Pelacuran di Thailand

Pelacuran menjadi hal yang umum di Thailand selama berabad-abad. Selama masa Kerajaan Ayutthaya (1351–1767), pelacuran merupakan kegiatan legal dan dikenai kewajiban perpajakan[1] dan kerajaan juga memiliki rumah bordil.[2] Sejak 1960, protitusi di Thailand secara de jure merupakan kegiatan ilegal. Walaupun begitu, kegiatan ini diestimasi bernilai US$6,4 miliar pertahun dalam segi pendapatan (2015), tercatat mengambil porsi yang signifikan dalam PDB nasional.[3]

Pekerja seks di kota wisata Pattaya .

Dasar-Dasar Hukum sunting

Kerangka hukum yang mendasari kegiata pelacuran di Thailand terbagi menjadi tiga peraturan, yaitu:

Undang-Undang Pencegahan dan Penindasan Pelacuran sunting

Undang-Undang Pencegahan dan Penghapusan Pelacuran/Prevention and Suppression of Prostitution Act, B.E. 2539 (1996)[4] merupakan peraturan yang secara langsung melarang kegiatan pelacuran. Pada peraturan ini, definisi pelacuran adalah "hubungan seksual, ataupun kegiatan lainnya, atau komisi dari tindakan lainnya yang bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual seseorang dengan banyak pihak dan mengharapkan imbalan balik berupa uang atau keuntunggan lainnya, terlepas dari apakah pihak yang menerima dan melakukan perbuatan tersebut memiliki jenis kelamin yang sama atau tidak". Definisi jelas dari frasa "dengan banyak pihak" tidak tersedia.[5]

Dalam undang-undang ini, seseorang yang menawarkan jasa seksual "... di tempat terbuka dan tanpa sopan santun..." (frasa ini tidak memiliki definisi yang jelas), atau seseorang yang "...menyebabkan keonaran terhadap publik..." dapat dikenai denda. Seseorang yang terasosiasi dengan "tempat pelacuran" bersama orang lain dengan tujuan untuk kegiatan pelacuran diancam pidana penjara atau denda atau keduanya. Istilah "tempat pelacuran" tidak dijelaskan dengan baik, meskipun istilah tersebut bisa diinterpretasikan secara luas untuk memasukan tempat apapun dimana kegiatan pelacuran dilakukan, terutama terhadap kasus yang melibatkan pekerja seks di bawah umum bisa menghadapi hukuman yang berat (sampai dengan enam tahun jika pekerja seks di bawah 15 tahun) walaupun begitu, undang-undang ini tidak selalu digunakan untuk kegiatan pelacuran di tempat privat. Undang-undang ini mengenakan hukuman yang berat terhadap pemilik bisnis pelacuran dan tempat pelacuran.[5][6][7][8] Kitab Undang-Undang Pidana juga menetapkan hukuman untuk germo atau menggunakan uang yang didapatkan dari jasa pelacuran.[9][10]

Undang-Undang Pencegahan dan Penghapusan Pelacuran hadir untuk fokus mengatasi pelacuran dan perdagangan anak. Pasal 8 menghukum pelanggan yang berhubungan seksual dengan pekerja seks di bawah umur 15 tahun dengan hukuman penjara dua sampai dengan enam tahun dan denda sampai dengan 120.000 bath. Untuk pekerja seks diantara umur 15 sampai dengan 18 tahun, hukuman penjara berkisar dari satu sampai dengan tiga tahun dan denda sampai dengan 60.000 bath.[5]

Berkaitan dengan perdagangan orang, Pasal 9 dari undang-undang menyatakan "setiap orang yang mengadakan, merayu, dan mengambil siapapun untuk kegiatan pelacuran, walaupun dengan persetujuan dari orang tersebut dan tanpa memperhatikan kegiatan tersebut yang termasuk pelanggaran terjadi di dalam Kerajaan atau di luar Kerajaan, dihukum penjara dengan rentang waktu satu sampai dengan sepuluh tahun dan denda sebesar 20.000 sampai dengan 200.000 bath"

Sebagai tambahan, setiap pelanggaran yang disebutkan dalam Pasal 9 terjadi "melalui penipuan, ketidakjujuran, ancaman, kekerasan, [atau], terjadi dibawah pengaruh atau pemaksanaan" hukuman akan diperberat sebanyak 1/3 dari hukuman awal.[5]

Amandemen Undang-Undang Hukum Pidana sunting

Undang-Undang Hukum Pidana (No. 14), B.E. 2540 (1997)[11] tidak secara eksplisit menyatakan bahwa pelacuran ilegal di Thailand, tetapi Title IX, Section 286 menyatakan: "Setiap orang, di atas enam belas tahun, [sic] mencari nafkah sebagai peerja seks, walaupun hal tersebut hanya sebagian dari pendapatan mereka [sic], akan dihukum dengan pidana penjara tujuh sampai dengan dua puluh tahun dan denda 14.000 sampai dengan 40.000 Bath, atau dipenjara seumur hidup", sementara hukuman tidak dijelaskan secara spesifik, seksi yang sama menjelaskan bahwa hukuman diberikan kepada setiap orang yang (i) biasanya bertempat tinggal dan lazim diasosiasikan dengan pekerja seks (ii) menerima asrama, uang, atau keuntungan lainnya yang diatur oleh pekerja seks atau (iii) membantu pekerja seks saat berselisih dengan konsumennya.[5]

Undang-undang ini juga hadir untuk membahas mengenai pelacuran anak tetapi tidak memiliki penjelasan yang lengkap, tidak menjelaskan mengenai makna "perbuatan tidak senonoh". Pada Title IX, Section 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: "Siapapun, yang melakukan tindakan tidak senonoh kepada anak-anak yang berusia tidak lebih dari 15 tahun, dengan atau tanpa persetujuan anak, dihukum dengan penjara maksimal sepuluh tahun dan denda maksimial 20.000 Bath atau keduannya".[5]

Undang-Undang Tempat Hiburan sunting

Undang-Undang Tempat Hiburan tahun 1996[12] menempatkan tanggung jawab kepada pemilik beragam jenis tempat hiburan jika terjadi kegiatan pelacuran mereka akan bertanggung jawab secara hukum. Menurut undang-undang, pekerja seks harus melalui rehabilitasi selama satu tahun di rumah rehabilitasi setelah selesainya masa hukuman akibat melakukan kegiatan pelacuran.[5]

Kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan seperti rumah bordil, penyewa jasa pelacuran, dan mencari keuntungan dari pelacuran merupakan kegiatan ilegal.[5] Dalam praktiknya kegiatan protistusi ditoleransi, terkadang beberapa pejabat lokal memiliki kepentingan finansial dari pelacuran lokal.[13] Operasi pelacuran dilakukan secara rahasia di berbagai sudut negara.[14]

Cakupan sunting

 
Bar go-go bernama Soi Cowboy di Bangkok

Sejak Perang Vietnam, Thailand mendapatkan reputasi internasional diantara wisatawan dari banyak negara sebagai tujuan wisata seks.[15] Jumlah pasti pekerja seks di Thailand sulit diperkirakan. Estimasinya sangat beragam dan menjadi kontroversi nasional dan internasional.[16] Pemerintah Thailand tidak pernah melaksanakan survei formal.[17] Pada 2004 diperkirakan oleh Dr. Nitet Tinnakul dari Chulalongkorn University di Thailand terdapat 2,8 juta pekerja seks yang terdiri dari 2 juta wanita, 20 ribu pria, dan 800 ribu pekerja seks di bawah umur 18 tahun, tetapi angka perempuan dan anak-anak di bawah umur digelembungkan secara kasar oleh para pengamat[18] dan dihasilkan dari metode penelitian yang buruk. Menurut laporan tahun 2001 oleh Organisasi Kesehatan Dunia: "Perkiraan yang paling bisa diandalkan adalah 150.000 sampai dengan 200.000 pekerja seks di Thailand".[18][19][20] Pada laporan hak asasi manusia tahun 2008, Departemen Luar Negeri Amerik Serikat mencatat bahwa "survei dari pemerintahan menemukan terdapat 76.000 sampai dengan 77.000 pekerja seks dewasa yang terdapat di tempat hiburan. Meskipun begitu, organisasi non-pemerintah memperkirakan terdapat 200.000 sampai dengan 300.000 pekerja seks.[16] Laporan Hak Asasi Manusia 2013 dari Departemen Dalam Negeri Thailand tidak membuat estimasi tingkat pelacuran.[21] Pada 2015 Havocscope, penyedia informasi basis data mengenai pasar gelap global, memberikan angka perkiraan sebesar 250.000 pekerja seks di Thailand.[22][23] UNAIDS pada 2015 mengestimasi total pekerja seks di Thailand sejumlah 147.000.[24]

