavioris ke dalam linguistik struktural dan analisis konstruktif yang digunakan. Dalam aplikasinya, para peserta didik mendengarkan atau melihat rekaman-rekaman para penutur bahasa berbicara dalam berbagai situasi. Para peserta didik berlatih dengan berbagai latih tubi dan pembelajar menekankan penggunaan bahasa sasaran sepanjang waktu. Kosepnya adalah bahwa dengan memperkuat perilaku-perilaku yang "tepat", para peserta didik akan menjadikan perilaku tersebut sebagai kebiasaan.[2]

Struktur tipikal dari sebuah bab pembahasan yang menggunakan Metode Audiolingual (ALM—dan bahkan terdapat buku pelajaran yang berjudul ALM [1963]) biasanya distandardisasikan seperti berikut:

1. Butir pertama adalah sebuah dialog dalam bahasa asing (FL) yang harus dihafal oleh peserta didik. Pengajar akan menjelaskannya pada hari sebelumnya.

2. Kemudian, terdapat pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa asing mengenai dialog tersebut yang harus diajawab oleh peserta didik dalam bahasa sasaran.

3. Setelah itu, seringkali terdapat perkenalan singkat mengenai tata bahasa bab tersebut, termasuk kata kerja dan konjugasi.

4. Bagian utama dari bab ini adalah "praktik pola", yaitu sejumlah latih tubi yang menuntut respons-respons "otomatis" dari peserta didik ketika ia harus mengisikan nomina, konjugasi kata kerja, atau kata sifat yang sesuai ke dalam bagian rumpang pada teks (atau selama jeda dalam ujaran pengajar). Pengajar dapat meminta peserta didik untuk menggunakan buku atau tidak berdasarkan bagaimana PR diberikan. Bergantung pada waktu yang tersedia, para peserta didik dapat merespons secara serentak atau pengajar dapat menunjuk beberapa orang untuk merespons. Julian Dakin, dalam bukunya yang berjudul The Language Laboratory and Language Learning (Longman, 1973), menciptakan frasa "meaningless drills" (latih tubi yang sia-sia) untuk mendeskripsikan praktik pola semacam ini yang juga dideskripsikan sebagai "mimicry-memorization" (memorisasi mimikri) oleh yang lain.

5. Terdapat sebuah daftar kosakata, terkadang dengan terjemahan bahasa ibunya.

6. Bab ini biasanya diakhiri dengan latihan membaca bacaan pendek.

Karena memiliki kelemahan dalam implementasinya[19] dan terutama karena serangan teoretis yang dilancarkan Noam Chomsky terhadap teori pemelajaran bahasa sebagai sekumpulan kebiasaan, Metode Audiolingual jarang dijadikan metode utama dalam pembelajaran pada masa sekarang. Walaupun demikian, elemen-elemen metode ini masih bisa ditemukan di dalam banyak buku pelajaran.[2]

Metode-Metode Fungsional sunting

Pendekatan Oral dan Pengajaran Bahasa Situasional sunting

Pendekatan Oral (oral approach) dikembangkan dari tahun 1930-an hingga 1960-an oleh para linguis terapan Inggris, seperti Harold Palmer dan A.S. Hornsby. Mereka familier dengan Metode Langsung (direct method) serta karya para linguis terapan abad ke-19, seperti Otto Jespersen dan Daniel Jones, tetapi berupaya untuk secara resmi mengembangkan sebuah pendekatan dalam pengajaran bahasa Inggris, yang memiliki dasar lebih ilmiah daripada pendekatan yang dibuktikan melalui Metode Langsung.[2]