Sebagai contoh terdapat kurang lebih 10.000 pekerja seks di Ko Samui, sebuah destinasi pulau resor yang biasa tidak menjadi tujuan pelacuran, dan setidaknya 10% uang yang dikeluarkan oleh turis dibelanjakan untuk kegiatan seksual.[25] Sebuah estimasi yang diterbitkan pada 2003 belanja seksual menyumbangkan US$4,3 juta dolar per tahun atau 3% dari ekonomi Thailand.[26] Pada 2015 Havocscope keuntungan yang didapat per tahun dari pelacuran mencapai US$6,4 juta atau 10% dari produk domestik bruto Thailand. Havocscope mengklaim pekerja seks di Thailand mengirim rata-rata setiap tahunnya US$300 juta kepada anggota keluarga yang tinggal di daerah terpencil di Thailand.[22][23]

Pada 1996, pihak kepolisian di Bangkok memperkirakan terdapat 5.000 pekerja seks asal Rusia yang bekerja di Thailand, banyak yang datang ke Thailand menggunakan jaringan yang dikontrol oleh gang dari Rusia.[27]

Pada Juli 2016, dilaporkan bahwa Pemerintah Thailand menginginkan untuk menghapus industri seks. Kobkarn Wattanavrangkul, Menteri Pariwisata menyatakan "Turis tidak datang ke Thailand untuk [seks]. Mereka datang karena indahnya budaya Thailand" dan "Kami menginginkan Thailand sebagai tujuan wisata yang berkualitas. Kami ingin industri seks berakhir.[28] Kobkarn kemudian diganti sebagai Menteri Pariwisata pada November 2017.[29]

Lokasi sunting

 
Soi Cowboy, Bangkok
 
Bar di Pantai Patong, Phuket

"Zona pelacuran" utama dari turis di Thailand sering kali diidentifikasi sebagai distrik lampu merah di Bangkok dan Pattaya[30][31] selain itu, ada juga resor pantai Patong di Pulau Phuket.[32] Sebagai tambahan ada Hat Yai dan kota perbatasan lain dengan Malaysia.[33] Di Bangkok area yang biasanya diasosiasikan dengan kegiatan pelacuran termasuk daerah hiburan Patpong[15] dan juga area sebelah barat Jln. Sukhumvit area jalan yang disebut sebagai Soi Cowboy[15] dan gedung Nana Plaza.[15] Area bernama distrik hiburan Ratchadaphisek, beroperasi sepanjang Jln. Ratchadaphisek yang dekat dengan persimpangan Huai Khwang memiliki beberapa area hiburan besar teramsuk pijat seksual.[15] Taman Lumphini yang terletak di pusat kota Bangkok juga dikenal sebagai pusat pelacuran saat malam hari.[34] Di Pattaya area utama yang terasosiasi dengan kegiatan pelacuran adalah Boyztown,[31] Sunee Plaza dan Walking Street.[30]

Daripada menghadapi risiko secara independen, banyak pekerja seks yang menukar kebebasan mereka untuk bekerja di tempat yang aman di bisnis yang membutuhkan pekerja tetap seperti bar "karoke", panti "pijat" atau rumah bordil.[17] Pelacuran mungkin mengambil beragam jenis tempat termasuk rumah bordil, hotel, panti pijat, restoran, sauna, dan beragam jenis bar.[35] Banyak pekerja di sektor jasa lainnya yang menawarkan jasa seksual sebagai jasa tambahan. Pelacuran di Thailand terbagi kepada beragam sektor yang melayan beragam pasar (kriteria utama adalah status ekonomisosial dari pelanggan dan kebangsaan dari pengguna jasa dan pekerja seks).[18] Rumah bordil langsung, yang menawarkan hanya jasa seksual, merepresentasikan layanan untuk kalangan bawah. Layanan ini bisa ditemukan di luar Bangkok untuk melayani pelanggan dari kelas bawah.[17]

Kegiatan pelacuran terlarang berdasarkan hukum di Thailand, tetapi bar karoke dan panti pijak bisa didaftarkan secara normal sebagai bisnis legal. Ketika penahanan pekerja seks terjadi di tempat-tempat tersebut, polisi biasanya memproses transaksi pelacuran antara pekerja seks dan pelanggannya -status dari pemilik tempat dianggap tidak turut serta dalam transaksi tersebut. Beragam kasus menempatkan pemilik tempat dituntut lebih rendah dibandingkan pekerja seks dan pelanggannya memunculkan sindiran populer yaitu "mempekerjakan pekerja seks itu legal, menjadi pekerja seks itu ilegal, klien bebas dari hukuman". Pemilik tempat seperti ini biasanya berhadapan dengan hukum ketika mereka melanggar hukum seperti mempekerjakan pekerja di bawah umur atau imigran ilegal.[17]

Pijat Sabun (Soapy Massage) sunting

 
Tempat Layanan Pijat Sabun (Soapy Massage) di Phuket

Panti pijak sabun (Thai: สถานอาบอบนวด, RTGS: sathan ap op nuat, "tempat mandi dan pijat) menyerupai soapland di Jepang, biasanya menyediakan pemijatan, pemijatan tubuh telanjang, atau perawatan mandi yang termasuk jasa seksual.[36] Pada tipe tempat seperti ini, pelanggan pria bisa beraktivitas seksual dengan pekerja seks wanita.[34] Tempat pelacuran ini menargetkan masyarakat lokal dengan menawarkan layanan "mandi-sauna-pijat".[37] Terdapat banyak bisnis pijak sabun di beberapa bagian kota Bagkok, menggunakan kuantitas air yang besar yang dipompa secara ilegal dari bawah tanah, mereka disalahkan oleh otoritas karena berkontribusi terhadap turunnya permukaan tanah kota Bangkok sebesar satu sentimeter per tahun.[38]

Karaoke Bar sunting

 
Karaoke bar di Thailand

Seorang pengamat menyatakan bahwa "yang disebut sebagai 'karoke bar' biasanya memiliki mesin karoke sebagai dekorasi, walaupun hanya sedikit atau tidak ada konsumen yang mengunjungi tempat tersebut untuk bernyanyi tetapi untuk membeli layanan seksual.[17] Studi pada 2015 yang dilaksanakn oleh Ubon Ratchathani Provincial Health Service, terdapat 2.410 wania yang bekerja di restoran dan karoke bar di Provinsi Ubon Ratchathani. Dimana 1.230 terkonfirmasi sebagai pekerja seks. Lebih dari setengahnya (692 wanita) merupakan pekerja ilegal dari Laos di Thailand.[39]

Panti Pijat sunting

 
Ruang pijat di Bangkok

Walaupun Thailand terkenal dengan Thai massage, tipe pijat tradisional non-seksual yang dikenal dengan nuat phaen boran, beberapa panti pijat menyediakan pelanggan dengan layanan pijat erotis dengan biaya tambahan termasuk kegiatan rancap, seks oral, dan hubungan seksual. Federation of Thai Spa Associations (FTSPA) pada 2016 mendorong otoritas untuk menutup jasa seksual yang ditawarkan oleh beberapa panti pijat. FTSPA berpendapat beberapa figur terkenal memanfaatkan celah hukum untuk membuka pretty spas atau panti pijak dimana turis bisa membeli layanan seksual.[40] Perbedaan antara pijat jenis ini dengan ab ob nuat adalah tidak semua panti pijat menawarkan layanan seksual.

Bar untuk Orang Asing sunting

 
Bar malam di Pattaya

Wanita (bar girls) atau pria, dalam kasus ini adalah bar homoseksual, atau transseksual (kathoeys) dipekerjakan di bar ini sebagai penari (dalam kasus ini adalah go-go bars) atau sekedar menjadi pelayan yang mendorong konsumen untuk membelikan mereka minuman. Terlepas dari bar jenis ini, terdapat tempat lain untuk bertransaksi sekual. Di sebagian besar tempat-tempat seperti itu pekerja seks dipekerjakan langsung, tetapi di hotel, atau beberapa bar dan tempat disko pekerja seks lepas diperbolehkan untuk mencari pelanggan.[41][42] Pekerja seks biasanya akan menerima komisi ketika konsumen membeli minuman dan jasa seksual bisa dilakukan di tempat tersebut atau tempat lain (yang mengharuskan pelanggan untuk membayar "bar fine" untuk mengizinkan pekerja seks bekerja di luar bar).[18][43]

Sejarah sunting

 
Bar girls menunggu pelanggan, Pattaya

Sejarah pelacuran di Thailand sudah berlangsung sejak setidaknya abad keenam, referensi dituliskan secara jelas dan eksplisit oleh pengembara asal Tiongkok Ma Huan (1433) dan kemudian oleh pengunjung dari Eropa (Van Neck, 1604; Gisbert Heeck, 1655 and lain-lain). Hal ini bukan merupakan hal baru, hal ini menjadi lebih buruk selama masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II dan penggunaan Thailand sebagai fasilitas "Tempat Beristirahat dan Berekreasi" oleh tentara Amerika Serikat selama perang Indochina kedua (1963–1973).[44][45]

Ketika Raja Rama V menghapuskan perbudakan pada 1905, wanita menemukan diri mereka tidak memiliki apapun, merekapun mulai menjadi pekerja seks untuk bertahan hidup. Pada waktu itu, jutaan pekerja konstruksi Tiongkok datang, dan mereka membutuhkan pelayanan seksual. Pada 1908, Raja Rama V meloloskan hukum yang melegalisasi pelacuran untuk menolong pekerja seks mendapatkan pelayanan medis.[46][47]

Thailand memiliki tradisi kuno dan berkelanjutan mengenai teks-teks hukum, secara umum dijelaskan dalam literaturDhammasattha (pengucapan Thailand., tam-ma-sat), dimana pelacuran banyak didefinisikan dan secara umum dilarang. Era teks-teks hukum tradisional berakhir di awal abad ke-20 tetapi teks tersebut berdampak signifikan terhadap penulisan dan semangat dari legislasi modern.[48]

Pada abad ke-20 beragam undang-undang terkait dengan industri seks disahkan, termasuk Undang-Undang Pencegahan Penyakit Menular pada 1908 dan Undang-Undang Tempat Hiburan pada 1966.[41] Pada tahun 1950an Perdana Menteri Thailand Marsekal Medan Sarit Thanarat menginisiasi kampanye moral yang dimaksudkan untuk mengkriminalisasi pekerja pelacuran dengan denda dan hukuman penjara. Sistem pemeriksaan medis dan "rehabilitasi moral" diperkenalkan dan fokus dari kesalahan publik dialihkan dari pelaku perdagangan dan penyelundupan manusia ke pekerja seks.[49] Pelacuran sendiri menjadi ilegal di Thailand pada 1960,[16] ketika undang-undang disahkan di bawah tekanan dari PBB.[50] Pemerintah mendirikan sebuah sistem pengawasan pekerja seks untuk mencegah mereka dianiaya dan untuk mengendalikan penyebaran penyakil menular seksual.[14] Undang-Undang yang disahkan pada 1960 dicabut oleh Undang-Undang Pencegahan dan Penindakan Pelacuran, B.E. 2539 tahun 1996.

Upaya Legalisasi sunting

Pada 2003, Kementerian Kehakiman mempertimbangkan melegasilasi kegiatan pelacuran sebagai pekerjaan resmi dengan tunjangan kesehatan dan pajak penghasilan, kementerian mengelar diskusi publik mengenai hal tersebut. Legalisasi dan regulasi diusulkan dengan maksud untuk mengingkatan pendapatan pajak, menurunkan korupsi, dan meningkatkan situasi bekerja.[26] Walaupun begitu, belum ada tindak lanjut apapun yang dilakukan.

HIV/AIDS sunting

Pada 2008, 532.522 masyarakat Thailand menderita HIV/AIDS.[51] UNAIDS mengestimasi pada 2013 bahwa sekitar 380.000 sampai dengan 520.000 orang Thailand hidup dengan HIV.[52] Pada 2017, jumlah orang Thailand hidup dengan HIV yaitu 440.000.[53] Prevalensi HIV/AIDS diantara orang Thailand berumur 15–49 diestimasi mencapai 1,1% (2016).[54] Diantara pekerja seks paruh waktu, angka prevalensi HIV mencapai 2,8% pada 2017.[53] Diantara pekerja seks perempuan yang bekerja di rumah bordil tingkat prevalensi mencapai 0,6% (2017).[53]

Mechai Viravaidya yang dikenal sebagai "Mr. Condom"[55] berkampanye tanpa lelah untuk meningkatkan kesadaran mengenai praktik seks aman dan penggunaan Kondom di Thailand. Dia bekerja sebagai Menteri Pariwisata dan pencegahan AIDS dari 1991 sampai dengan 1992, dan juga mendirikan restoran waralaba Cabbages dan Condoms, yang memberikan kondom gratis untuk konsumen.

Setelah berlakunya rencana lima tahunan pemerintah Thailand untuk melawan pandemi HIV/AIDS termasuk rencana Mechai "100% Program Kondom", sampai dengan 1994 penggunaan kondom saat transaksi seksual kemungkinan meningkat pesat. Tidak tersedia data terbaru mengenai penggunaan kondom. Program mengintruksikan pekerja seks untuk menolak berhubungan seks tanpa menggunakan kondom, dan memonitor statistik klinik kesehatan untuk menentukan lokasi rumah bordil yang mengizinkan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom.[14]

Kathoey sunting

Studi yang dilakukan oleh AIDS Care menginvestigasi penggunaan obat terlarang dalam perilaku berisiko dinatar pekerja seks kathoey di Bangkok, Thailand.[56] Hanya setengah dari peserta sutid yang telah mengikuti test HIV dan hanya satu peserta yang mengunjungi penyedia jasa kesehatan dalam 12 bulan terakhir.[56] Ditemukan bahwa kathoey yang mengalami kekerasan dari ayah atau saudara laki-lakinya lebih jarang menggunakan kondom dalam melakukan seks anal dengan pelanggan.[56] Pekerja seks katheoy biasanya ada di kota besar dan area turis seperto Bangkok, Chiang Mai, Phuket, Pattaya.[56] Banyak yang bekerja sampingan sebagai pekerja seks dan tetap mempertahankan pekerjaan utamanya.[57] Kathoey menjadi alternatif lebih murah dibandingkan pekerja seks wanita[butuh rujukan] dan dianggap lebih rendah risikonya terjangkit penyakit menular seksual. Tekanan datang biasanya dari bar yang mengkhususkan diri menampilkan "ladyboy" yang menempatkan kathoeys berisiko terkena penyait menular seksual karena banyak pelanggan yang tidak bersedia menggunakan kondom.[58]

Alasan untuk Prevalensi dan Toleransi sunting

Pandangan Sosial sunting

Masyarakat Thailand memiliki seperangkat adat istiadat (folkways) unik yang sering kali bertentangan terkait dengan seksual. Mengunjungi pekerja seks atau membayar wanita simpanan merupakan hal biasa, walaupun tidak diterima secara umum, untuk pria. Banyak wanita Thailand, sebagai contoh, percaya keberadaan pekerja seksual secara aktif menurunkan angka pemerkosaan.[14] Dilain pihak "...ide legitimasi pekerja seks tidak diterima banyak orang Thailand yang menilai profesi ini merupakan fondasi dari kegiatan tidak bermoral. Tidak peduli bagaimana banyak pekerja seks yang ditinggalkan oleh sektor ekonomi formal dan menjadi rentan terhadap pemerasan, ekspolitasi, dan penyalahgunaan - Banyak orang Thailand yang tidak bisa mentoleransi pekerja seks menjadi pekerjaan legal."[59].