Sejumlah investigasi berskala besar terhadap pemelajaran bahasa dan peningkatan penekanan pada keterampilan-keterampilan membaca pada tahun 1920-an menyebabkan dilahirkannya gagasan "vocabulary control" (kontrol kosakata). Terdapat penemuan yang mengungkap bahwa bahasa memiliki kosakata dasar inti sekitar 2.000 kata yang sering muncul pada teks tertulis dan penguasaan kosakata tersebut diasumsikan akan sangat membantu pemahaman membaca. Sejalan dengannya, gagasan "grammar control" (kontrol tata bahasa) yang menekankan pola-pola kalimat yang paling umum ditemukan dalam percakapan lisan. Pola-pola seperti itu dimasukkan ke dalam kamus-kamus dan buku-buku pegangan untuk para peserta didik. Perbedaan utama antara Pendekatan Oral dan Metode Langsung adalah bahwa metode-metode yang dirancang berdasarkan pendekatan ini akan memiliki prinsip-prinsip teoretis yang memandu pemilihan materi ajar, gradasi tingkat kesulitan latihan, penyajian materi, dan latihan-latihan. Manfaat utama yang ditawarkan adalah bahwa pengorganisasian materi berbasis teori semacam ini akan menghasilkan sebuah sekuens kegiatan-kegiatan pemelajaran yang lebih teratur dengan kontekstualiasi yang lebih baik pada kosakata dan pola-pola tata bahasa yang disajikan.[2] Yang tidak kalah pentingnya, semua poin-poin bahasa harus disajikan dalam berbagai situasi. Penekanan pada hal ini menyebabkan dibuatnya nama kedua untuk pendekatan ini. Para pendukung pendekatan ini mengeklaim bahwa pendekatan ini membuat para peserta didik memperoleh kebiasaan-kebiasaan baik yang dapat diterapkan dalam situasi-situasi yang sesuai. Metode-metode mengajar ini menekankan PPP: presentasi (perkenalan mengenai materi ajar yang baru dalam konteksnya), praktik (fase praktik terkendali), dan produksi (aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk praktik yang kurang terkendali).[2]

Meskipun pendekatan ini hampir tidak dikenal di kalangan guru bahasa pada masa sekarang, elemen-elemennya telah memiliki pengaruh-pengaruh jangka panjang terhadap pengajaran bahasa karena merupakan basis dari banyak buku-buku pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua/asing yang digunakan secara luas pada tahun 1980-an serta elemen-elemennya masih dapat ditemukan pada teks-teks saat ini. Banyak elemen struktural dari pendeketan ini dipertanyakan pada tahun 1960-an sehingga metode ini melalui sejumlah modifikasi yang menghasilkan Pengajaran Bahasa Komunikatif. Namun, penekanannya pada praktik oral serta pola-pola tata bahasa dan kalimat masih mendapatkan banyak dukungan dari para guru bahasa dan tetap populer di negara-negara yang silabus bahasanya masih sangat berbasis tata bahasa.[2]

Praktik Terarah sunting

Praktik Terarah (directed practice) membuat para peserta didik mengulang-ulang berbagai frasa. Metode ini digunakan dalam mata pelajaran diplomatik di AS. Metode ini dapat dengan cepat menyediakan pengetahuan bahasa seperti yang ada di dalam sebuah buku frasa. Oleh karena itu, peserta didik dapat menggunakan frasa-frasa secara tepat dan akurat. Akan tetapi, peserta didik tidak mempunyai pilihan yang fleksibel dalam mengatakan sesuatu.

Metode-Metode Interaktif sunting

 
Bahasa Spanyol untuk SMA diajarkan sebagai bahasa kedua di dalam sebuah kelas yang berisikan para penutur asli bahasa Inggris di sebuah sekolah swasta di Massachusetts, Amerika.

Metode Langsung sunting

Metode Langsung (direct method), terkadang juga disebut Metode Alami (natural method), adalah sebuah metode yang melarang para pemelajar menggunakan bahasa asli mereka supaya mereka hanya menggunakan bahasa sasaran. Metode ini dibuat di Jerman dan Prancis pada sekitar tahun 1900 serta paling terwakili oleh metode-metode yang dirancang oleh Berlitz dan de Sauze meskipun tidak satu pun dari mereka mengeklaim bahwa metode-metode buatan mereka lah yang orisinal sehingga metode ini pun diubah namanya.[20] Metode ini bekerja atas dasar ide bahwa pemelajaran bahasa kedua harus berupa imitasi dari pemelajaran bahasa pertama karena pemelajaran B1 merupakan cara alami manusia dalam mempelajari suatu bahasa: seorang anak tidak pernah mengandalkan bahasa lain untuk mempelajari bahasa pertamanya sehingga bahasa ibu tidak diperlukan untuk mempelajari bahasa asing. Metode ini sangat menekankan pelafalan yang benar serta bahasa sasaran dari awal. Metode ini mendukung pengajaran keterampilan-keterampilan oral dengan mengorbankan setiap tujuan tradisional dalam mengajar bahasa. Metode-metode semacam ini mengandalkan secara langsung menggambarkan suatu pengalaman sebagai konstruk linguistik daripada mengandalkan abstraksi-abstraksi, seperti mimikri, penerjemahan, serta penghafalan aturan-aturan tata bahasa dan kosakata.[20]