Studi pada 1996 menyatakan bahwa bagi pria dan wanita Thailand, dorongan seksual pria Thailand lebih tinggi dibandingkan dengan wanita Thailand. Dimana wanita dianggap mampu mengontrol keinginan mereka, sedangkan dorongan seksual pria dianggap sebagai "kebutuhan dasar atau insting". Selain itu, menurut pemikiran pria dan wanita Thailand bahwa pria membutuhkan "varisasi pasangan sesekali". Ketidaksetiaan wanita sangat tidak disukai oleh masyarakat Thailand, berdasarkan survei tahun 1993, hubungan seksual untuk wanita lajang tidak disetujui oleh mayoritas masyarakat, seks pranikah, seks kasual, dan seks tambahan dengan pekerja seks diterima, diharapkan dan kadang-kadang didorong agar dilakukan oleh pria Thailand, tindakan terakhir dianggap tidak berbahaya kepada hubungan pernikahan yang berlangsung panjang, sehingga disebut sebagai "istri kecil".[60]

Alasan lain yang berkontribusi terhadap isu ini adalah orang Thailand menganggap diri mereka toleran terhadap orang lain, terutama orang-orang yang mereka anggap tertindas. Penerimaan ini menyebabkan pelacuran tumbuh pesat tanpa stigma sosial yang ekstrim yang biasa ditemukan di negara lain. Menurut studi tahun 1996, orang-roang di Thailand secara umum tidak setuju terhadap pelacuran, tetapi stigma tersebut tidak bertahan lama dan parah, terutama karena banyak pekerja seks yang menghidup orang tuanya melalui pekerjaan tersebut. Beberapa pria tidak keberatan menikahi mantan pekerja seks.[61] Pada studi tahun 2009 mengenai subjective well-being dari pekerja seks menemukan bahwa menurut pekerja seks, pekerjaan yang mereka jalani telah menjadi sesuatu yang normal[62]

Politisi sunting

Chuwit Kamolvisit memiliki beberapa panti pijat di Bangkok dai dianggap sebagai "godfather pelacuran" di Thailand. Pada 2005 ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Thailand untuk masa jabatan empat tahun tetapi pada 2006 Mahkamah Konstitusi mencopotnya dari jabatan. Pada Oktober 2008 ia maju kembali untuk pemilihan Gubernur Bangkok tetapi tidak terpilih. Ia mengungkapkan pada 2013 bahwa beberapa klien terbaiknya merupakan politisi dan pejabat polisi senior, yang ia klaim mereka dibayar, lebih dari satu dekade, lebih dari £1,5 juta uang usap agar bisnisnya yang menjual seks tetap bisa beroperasi.[63]

Meskipun perdagangan seksual yang dilakukan warga negara asing dianggap terbuka, tetapi industri yang mengkhusukan diri untuk orang-orang Thailand belum pernah diketahui publik secara terbuka, meninggalkan sendiri eksploitasi seksual tersebut tidak terungkap[63]

Dukungan terhadap kegiatan pelacuran tersebar di lingkaran politik, seperti yang dilaporkan oleh BBC News pada 2003. "Anggota parlemen dari partai berkuasa Thai Rak Thai marah karena rencana pemimpin partai untuk melarang anggotanya memiliki gundik atau mengunjungi rumah bordil..." Salah satu anggota parlemen berbicara kepada surat kabar The Nation bahwa jika peraturan ini diterapkan, partai hanya dapat mengajukan 30 kandidat, dibandingkan lebih dari 200 anggota parlemen yang menduduki jabatan saat ini.[64]

Sikap terhadap wanita dicontohkan oleh Anggota Parlemen Thirachai Sirikhan, dikutip oleh The Nation "Untuk memiliki mia noi [gundik] merupakan hak individual. Hal tersebut seharusnya tidak menjadi masalah selama politikus tidak menyebabkan masalah kepada keluarganya atau masyarakat[64]".

Setelah polisi mengerebek beberapa panti pijat di Bangkok dimana anggota kepolisian berhubungan seksual dengan pekerja seks, "Pejabat Kepala Kolonel (Pol) Suthisan Varanvas Karunyathat membela tindakan kepolisian dengan berkata bahwa tindakan anggota kepolisian untuk berhubungan seks merupakan langkah terukur untuk mendapatkan bukti penangkapan[65]". Tampaknya, tindakan yang sama juga dilakukan petugas kepolisian di Pattaya pada Mei 2007.[66]

Wawancara dengan Seorang Aktivis HAM Thailand sunting

Kritaya Archavanitku, aktivis hak asasi manusia diwawancarai oleh UC Berkeley Institute of International Studies, berkata:

Hal ini menyedihkan untuk dikatakan, bahwa struktur sosial Thailand cenderung menerima bentuk kekerasan seperti ini, dan tidak hanya menerima – ketika memiliki hukum, kita memiliki produk hukum untuk mendukung keberadaan perusahaan seks. Itu satu hal. Dan juga, kami memiliki mafia yang terlibat dalam partai politik, hal ini menyebabkan penyalahgunaan terus berlangsung. Alasan kedua adalah faktor budaya. Saya tidak mengetahui bagaimana negara lain, tetapi di Thailand, perilaku seksual pria Thailand menerima pelacuran. Setiap kelas pria Thailand menerimanya, walaupun tidak semua pria Thailand melakukannya. Jadi ketika masuk ke pembuat kebijakan, yang sebagian besar pria, tentunya, mereka tidak melihat ada masalah. Mereka tahu banyak wanita yang dibeli untuk kegiatan pelacuran di Thailand. Mereka tahu beberapa diperlakukan dengan kekerasan yang brutal. Tetapi mereka tidak berpikir hal tersebut mengerikan. Mereka berpikir hal tersebut cuma kasus ketidakberuntungan. dan, karena keuntungan, saya pikir banyak orang yang punya kepentingan terlibat, jadi mereka mencoba untuk menutup mata terhadap masalah yang terjadi.[67]

Kejahatan Terorganisasi sunting

Menurut studi Perpustakaan Kongres Amerika Serikat pada 2003, "distrik lampu merah di kota-kota Thailand adalah rumah untuk...fasilitas rumah bordil, kasino, dan hiburan yang berfungsi sebagai sumber penghasilan dan pusat opersional perdagangan manusia..."[68]:44 Hal ini diestimasi bahwa grup organiasi kriminal telah membawa lebih dari satu juta wanita ke Thailand dari Republik Rakyat Tiongkok, Laos, dan Vietnam.[69] Organisasi 14K Triad mendominasi perdagangan wanita dari Tiongkok ke Bangkok untuk kegiatan pelacuran.[70]

Pada November 2015, Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha meluncurkan kampanye "Clean Up Thailand" untuk mengeliminasi organisasi kriminal di seluruh area, termasuk aktivitas kejahatan.[71]

Agama sunting

Dalam buku berjudul Disposable People: New Slavery in the Global Economy, Kevin Bales berargumen bahwa Agama Buddha di Thailand, Wanita dianggap secara natural lebih lemah dibandingkan pria, dan Buddha berkata kepada murid-muridnya bahwa wanita itu "tidak murni, duniawi, dan korupsi".[72] Hal ini juga mendukung kepercayaan bahwa wanita tidak mungkin mendapatkan pencerahan, walaupun pandangan ini diperdebatkan oleh naskah Agama Budha lainnya seperti Vinaya Piṭaka di Kanon Pāli[73]:16. Dalai Lama menekankan bahwa wanita dapat meraih pencerahan dan berfungsi sama seperti pria dalam hal spiritual, tetapi cabang Budha seperti itu tidak ada di Thailand, yang memiliki canon of beliefs sendiri. Bales juga menunjukan fakta bahwa terdapat sepuluh jenis istri yang diuraikan di Vinaya, atau peraturan pendeta. Pada peraturan ini, tiga kategori pertama dari wanita yang bisa dibayar untuk pelayanannya.[72] Pada Thailand saat ini, hal ini diekspresikan sebagai toleransi kegiatan pelacuran oleh wanita yang sudah menikah. Seks dengan pekerja seks dianggap wanita sebagai "seks kosong" dan wanita mengizinkan suami mereka untuk memiliki hubungan seksual tanpa makna dengan pekerja seks dibandingkan memiliki istri baru.

Agama Budha juga menulis bahwa "penerimaan dan kepasrahan dalam menghadapi penderitaan dan kesakitan hidup",[72] sejalan dengan kepercayaan terhadap karma dan penghapusan dosa dari kehidupan sebelumnya. Wanita mungkin memilih untuk percayaan bahwa bekerja sebagai pekerja seks merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari sebuah karma.

Eksploitasi oleh Polisi dan Pejabat sunting

Posisi yang lemah dari pekerja seks di mata masyarakat Thailand membuatnya rentan untuk dieksploitasi oleh polisi dan pejabat pemerintah. Bisnis seks membayar jumlah yang cukup besar kepada otoritas untuk mendapatkan izin menjalankan bisnis. Pekerja seks menjadi sapi perah untuk menyuap otoritas.[74] Merekayang berada diposisi tersebut mendapatkan keuntungan finansial dengan meneruskan status quo terhadap bisnis seks. Pemilik bisnis dan pekerja seks individual memprotes hal tersebut sejak junta mendapatkan kekuasaan pada 2014, pelecehan meningkat, dan juga jumlah unang yang mereka minta. Hal ini menyebabkan pemilik bisnis berhenti dan pekerja seks bekerja di jalan atau menawarkan jasanya di internet sebagai pekerjaan sampingan.[74]

Kejahatan sunting

Pelacuran Anak sunting

Jumlah pasti dari Pelacuran anak di Thailand tidak diketahui. Menurut institut penelitian yang berbasis di Amerika Serikat "Protection Project" mengestimasi jumlah anak yang terlibat di pelacuran di Thailand mencapai 12.000 sampai dengan ratusan ribu (ECPAT International). Pemerintah, peneliti universitas, dan LSM mengestimasi sebanyak 30.000 sapai dengan 40.000 di bawah umur 18 tahun, tidak termasuk imigran luar negeri (Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2005b). Institut Penelitian Sistem Kesehatan Thailand mengestimasi bahwa anak-anak yang terlibat pelacuran mencapai 40% dari jumlah pekerja seks di Thailand.[75]

Alasan mengapa dan bagaimana anak-anak dieksploitasi secara seksual secara komersial karena:[76]

  • Kemiskinan: proporsi tinggi populasi yang hidup dalam kemiskinan
  • Anak-anak dari etnis Hill tribe: anak-anak ini hidup diperbatasan utara Thailand. Mereka mengalami tingkat kemiskinan yang tidak proposional dibandingkan dengan populasi umum dan kebanyakan tidak memiliki kewarganegaraan. Hal ini berarti mereka tidak memiliki akses ke layanan kesehatan atau sekolah yang kemudian membatasi kesempatan edukasi dan pekerjaan pada masa mendatang.
  • Anak-anak korban perdagangan: banyak anak-anak yang diperdagangan ke dan di negeri melalui jaringan kriminal, kenalan, atau mantan korban perdagangan dan petugas kepolisian dan imigrasi yang mengangkut mereka ke rumah bordil di seluruh Thailand.
  • Rasa tanggung jawab: menurut adat istiadat, tugas pertama dari perempuan adalah mendukun keluarganya dengan cara apapun. Karena rasa tanggung jawab ini dan untuk membayar hutang keluarga, banyak perempuan yang terpaksa bergabung ke dunia pelacuran.

Anak-anak dieksploitasi di tempat-tempat pelacuran dan mereka juga didekati langsung di jalan oleh pedofil untuk melakukan kontak seksual.[77] Pariwisata seks anak merupakan masalah serius di negara ini. Thailand, Kamboja, India, Brasil, dan Meksiko diidentifikasi sebagai titik panas eksploitasi seksual anak.[78] Pedofil, khususnya, mengeksploitasi hukum negara yang lemah dan berupaya mencari perlindungan untuk menghindari penuntutan.[79]

Untuk mencegah pariwisata seks anak, pemerintah melaporkan menolak kedatangan 74 pelaku seks asing pada 2017. Pemerintah telah mengembangkan dan meluncurkan video yang ditunjukan pada penerbangan ke Thailand untuk menceah pariwisata seks. Kementerian Pariwisata mendistribusikan lebih dari 315.000 brosur untuk mencegah pariwisata anak kepada pelaku bisnis dan turis profesional serta menyelenggarakan pelatihan untuk 800 petugas lokal pemerintah, pekerja sektor pariwisata, pelajar, pemuda-pemudi, organisasi masyarakat sipil dalam pencegahan untuk eksploitasi seks anak di dunia industri pariwisata.[80]

Perdagangan Seks sunting

Thailand merupakan sumber, tujuan, dan negara transit untuk pria, wanita, dan anak-anak yang menjadi subjek perdagangan seksual. Industri seks komersial Thailand tetap luas, meningkatkan kerentanan untuk perdagangan seks. Wanita, pria, anak laki-laki, dan anak perempuan dari Thailand, atau negara Asia Tenggara lain, Sri Lanka, Rusia, Uzbeskistan, dan beberapa negara Afrika merupakan subjek perdagangan anak di Thailand. Thailand juga menjadi negara transit dari Tiongkok, Korea Utara, Vietnam, Bangladesh, India, dan Burma yang menjadi subjek untuk pekerja seks di negara-negara Malaysia, Indonesia, Singaura, Rusia, Korea Selatan, Amerika SElatan, dan negara-negara Eropa Selatan. Warga negara Thailand merupakan subjek perdagangan seks di Thailand dan negera-negara di Amerika Utara, Eropa, Afrika, Asia, dan Timur Tengah.[80]

Wanita Thailand dan warga negara lain dibujuk untuk ke Jepang dan djual kepada rumah bordil milik Yakuza, dimana mereka dipaksa untuk bekerja demi membayar hutang finansial. Merupakan hal yang mudah untuk membujuk wanita di negara-negara tetangga karena Thailand memiiki 56 titik lintas bantas tidak resmi dan 300 titik lintas batas dimana orang-orang bisa keluar masuk tanpa membutuhkan dokumen resmi.[14] Pada kasus yang menonjol pada 2006, seorang wanita bernama Urairat Soimee mengajukan gugatan perdata di Thailand kepada para pelaku berwarga negara Thailand, yang sebelumnya dihukum bersalah di pengadilan kriminal. Wanita ini berhasil kabur dari cincin pelacuran milik Yakuza dengan membunuh Mama-san berwarga negara Thailand dan menghabiskan lima tahun di penjara Jepang.[81]

Office to Monitor and Combat Trafficking in Personsdari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada laporan U.S. Trafficking in Persons menempatkan Thailand di negara tingkat 2, hal ini berarti Pemerintah Thailand walaupun tidak memenuhi standar minimal untuk menghilangkan perdagangan orang, tetapi melaksanakan usaha-usaha yang signifikan untuk memberantasnya.[80]

Thailand telah memberlakukan beberapa hukum untuk melawan perdagangan orang. Termasuk Undang-undang Anti Perdagangan Orang pada 2008,[82] Undang-Undang Anti Perdagangan Orang pada 1997.[83] Thailand juga menekan perjanjian regional untuk melawan perdagangan orang, termasuk Coordinated Mekong Ministerial Initiative against Trafficking.[84] Pekerja seks Thailand mendirikan EMPOWER untuk menyampaikan beberapa keberatan mengenai Undang-Undang tersebut. Keberatan mereka termasuk hukum yang mengizinkan kepolisian untuk memasuki tempat yang dianggap sebagai tempat pekerja seks tanpa perlu surat pengeledahan, kurangnnya bantuan sosial yang disediakan untuk korban, repatriasi paksa yang menyebabkan terbelahnya LSM yang melawan perdagangan seksual dan yang mendukung pekerja seks.[85] Organisasi pekerja seks di Thailand menentang keras operasi "penyelamatan" yang menyebabkan orang dewasa yang secara bebas memasuki dunia industri seks ditangkap, tidak mendapatkan mata pencaharian, dan subjek untuk dideportasi.[86]

Sebuah geng perdagangan seks ditangkap di selatan kota Pattaya pada Oktober 2014.[87]

Pada 2017, Kementarian Dalam Negeri Thailand dan Kementerian Kehakiman Thailand menginspeksi 11.268 tempat hiburan dewasa "berisiko tinggi" dan memerintahkan 268 tempat untuk menghentikan bisnisnya dalam lima tahun kedepan. Inspeksi tersebut mengarah pada penuntutan delapan kasus perdagangan orang. Korupsi berlanjut sehingga merusak usaha pemberantasan perdagangan orang. Beberapa pejabat pemerintah terlibat langsung dalam kejahatan perdagangan orang, termasuk menerima suap atau pinjaman dari pemiliki bisnis dan rumah bordil dimana korban dieksploitasi. Laporan kredibel mengindikasi beberapa pejabat yang korupsi melindungi rumah bordil dan tempat seks komersial lainnya dari pengerebekan dan inspeksi dan berkolusi dengan pedagang manusia.