Berdasarkan metode ini, bahasa dan teks cetak harus dijauhkan dari para pemelajar bahasa kedua selama mungkin. Hal ini sebagaimana pemelajar bahasa pertama tidak menggunakan kata-kata dalam bentuk cetak sebelum mampu memahami pembicaraan dengan baik. Pemelajaran menulis dan mengeja seharusnya ditunda hingga kata dalam bentuk cetak sudah diperkenalkan. Selain itu, tata bahasa dan terjemahan juga harus dihindari. Hal ini dikarenakan semua butir tersebut memerlukan penggunaan bahasa pertama dan menghambat pemerolehan kemahiran lisan yang bagus.

Metode ini mengandalkan perkembangan bertahap berdasarkan sesi-sesi tanya jawab yang dimulai dengan menyebutkan objek-objek, seperti pintu, pensil, lantai, dan lain-lain. Metode ini memberikan motivasi kepada pemelajar yang mulai menggunakan bahasa asing. Pada tahap berikutnya, pelajaran-pelajarannya berupa bentuk-bentuk kata kerja dan struktur-struktur gramatikal lainnya dengan tujuan belajar untuk mempelajari sekitar 30 kata baru setiap pelajaran.[20]

Metode Serial sunting

Pada abad ke-19, Francois Gouin pergi ke Hamburg untuk mempelajari bahasa Jerman. Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang guru bahasa Latin, dia berpikir bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menghafal isi sebuah buku tata bahasa Jerman beserta tabel 248 kata kerja takregulernya. Namun, ketika dia pergi ke akademi untuk mengetes keterampilan-keterampilan bahasanya, dia merasa kecewa setelah mengetahui bahwa dia tidak bisa memahami apa pun. Ia pun kembali berusaha menghafal 800 kata dasar dari bahasa ini dengan cara yang sama serta berusaha menghafal tata bahasa dan bentuk-bentuk kata kerjanya. Akan tetapi, hasilnya tetap sama. Pada saat itu, ia pun mengisolasi dirinya dari para penutur bahasa Latin demi mencoba mempelajari bahasa Jerman dengan mendengarkan, meniru, dan berbicara dengan orang-orang Jerman yang ada di sekitarnya, tetapi kemudian ia menyadari bahwa kalimat-kalimat yang ia rangkai dengan cermat malah membuat para penutur bahasa asli Jerman tertawa. Lagi-lagi ia mencoba untuk menggunakan pendekatan yang lebih klasik, penerjemahan, dan bahkan mencoba menghafal seluruh isi kamus tersebut, tetapi hasilnya pun tetap tidak berbeda.[20]

Keponakannya yang berusia tiga tahun dan sudah belajar berbicara dalam bahasa Prancis membuatnya terinspirasi. Gouin menyadari bahwa anak laki-laki tersebut memiliki keingintahuan terhadap segala sesuatu di dunia ini dan suka menceritakan pengalamannya kepada siapa pun yang mau mendengarkannya, termasuk dirinya sendiri. Gouin pun memutuskan bahwa pemelajaran bahasa itu merupakan persoalan mengubah persepsi-persepsi menjadi konsepsi-konsepsi dengan menggunakan bahasa untuk menggambarkan apa yang seseorang alami. Bahasa bukanlah sekumpulan konvensi sembarang, melainkan sebuah cara berpikir dan menggambarkan dunia kepada diri sendiri. Bahasa juga bukan sebuah proses pengondisian, melainkan proses yang dilalui pemelajar dalam secara aktif mengorganisasi persepsi-persepsinya ke dalam konsep-konsep linguistik.[20]

Metode Serial merupakan ragam dari Metode Langsung dari segi bahwa pengalaman-pengalaman secara langsung dihubungkan dengan bahasa sasaran. Terdapat tiga alasan kenapa Gouin mempelopori teori psikolinguistik abad ke-20 ini. Pertama, menurut pendapat Gouin, mentransfer pengalaman ke dalam kata-kata membuat bahasa lebih mudah dipahami. Kedua, Gouin menyadari bahwa anak-anak mengorganisasi konsep-konsep berdasarkan suksesi waktu sehingga mereka mengaitkan sekuens konsep dengan urutan yang sama. Terakhir, Gouin menemukan bahwa jika suatu rangkaian kalimat diacak, memorisasi menjadi hampir mustahil untuk dilakukan. Dia juga menemukan bahwa orang-orang akan mememorisasi peristiwa-peristiwa dengan sekuens yang logis meskipun peristiwa-peristiwa tersebut tidak terjadi dalam urutan tersebut. Ia menemukan wawasan kedua dalam pembahasan memori, yang disebut "incubation" (inkubasi). Konsep-konsep linguistik membutuhkan waktu untuk tersimpan ke dalam memori. Untuk menguasai konsep-konsep yang baru, pemelajar harus sering menggunakan konsep-konsep tersebut untuk berpikir atau berbicara. Hasil observasi krusialnya yang terakhir menunjukkan bahwa bahasa dipelajari melalui kalimat-kalimat dengan kata kerja sebagai komponen terpentingnya. Gouin menulis sebuah rangkaian kalimat dalam dua kolom: satu kolom dengan kalimat-kalimat lengkap dan satu kolom dengan hanya kata kerja. Dengan hanya elemen-elemen kata kerja yang tampak, Ia lalu meminta para peserta didiknya membacakan sekuens tindakan dalam kalimat utuh yang panjangnya tidak lebih dari 25 kalimat. Latihan yang lain melibatkan pengajar dalam memperoleh sekuens kalimat dengan menanyai peserta didiknya mengenai apa yang ia akan lakukan selanjutnya. Walaupun Gouin percaya bahwa bahasa itu dikendalikan oleh aturan, ia tidak percaya bahwa bahasa seharusnya diajarkan secara eksplisit.[20]

Pelajarannya diorganisasi berdasarkan elemen-elemen masyarakat manusia (human society) dan dunia alami (natural world). Dia memperkirakan bahwa suatu bahasa dapat dipelajari melalui serangkaian 4000 latihan tanpa PR dalam 800—900 jam pembelajaran. Konsepnya adalah bahwa tiap latihan akan mendorong peserta didik agar berpikir tentang kosa kata dalam konteks hubungannya dengan dunia alami. Sementara terdapat bukti yang menunjukkan bahwa metode ini dapat bekerja dengan sangat baik, metode ini mempunyai beberapa kekurangan serius. Salah satunya adalah bahwa pengajaran bahasa subjektifnya yang mengharuskan para peserta didik untuk melakukan penilaian terhadap hal yang dialami di dunia (contohnya "baik" dan "buruk") kurang relevan dengan pengalaman yang umum dialami. Namun, kelemahan yang sebenarnya adalah bahwa metode ini sepenuhnya didasarkan pada suatu pengalaman seorang anak berumur 3 tahun. Gouin tidak mengamati perkembangan bahasa awal anak tersebut, seperti penamaan (ketika hanya nomina-nomina yang dipelajari) atau peran cerita dalam perkembangan bahasa manusia. Yang membedakan Metode Serial dari Metode Langsung adalah bahwa kosakata harus dipelajari melalui terjemahan bahasa asli, setidaknya pada awalnya.[20]

Pengajaran Bahasa Komunikatif sunting

Pengajaran Bahasa Komunikatif (communicative language teaching [CLT]), juga dikenal sebagai Pendekatan Komunikatif, menekankan interaksi baik sebagai sarana maupun tujuan akhir belajar bahasa. Kendati sejumlah kritik,[21] metode ini tetap populer, khususnya di Eropa yang pandangan-pandangan konstruktivis mengenai pemelajaran dan pendidikan bahasanya secara umum mendominasi wacana akademik sekalipun 'Pengajaran Bahasa Komunikatif' bukan sebuah metode dengan sendirinya, melainkan sebuah pendekatan.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Pemelajaran Bahasa Berbasis Tugas (task-based language learning [TBLL]), juga dikenal sebagai pengajaran bahasa berbasis tugas atau pembelajaran berbasis tugas, telah meningkat popularitasnya. TBLL, merupakan hasil dari penyempurnaan lanjutan pendekatan CLT, menekankan penyelesaian sempurna tugas-tugas baik sebagai karakteristik pengaturnya maupun basis untuk asesmen pembelajaran bahasa. Pengajaran Bahasa Dogma memiliki filosofi yang sama dengan Pemelajaran Berbasis Tugas meskipun berbeda dalam pendekatannya.[22] Pengajaran Bahasa Dogma adalah sebuah pendekatan komunikatif yang berfokus pada komunikasi percakapan antara para pemelajar dengan pengajar sehingga mendukung pengajaran tanpa buku-buku pelajaran yang diterbitkan.[23]

Imersi Bahasa sunting

Imersi Bahasa (language immersion) dalam konteks sekolah adalah sebuah metode yang digunakan untuk menyampaikan materi akademik melalui perantara bahasa asing dengan menunjang pemelajaran bahasa kedua dan pemeliharaan bahasa pertama. Terdapat tiga jenis program pendidikan imersi di AS: imersi bahasa asing, imersi ganda, dan imersi pribumi.