Organisasi Mendukung untuk Pekerja Seks sunting

Beberapa organisasi yang pendukung pekerja seks ada di Thailand:

  • EMPOWER merupakan LSM Thailand yang menawarkan jasa kesehatan, edukasi, dan konseling untuk pekerja seks wanita. Organisasi ini hadir untuk memberdayakan pekerja seks dan telah beroperasi sejak 1985 dan memiliki kantor di Patpong (Bangkok), Chiang Mia, Mae Sai, dan Pantai Patong (Phuket).[88] Organisasi juga mengoperasikan museum pekerja seks di Bangkok dan memiliki bar di Chiang Mai.
  • SWING (Service Worker in Group) cabang dari EMPOWER, yang menawarkan bantuan untuk pekerja seks pria dan wanita di Patpong dan Pattaya. Menawarkan kelas bahasa Inggris, mengajarkan edukasi seks aman, mendistribusikan kondom, dan mempromosikan kesehatan dan keamanan dengan gimnastik internal dan diskon konsultasi medis. Organisasi yang baru dibentuk bernama SISTERS yang bekerja bersama pekerja seks transgender di bangkok dan Pattaya.[89][90]
  • M Plus merupakan organisasi pekerja seks pria di Chiang Mai, termasuk pria yang mengidentifikasikan orientasi seksual semasa jenis, normal atau transgender. M Plus mengoperasikan klinik kesehatan untuk pekerja seks dan melaksanakan edukasi pencegahan HIV dan profilaksis.[91]
  • Asia Pacific Network of Sex Workers (APNSW) merupakan organisasi regional, berkantor pusat di Thailand, yang merupakan organisasi yang dipimpin oleh pekerja seks.[92] Organisasi ini hadir untuk mempromosikan dan melindungi hak asiasi pekerja seks dan kesehatan di Asia. Organisasi ini mendukung gerakan dekriminalisasi pekerja seks dan mendorong pengakuan pekerjaan seks sebagai pekerjaan formal.