Program-program imersi bahasa asing di AS didesain untuk para peserta didik yang bahasa pertamanya adalah bahasa Inggris. Dalam model imersi dini, anak-anak SD, selama seluruh atau sebagian jam pelajaran, menerima instruksi konten (akademik) melalui perantara bahasa lain: Spanyol, Prancis, Jerman, Cina, Jepang, dll. Dalam model-model imersi total dini, anak-anak menerima seluruh materi TK dan SD kelas 1 reguler melalui perantara bahasa imersi;[24] bacaan bahasa Inggris diperkenalkan setelahnya, sering kali di kelas 2. Sebagian besar materi (matematika, sains, ilmu pengetahuan sosial, seni, dan musik) terus diajarkan melalui imersi bahasa. Dalam model-model imersi parsial dini, materi diberikan melalui imersi bahasa selama sebagian jam pelajaran (biasanya 50%) dan melalui bahasa Inggris selama sebagian yang lain. Program-program imersi bahasa Prancis merupakan hal yang umum dalam sistem-sistem sekolah provinsi di Kanada karena merupakan bagian dari gerakan menuju bilingualisme. Program-program tersebut jumlahnya meningkat dalam sistem-sistem sekolah negeri di Amerika Serikat (Curtain & Dahlbert, 2004). Branaman dan Rhodes (1998) melaporkan bahwa antara tahun 1987 dan 1997 presentase program-progra dasar di AS yang menawarkan pendidikan bahasa asing melalui imersi bahasa meningkat dari 2% menjadi 8% dan Curtain dan Dahlberg (2004) melaporkan bahwa terdapat 278 program imersi bahasa asing di 29 negara bagian. Penelitian yang dilakukan oleh Swain dkk. (Genesee, 1987) menunjukkan bahwa tingkat kemahiran yang lebih tinggi dicapai oleh anak-anak dalam program-program imersi bahasa asing daripada model-model sekolah dasar pendidikan bahasa asing tradisional.

Program-program imersi ganda di AS didesain untuk para peserta didik yang bahasa pertamanya adalah bahasa Inggris serta para peserta didik yang bahasa pertamanya adalah bahasa imersi (biasanya bahasa Spanyol). Tujuannya adalah terbentuknya para peserta didik bilingual yang menguasai baik bahasa Inggris maupun bahasa imersi. Seperti dalam imersi bahasa asing parsial, materi akademik diberikan melalui perantara imersi bahasa selama sebagian jam pelajaran dan selebihnya melalui bahasa Inggris.

Program-program imersi pribumi di AS didesain untuk komunitas Suku Indian yang ingin mempertahankan penggunaan bahasa-bahasa asli mereka dengan menyampaikan materi SD melalui perantara bahasa-bahasa tersebut. Program-program imersi bahasa Hawaii merupakan yang paling besar dan sukses dalam kategori ini.

Silent Way sunting

The Silent Way adalah sebuah pendekatan pemelajaran diskoveri yang dibuat oleh Caleb Gattegno pada akhir tahun 1950-an. Pengajar banyak diam untuk memberikan lebih banyak kesempatan bagi para peserta didik untuk mengeksplorasi bahasa. Para peserta didik bertanggung jawab atas pemelajaran mereka sendiri dan didorong untuk mengekspresikan diri mereka; para pemula berbicara tentang apa yang mereka lihat, sedangkan para peserta didik tingkat lanjut berbicara tentang kehidupan mereka dan apa yang mereka pikirkan. Peran pengajar bukan untuk mencontohkan penggunaan bahasa, melainkan membetulkan kesalahan-kesalahan dengan memberikan balikan tanpa menyinggung perasaan peserta didik. Berkenaan dengan mengajar pelafalan, Silent Way merupakan contoh yang baik dari Pendekatan Artikulatoris (Articulatory Approach).

Pemelajaran Bahasa Komunitas sunting

Pemelajaran Bahasa Komunitas (community language learning [CLL]) adalah sebuah metode yang dikemukakan oleh Charles A. Curran selama tahun 1970-an. Metode ini didasarkan pada Pendekatan Konseling yang menjadikan pengajar sebagai seorang konselor. Metode ini menekankan rasa komunitas (sense of community) di dalam kelompok belajar, mendukung interaksi sebagai sebuah aspek vital dari pemelajaran, serta memprioritaskan perasaan para peserta didik dan memprioritaskan mengenali kesulitan-kesulitan mereka dalam memperoleh bahasa. Tidak ada silabus ataupun buku pelajaran yang bisa dijadikan sebagai pedoman karena para peserta didik sendiri lah yang menentukan materi pelajarannya. Terlebih lagi, metode ini menginkorporasikan teknik-teknik penerjemahan dan perekaman.

Suggestopedia sunting

Suggestopedia adalah sebuah metode populer, terutama dalam beberapa tahun terakhir, yang memiliki baik para pendukung setia maupun para pengkritik hebat. Beberapa orang mengeklaim bahwa metode ini didasarkan pada ilmu semu.

Pendekatan Alami sunting

Pendekatan Alami (natural approach) adalah sebuah metode mengajar bahasa yang dikembangkan oleh Stephen Krashen dan Tracy D. Terrell. Mereka menekankan agar pemelajar menerima banyak input yang dapat dipahami. Pendekatan Alami dapat dikategorikan sebagai bagian dari pendekatan komprehensi dalam pengajaran bahasa.

Respon Fisik Total sunting

Dalam Respon Fisik Total (total physical response [TPR]), pembelajar memberi para peserta didik perintah-perintah dalam bahasa sasaran dan para peserta didik melaksanakan perintah-perintah tersebut menggunakan respons-respons seluruh tubuh. Metode ini juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari pendekatan komprehensi dalam pengajaran bahasa.

Mengajarkan Kemahiran Berbahasa lewat Membaca dan Bercerita sunting

Mengajarkan Kemahiran Berbahasa lewat Membaca dan Bercerita (Teaching Proficiency through Reading and Storytelling [TPRS]) dikembangkan oleh Blaine Ray, seorang pengajar bahasa di California, pada tahun 1990-an. Pada awalnya, metode ini merupakan sebuah cabang dari Respons Fisik Total yang juga meliputi bercerita, tetapi metode ini telah berkembang menjadi sebuah metode independen dan mendapatkan banyak pengikut dari kalangan pengajar, khususnya di Amerika Serikat. TPRS juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari pendekatan komprehensi dalam pengajaran bahasa.

Pengajaran Bahasa Dogma sunting

Pengajaran Bahasa Dogma (Dogme language teaching) dianggap sebagai baik sebuah metodologi maupun gerakan. Metode ini adalah pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa yang berfokus pada komunikasi percakapan antara pelajar dan pengajar sehingga mendukung pengajaran tanpa buku-buku pelajaran yang diterbitkan. Metode ini bersumber dari sebuah artikel yang ditulis oleh penulis pendidikan bahasa, Scott Thornbury. Pendekatan ini juga disebut sebagai “Dogme ELT”, yang menunjukkan asal-usulnya dalam sektor ELT (English language teaching [pengajaran bahasa Inggris]). Meskipun Pengajaran Bahasa Dogma dinamai berdasarkan analogi dengan gerakan film Dogma 95 (diprakarsai oleh Lars von Trier), keduanya dianggap tidak berhubungan erat.

Pendekatan Partisipator Bertumbuh sunting

Pendekatan Partisipator Bertumbuh (Growing Participator Approach [GPA]) adalah sebuah cara alternatif dalam berpikir tentang pemerolehan bahasa kedua yang dikembangkan oleh Greg Thomson. Sebagai sebuah pendekatan, GPA biasanya diimplementasikan menggunakan metode Program Enam Fase Thomson (Thomson's Six Phase Program [SPP]), yang melibatkan aktivitas-aktivitas partisipasi pertumbuhan spesial 1500 jam, didukung oleh penutur asli bahasa lokal, dan ditujukan kepada zona pertumbuhan pemelajar (Zona perkembangan proksimal). Program Enam Fase menggunakan sejumlah teknik, seperti TPR, untuk menumbuhkan kemampuan komprehensi para pemelajar dengan cepat tanpa menggunakan bahasa Inggris. Tujuannya adalah untuk membantu para pemelajar untuk tumbuh dengan cepat dari segi kemampuan untuk berpartisipasi dengan penuh arti dalam budaya "hos" (tuan rumah). GPA memiliki pengaruh terhadap Vygotsky serta "psikolinguistik komprehensi dan produksi, pendekatan-pendekatan berbasis penggunaan dalam bahasa, antropologi linguistik, dan analisis wacana."[25]