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ Boonchalaksi, Wathinee; Guest, Philip (1994). Prostitution in Thailand (PDF). Institute for Population and Social Research, Mahidol University. ISBN 978-9745876569. Diakses tanggal 13 January 2018. 
  2. ^ Yongcharoenchai, Chaiyot (2017-02-26). "No Sex Please, We're Thai". Bangkok Post. Diakses tanggal 13 January 2018. 
  3. ^ Siam Voices (3 July 2015). "Prostitution: Thailand's worst kept secret". Asian Correspondent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-15. Diakses tanggal 10 January 2018. 
  4. ^ "Thailand: Prevention and Suppression of Prostitution Act, B.E. 2539 (1996)" (Unofficial translation). NATLEX. UN International Labor Organization (ILO). 14 October 1996. Diakses tanggal 10 January 2018. 
  5. ^ a b c d e f g h aHennessy [sic]; kilikina [sic] (27 Jun 2012). "Current Legal Framework: Prostitution in Thailand". IMPOWR.org. ABA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-13. Diakses tanggal 9 Dec 2013. 
  6. ^ Finch, James; Tangprasit, Nilobon (24 April 2011). "Criminal Law in Thailand Part LX: Sex crimes—the prostitute" (PDF). Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 2, 2013. 
  7. ^ Finch, James; Tangprasit, Nilobon (1 May 2011). "Criminal Law in Thailand Part LXI: Sex crimes—prostitutes and their customers" (PDF). Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 2, 2013. 
  8. ^ Finch, James; Tangprasit, Nilobon (8 May 2011). "Criminal Law in Thailand Part LXII: Sex crimes—underage prostitutes" (PDF). Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 2, 2013. 
  9. ^ Finch, James; Tangprasit, Nilobon (15 May 2011). "Criminal Law in Thailand Part LXIII: Sex crimes—the pimp" (PDF). Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 2, 2013. 
  10. ^ Finch, James; Tangprasit, Nilobon (22 May 2011). "Criminal Law in Thailand Part LXIV: Sex crimes—wrong place, wrong time" (PDF). Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 2, 2013. 
  11. ^ "Penal Code Amendment Act (No. 14), B.E. 2540 (1997)" (PDF). Thai Laws. 14 November 1997. Diarsipkan dari versi asli (Unofficial translation) tanggal 2014-08-17. Diakses tanggal 10 January 2018. 
  12. ^ "ENTERTAINMENT PLACE ACT, B.E. 2509 (1966)" (Unofficial translation). Office of the Council of State (Thailand). Diakses tanggal 10 January 2018. 
  13. ^ "The Legal Status of Prostitution by Country". Chartsbin. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-31. Diakses tanggal 19 December 2017. 
  14. ^ a b c d e Francoeur, Robert T., ed. (1997). The International Encyclopedia of Sexuality: Thailand. New York: The Continuum Publishing Company. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 24 Feb 2015. 
  15. ^ a b c d e Iverson, Kelly (9 February 2017). "A Guide to Bangkok's Red Light Districts". Culture Trip. Diakses tanggal 18 December 2017. 
  16. ^ a b c "2008 Human Rights Report: Thailand; Women". US Department of State. Diakses tanggal 24 Feb 2015. 
  17. ^ a b c d e Somjittranukit, Kornkritch (2017-12-13). "Sex in grey areas (1): sting operations horrify Thai sex workers". Prachatai English. Diakses tanggal 14 December 2017. 
  18. ^ a b c d Lines, Lisa (July 2015). "Prostitution in Thailand: Representations in fiction and narrative non-fiction" (PDF). Journal of International Women's Studies. 16 (3): 86–100. Diakses tanggal 21 March 2018. 
  19. ^ "World Health Organization: STI/HIV: Sex Work in Asia" (PDF). WHO. July 2001. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 11 November 2011. Diakses tanggal 24 Feb 2015. 
  20. ^ "Prostitution: More Thais selling sex, study finds", The Nation, 3 Jan 2004, diarsipkan dari versi asli tanggal November 9, 2013  Templat:DL
  21. ^ "Country Reports on Human Rights Practices for 2013: Thailand". US Department of State. Diakses tanggal 25 Feb 2015. 
  22. ^ a b Julia Boccagno (11 November 2015). "Thailand's trans sex workers seek empowerment, not pity". Asia Correspondent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-12-05. Diakses tanggal 16 November 2015. 
  23. ^ a b "Prostitution Statistics". www.havocscope.com. Havocscope. Diakses tanggal 16 November 2015. 
  24. ^ "Sex workers: Population size estimate - Number, 2016". www.aidsinfoonline.org. UNAIDS. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 June 2019. Diakses tanggal 21 July 2018. 
  25. ^ Lorna Martin (25 Jan 2006). "Paradise Revealed". The Taipei Times. Diakses tanggal 10 Nov 2013. 
  26. ^ a b "Thailand mulls legal prostitution". Theage.com.au. 2003-11-26. Diakses tanggal 2015-02-24. 
  27. ^ Bertil Lintner (3 February 1996). "The Russian Mafia in Asia - Asia Pacific Media Service". Asiapacificms.com. Diakses tanggal 2 December 2013. 
  28. ^ Tanakasempipat, Patpicha (16 July 2016). "Thai sex industry under fire from tourism minister, police". Reuters. Diakses tanggal 17 July 2016. 
  29. ^ Hamdi, Raini (28 November 2017). "A familiar face helms Thai tourism but Kobkarn will be missed". TTG Asia. Diakses tanggal 10 January 2018. 
  30. ^ a b Bragg, Taylor (11 January 2018). "Sex tourism in Pattaya: Is the party over?". Asian Correspondent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-11. Diakses tanggal 12 January 2018. 
  31. ^ a b "Roving candid camera snaps Thailand's Sin City". The Age. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-23. Diakses tanggal 2010-11-27. 
  32. ^ Dorai, Francis (2009). Thailand's beaches and islands (edisi ke-Updated). Singapore: APA Pub. ISBN 978-9812820365. 
  33. ^ "Prostitution, Sex-Tourism & AIDS in Thailand - Thailand Information". KoChangVR. Diakses tanggal 18 December 2017. 
  34. ^ a b Panyalimpanun, Thitipol (6 March 2015). "Opinion: Sexual hypocrisy is alive and well in Thailand". Asian Correspondent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 March 2015. Diakses tanggal 27 August 2015. 
  35. ^ Hanenberg, R; Rojanapithayakorn, W (1998). "Changes in prostitution and the AIDS epidemic in Thailand" (PDF). AIDS Care. 10 (1): 69–79. doi:10.1080/713612352. PMID 9536203. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 5, 2013. Diakses tanggal 6 Jan 2015. 
  36. ^ "The Turkish Bath House & Soapy Massage Explained". Soapy-massage.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 October 2011. Diakses tanggal 24 February 2015. 
  37. ^ Phijitsiri, Pimkamol (2015-08-24). "Investigation into professionalism of Thai sex workers". Prachatai English. Diakses tanggal 28 August 2015. 
  38. ^ Charuvastra, Teeranai (5 October 2017). "Bangkok Literally Sinking in Sex as Brothels Steal Groundwater". Khaosod English. Diakses tanggal 16 January 2018. 
  39. ^ "Lao women in Isaan's karaoke bars: 'Men certainly don't pretend we're waitresses'". The Isaan Record. 2019-04-04. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-12. Diakses tanggal 1 May 2019. 
  40. ^ Chinmaneevong, Chadamas (2016-05-25). "Spas cry foul over sale of sex services". Bangkok Post. Diakses tanggal 25 May 2016. 
  41. ^ a b Jo Bindman; Jo Doezema (1997). "Redefining Prostitution as Sex Work on the International Agenda". www.walnet.org. Commercial Sex Information Service. Diakses tanggal 8 September 2015. 
  42. ^ Askew, Marc. Bangkok: Place, practice and representation. Chapter 9: Sex workers in Bangkok - Refashioning female identities in the global pleasure space (PDF). Pacificdiscovery.org. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 3 March 2016. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  43. ^ Villar, Leo Bernardo (2019-04-02). "Unacceptable Forms of Work in the Thai Sex and Entertainment Industry". Anti-Trafficking Review. 0 (12): 108–126. doi:10.14197/atr.201219127 . ISSN 2287-0113. 
  44. ^ "Donald Wilson and David Henley, Prostitution in Thailand: Facing Hard Facts". www.hartford-hwp.com. 1994-12-25. Diakses tanggal 2015-02-24. 
  45. ^ Latstetter, Jennifer (2000). "American Military-Base Prostitution". The Monitor: Journal of International Studies. 6 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 December 2015. Diakses tanggal 18 December 2015. 
  46. ^ Sorajjakool, Siroj; Benitez, Arelis (2015-10-23). "The Role of Religion among Sex Workers in Thailand". Religions (dalam bahasa Inggris). 6 (4): 1263–1276. doi:10.3390/rel6041263 . 
  47. ^ "Buddhist Studies: 27. Q & A on Women in Buddhism". www.buddhanet.net. Diakses tanggal 2018-02-14. 
  48. ^ Huxley, Andrew (1996). Thai Law, Buddhist Law; Essays on the Legal History of Thailand, Laos and Burma. Bangkok: White Orchid. 
  49. ^ Spector, Jessica (2006). Prostitution and Pornography: Philosophical Debate about the Sex Industry. Stanford University Press. hlm. 192. ISBN 9780804749381. 
  50. ^ A. Hennessy (16 September 2011). "Summary: Prostitution in Thailand". International Models Project on Women's Rights. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-20. Diakses tanggal 5 April 2016. Prostitution in Thailand has been illegal since 1960 when The Prostitution Suppression Act B.E. 2503 (1960) (the “1960 Prostitution Act”) was passed under pressure from the United Nations. 
  51. ^ "More teenaged girls getting HIV infection". The Nation. 2009-03-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-26. Diakses tanggal 2015-02-24. 
  52. ^ HIV in Asia and the Pacific; UNAIDS report 2013 (PDF). Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). 2013. hlm. 108. ISBN 978-92-9253-049-5. Diakses tanggal 25 Feb 2015. 
  53. ^ a b c Saengpassa, Chularat (2018-12-01). "Sharpened focus in Aids battle". The Nation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-04. Diakses tanggal 2018-12-01. 
  54. ^ "Country Comparison :: HIV/AIDS - Adult Prevalence Rate". Central Intelligence Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-21. Diakses tanggal 2018-12-01. 
  55. ^ "The World Today - Thailand's 'Mr Condom' makes comeback". Abc.net.au. Diakses tanggal 2015-02-24. 
  56. ^ a b c d Nemoto, Tooru, Mariko Iwamoto, Usaneya Perngparn, Chitlada Areesantichai, Emiko Kamitani, and Maria Sakata. "HIV-related risk behaviors among kathoey (male-to-female transgender) sex workers in Bangkok, Thailand." AIDS Care(2011): 1-10. Web.
  57. ^ Jackson, Peter A. Male homosexuality in Thailand: an interpretation of contemporary Thai sources. Elmhurst, NY: Global Academic Publishers, 1989. Print.
  58. ^ Sam Winter. Queer Bangkok: twenty-first-century markets, media, and rights. Aberdeen, Hong Kong: Hong Kong U Press, 2011. Print.
  59. ^ Rojanaphruk, Pravit (9 June 2018). "The Reality and Denial of Sex Work in Thailand". Khaosod English. Diakses tanggal 12 June 2018. 
  60. ^ Knodel, John; VanLandingham, Mark; Saengtienchai, Chanpen; Pramualratana, Anthony (1996). "Thai views of sexuality and sexual behaviour" (PDF). Health Transition Review. 6: 179–201. Diakses tanggal 25 Feb 2015. 
  61. ^ Sara Peracca; John Knodel; Chanpen Saengtienchai (16 July 1998), "Can Prostitutes Marry? Thai Attitude Toward Female Sex Workers", Social Science and Medicine, 47 (2): 255–267, doi:10.1016/s0277-9536(98)00089-6, PMID 9720644 
  62. ^ Elizabeth Monk-Turner & Charlie Turner (December 23, 2009), "Subjective Well-being Among Those Who Exchange Sex and Money, Yunnan, China and Thailand", Social Indicators Research, 99: 13, doi:10.1007/s11205-009-9568-9 
  63. ^ a b Scott-Clark, Cathy; Levy, Adrian (21 Feb 2004). "The brothel king's revenge". The Guardian. Diakses tanggal 25 Feb 2015. 
  64. ^ a b "Thai MPs protest mistress ban". BBC News. 2003-12-02. Diakses tanggal 2015-02-24. 
  65. ^ "Chuwit Kamolvisit News". 2Bangkok.com. 2008-01-28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-29. Diakses tanggal 2015-02-24. 
  66. ^ "Pattaya Volunteer Police Indulge in Uzbek Sting Operation". Pattaya Daily News. 22 May 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 October 2009. 
  67. ^ "Conversation with Kritaya Archanvanitkul - p. 3 of 5". Globetrotter.berkeley.edu. 2005-08-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-16. Diakses tanggal 2015-02-24. 
  68. ^ Berry, LaVerle B. (April 2003). Transnational Activities of Chinese Crime Organizations (PDF). Washington DC: Library of Congress. Diakses tanggal 26 February 2015. 
  69. ^ editor, Margaret E. Beare (2012). Encyclopedia of transnational crime & justice. Thousand Oaks, Calif.: SAGE Publications. ISBN 978-1412990776. 
  70. ^ Traditional organized crime in the modern world: responses to socioeconomic Change (Studies of Organized Crime). Springer. 2014. ISBN 9781489987532. 
  71. ^ "Thai Junta Launches Crackdown on Organized Crime". VOA News. 5 November 2015. Diakses tanggal 18 December 2017. 
  72. ^ a b c Bales, Kevin (2004). Disposable People: New Slavery in the Global Economy . Los Angeles: University of California Press. ISBN 9780520931701. Diakses tanggal 2018-12-30. 
  73. ^ Murcott, Susan (1991), The First Buddhist Women: Translations and Commentary on the Therigatha , Parallax Press, ISBN 9780938077428 
  74. ^ a b "Sex in grey areas (2): how the junta threatens the lives of sex workers". Pratchatai English. 7 January 2018. Diakses tanggal 7 January 2018. 
  75. ^ Burke, Alicia; Ducci, Stefania. Trafficking in Minors for Commercial Sexual Exploitation: Thailand (PDF) (Laporan). United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute. Diarsipkan dari versi asli (pdf) tanggal 12 July 2007. Diakses tanggal 27 September 2017. 
  76. ^ "Child Sex Tourism in Thailand" (PDF). End Child Prostitution Pornography and Trafficking (ECPAT UK). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-10-04. Diakses tanggal 26 Feb 2015. 
  77. ^ "Global Monitoring Report: Thailand" (PDF). ECPAT. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 April 2012. 
  78. ^ "Rights-Mexico: 16,000 Victims of Child Sexual Exploitation". Inter Press Service News Agency. 13 Aug 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-26. 
  79. ^ "Pedophiles find cover in parts of Asia - World news - Asia-Pacific | NBC News". NBC News. 2006-08-17. Diakses tanggal 2013-06-24. 
  80. ^ a b c "Thailand 2018 Trafficking in Persons Report". OFFICE TO MONITOR AND COMBAT TRAFFICKING IN PERSONS. United States Department of State. 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-03. Diakses tanggal 4 November 2018.    Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  81. ^ Chatrarat Kaewmorakot (23 January 2006). "WOMAN'S DYING: wish to punish traffickers who ruined her life". The Nation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 October 2014. Diakses tanggal 13 October 2014. 
  82. ^ "Thailand: Anti-Trafficking in Persons Act B.E 2551 (2008)". Refworld (dalam bahasa English). January 30, 2018. Diakses tanggal 4 November 2018. 
  83. ^ Son Ninsri (2008). "Thailand's Anti-Trafficking in Persons Act B.E. 2551 (2008): A New Development in Human Rights Protection and Justice" (PDF). In Factis Pax (dalam bahasa English). 2 (2). Diakses tanggal 4 November 2018. 
  84. ^ "The Coordinated Mekong Ministerial Initiative against Trafficking". evaw-global-database.unwomen.org. 
  85. ^ "The Prevention and Suppression of Human Trafficking Act 2008 : Impact on Sex Workers A Report by Empower Foundation" (dalam bahasa English). EMPOWER Foundation. February 21, 2012. hlm. 1–5. Diakses tanggal 4 November 2018. 
  86. ^ "Last Rescue in Siam" (dalam bahasa English). EMPOWER Foundation. February 21, 2012. Diakses tanggal 4 November 2018. 
  87. ^ "ATCC And Police Cracked Down Human Trafficking Gang". Pattaya Daily News. 12 October 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-14. Diakses tanggal 13 October 2014. 
  88. ^ "Empower's Education ... Learning By Doing". Empower Foundation. Diakses tanggal 25 Feb 2015. 
  89. ^ "HIV Prevention among MSWs in Pattaya" (PDF). UNESCO Bangkok. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-07-05. Diakses tanggal 6 Jan 2015. 
  90. ^ "Swing and Sisters: HIV outreach to sex workers in Thailand". Unaids.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-03-30. Diakses tanggal 2013-06-24. 
  91. ^ "M Plus Thailand". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-12. Diakses tanggal 2018-12-30. 
  92. ^ "Welcome to APNSW". Asia Pacific Network of Sex Workers. Diakses tanggal 2018-12-30. 