Metode-Metode Eksklusif sunting

Beberapa metode merupakan hak milik beberapa perusahaan dan sekolah tertentu sehingga tidak digunakan secara luas dalam pengajaran arus utama. Selain metode-metode yang disebutkan di bawah, terdapat puluhan metode lainnya yang masing-masing sedikit berbeda.[26] Metode yang paling terkemuka adalah pelajaran-pelajaran komputer spesifik yang menggunakan pengenalan wicara untuk memberikan balikan tentang pelafalan.[27]

Metode Pimsleur sunting

Sistem pemelajaran bahasa Pimsleur didasarkan pada penelitian dan model program-program yang dikembangkan oleh pengajar bahasa asal Amerika Paul Pimsleur. Sistem ini melibatkan pelajaran-pelajaran berdurasi 30 menit yang direkam dan dilakukan setiap hari. Masing-masing pelajaran biasanya berisi dialog, revisi, dan bahan ajar baru. Para peserta didik diminta untuk menerjemahkan beberapa frasa ke dalam bahasa sasaran dan terkadang memberikan respons dalam bahasa sasaran terhadap kata-kata yang diucapkan dalam bahasa sasaran. Pembelajaran dimulai menggunakan bahasa peserta didik, tetapi secara bertahap beralih ke bahasa sasaran. Saat ini, program-program audio penuh hadir untuk mengajar berbagai bahasa menggunakan Metode Pimsleur. Silabus yang digunakan untuk semua bahasa sama.

Metode Michel Thomas sunting

Metode Michel Thomas adalah sistem mengajar berbasis audio yang dikembangkan oleh Michel Thomas, seorang guru bahasa di AS. Pada awalnya, pengajaran dilakukan secara langsung, tetapi kemudian dilakukan melalui rekaman sejak kematian Michel Thomas. Instruksi diberikan sepenuhnya dalam bahasa peserta didik meskipun peserta didik selalu dituntut untuk memberikan respons dalam bahasa sasaran. Metode ini berfokus pada menyusun kalimat-kalimat panjang dengan tata bahasa yang benar dan menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik. Tidak ada praktik mendengarkan serta aktivitas membaca atau menulis. Silabusnya disusun berdasarkan fitur-fitur bahasa yang paling mudah dan berguna dari bahasa tersebut sehingga setiap bahasa memiliki susunan silabus yang berbeda.[28]

Lainnya sunting

Appropedia makin banyak digunakan sebagai sebuah metode untuk memungkinkan pemelajaran layanan (service learning) dalam pendidikan bahasa.[29][30][31] Pemelajaran Bahasa Berbantuan Komputer (Computer-assisted language learning [CALL])[32] adalah sebuah metode yang mencakup kombinasi dari beberapa metode dan teknik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia di internet serta berbagai macam perangkat lunak pemelajaran bahasa.

Terdapat banyak perangkat lunak pemelajaran bahasa yang menggunakan kemampuan multimedia pada komputer.

Belajar lewat mengajar (LdL) sunting

Belajar lewat Mengajar (Learning by teaching) adalah metode yang dikembangkan oleh Jean-Pol Martin dan banyak digunakan di Jerman. Para peserta didik berperan sebagai pengajar dan mengajari teman-teman sebaya mereka.[24]

Lihat pula sunting

Catatan sunting

  1. ^ a b Ellis, Rod; Shintani, Natsuko (2013). Exploring Language Pedagogy through Second Language Acquisition Research (dalam bahasa Inggris). New York, NY: Routledge. hlm. 1–2. ISBN 978-0-415-51970-0. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k Richards, Jack C.; Theodore S. Rodgers (2001). Approaches and Methods in Language Teaching. Cambridge UK: Cambridge University Press. ISBN 0-521-00843-3. 
  3. ^ a b c d e Anthony 1963, dikutip dalam Richards & Rogers 2001.
  4. ^ Hall 2011, hlm. 57.
  5. ^ Bell 2003, dikutip dalam Hall 2011
  6. ^ a b Richards & Rodgers 2001, hlm. 19.
  7. ^ a b c Kumaravadivelu 2006, hlm. 85.
  8. ^ a b c Johnson & Johnson 1999.
  9. ^ Kumaravadivelu 2006, hlm. 86.
  10. ^ a b Kumaravadivelu 2006, hlm. 88.
  11. ^ a b Kumaravadivelu 2006, hlm. 87.
  12. ^ Brown 2001, dikutip dalam Hall 2011.
  13. ^ Hall 2011, hlm. 77.
  14. ^ Wang, Chuang; Kolano, Lan; Kim, Do-Hong (2020). Educational Practices in China, Korea, and the United States: Reflections from a Study Abroad Experience (dalam bahasa Inggris). IAP. hlm. 102. ISBN 978-1-64113-878-9. 
  15. ^ Arwood, Ellyn (2011). Language Function: An Introduction to Pragmatic Assessment and Intervention for Higher Order Thinking and Better Literacy. London: Jessica Kingsley Publishers. p. 10. ISBN 978-1-84905-800-1.
  16. ^ Richards, Jack C.; Richards, Jack Croft; Dudeney, Gavin; Rodgers, Theodore S. (2001). Approaches and Methods in Language Teaching (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 6. ISBN 978-0-521-80365-6. 
  17. ^ a b Black, David Alan; Merkle, Benjamin L. (2020-10-27). Linguistics and New Testament Greek: Key Issues in the Current Debate (dalam bahasa Inggris). Baker Academic. ISBN 978-1-4934-2692-8. 
  18. ^ Keck, Casey; Kim, YouJin (2014). Pedagogical Grammar (dalam bahasa Inggris). Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. hlm. 8. ISBN 978-90-272-1217-7. 
  19. ^ Universiteit Antwerpen Diarsipkan 2009-01-12 di Wayback Machine. Kuliah James L. Barker pada 8 November 2001 di Brigham Young University, diberikan oleh Wilfried Decoo.
  20. ^ a b c d e f g Diller, Karl Conrad (1978). The Language Teaching Controversy . Rowley, Massachusetts: Newbury House. ISBN 0883771144. 
  21. ^ van Hattum, Ton (2006), The Communicative Approach Rethought
  22. ^ Meddings, L and Thornbury, S (2009) Teaching Unplugged: Dogme in English Language Teaching. Peaslake: Delta.
  23. ^ Luke, Meddings (26 Maret 2004). "Throw away your textbooks". The Guardian. Diakses tanggal 22 Juni 2009. 
  24. ^ a b Kho, Mu-Jeong (2016). How to Implant a Semiotic and Mathematical DNA into Learning English, Seoul: Booklab Publishing Co. ISBN 979-11-87300-04-5 (53740), 261 pages.
  25. ^ Growing Participator Approach web, diakses tanggal 15 Januari 2021 
  26. ^ "Find better language courses: Impartial reviews of 70 self-study programs". globe1234.com. Diakses tanggal 23 Agustus 2013. 
  27. ^ "Scoring Your Pronunciation". globe1234.com. Diakses tanggal 23 Agustus 2013. 
  28. ^ Michel Thomas: The Learning Revolution, by Jonathan Solity.
  29. ^ E. ter Horst and J. M. Pearce, “Foreign Languages and the Environment: A Collaborative Instructional Project”, The Language Educator, hlm. 52-56, Oktober 2008.
  30. ^ J. M. Pearce and E. ter Horst “Appropedia and Sustainable Development for Improved Service Learning”, Proceedings of Association for the Advancement of Sustainability in Higher Education 2008 Diarsipkan 2010-12-14 di Wayback Machine..
  31. ^ Joshua M. Pearce and Eleanor ter Horst, “Overcoming Language Challenges of Open Source Appropriate Technology for Sustainable Development in Africa”, Journal of Sustainable Development in Africa, 11(3) hlm.230-245, 2010.
  32. ^ Levy M. (1997) CALL: context and conceptualisation, Oxford: Oxford University Press.

Referensi sunting

Bacaan lanjutan sunting

  • Irons, Glenwood H., compiler. Second Language Acquisition: Selected Readings in Theory and Practice. Welland, Ont.: Canadian Modern Language Review, 1988. ISBN 0-9691796-4-2