Bacaan lebih lanjut sunting

  • Bishop, Ryan; Robinson, Lillian S (1998). Night Market; Sexual Cultures and the Thai Economic Miracle (edisi ke-Paper). New York: Routledge. ISBN 978-0-415-91429-1. Diakses tanggal 17 July 2016.  Bishop, Ryan; Robinson, Lillian S (1998). Night Market; Sexual Cultures and the Thai Economic Miracle (edisi ke-Paper). New York: Routledge. ISBN 978-0-415-91429-1. Diakses tanggal 17 July 2016.  Bishop, Ryan; Robinson, Lillian S (1998). Night Market; Sexual Cultures and the Thai Economic Miracle (edisi ke-Paper). New York: Routledge. ISBN 978-0-415-91429-1. Diakses tanggal 17 July 2016. 
  • Bepergian dalam Perdagangan Kulit: Pariwisata dan Industri Seks (1996, ISBN 0-7453-1115-6 ) oleh Jeremy Seabrook menggambarkan industri seks Thailand dan termasuk wawancara dengan pelacur dan pelanggan.
  • Cleo Odzer menerima gelar PhD dalam antropologi dengan tesis tentang pelacuran di Thailand; pengalamannya selama tiga tahun penelitian lapangan menghasilkan buku 1994 Patpong Sisters: Pandangan Wanita Amerika tentang Dunia Seks Bangkok ( ISBN 1-55970-281-8 ). Dalam buku itu dia menggambarkan pelacur Thailand yang dia kenal sebagai pengusaha cerdas daripada korban yang dieksploitasi.
  • Hello My Big Big Honey !: Surat Cinta untuk Gadis Bar Bangkok dan Wawancara Mereka yang Mengungkap oleh Dave Walker dan Richard S. Ehrlich (2000, ISBN 0-86719-473-1 ) adalah kompilasi surat cinta dari orang Barat ke pelacur Thailand, dan wawancara dengan yang terakhir.
  • Untuk karikatur informatif norma - norma dan adat istiadat seksual kontemporer Thailand (dan Industri Seksnya) versus Barat, lihat novel-novel John Burdett termasuk Bangkok 8 untuk antropologi komparatif dari setengah-Barat-Thailand-nya (putra seorang 'Bar-Girl' ) detektif protagonis, Sonchai Jitpleecheep .
  • Perjalanan film dokumenter Dennis Jon 2005 The Butterfly Trap memberikan sudut pandang orang pertama yang realistis dan tidak menghakimi tentang pariwisata seks di Thailand.
  • Film dokumenter Jordan Clark 2005 Falang: Behind Bangkok's Smile mengambil pandangan yang agak kritis tentang pariwisata seks di Thailand.
  • Film dokumenter David A. Feingold tahun 2003 Trading Women mengeksplorasi fenomena wanita dari negara-negara sekitarnya yang diperdagangkan ke Thailand.
  • Lines, Lisa (July 2015). "Prostitution in Thailand: Representations in Fiction and Narrative Non-Fiction" (PDF). Journal of International Women's Studies. 16 (3): 86–100. Diakses tanggal 2018-12-01. 
  • Untuk diskusi yang merefleksikan sejarah prostitusi, lihat Scott Bamber, Kevin Hewison dan Peter Underwood (1997) "Liaison Berbahaya: Sejarah Penyakit Menular Seksual di Thailand", di M. Lewis, S. Bamber & M. Waugh (eds ), Jenis Kelamin, Penyakit dan Masyarakat: Sejarah Komparatif Penyakit Menular Seksual dan HIV / AIDS di Asia dan Pasifik ( ISBN 978-0313294426 ), Westport: Greenwood Press, Kontribusi dalam Studi Medis No. 43, hlm.   37–65.

Pranala luar sunting