Pelecehan seksual

jenis pelecehan dengan nuansa seksual

Pelecehan seksual atau penggangguan seksual adalah jenis pelecehan yang melibatkan penggunaan nuansa seksual yang eksplisit atau implisit, termasuk janji imbalan yang tidak diinginkan dan tidak pantas sebagai balasan atas bantuan seksual. Pelecehan seksual dapat berupa fisik dan/atau tuntutan atau permohonan untuk melakukan tindakan seksual, melontarkan pernyataan bernuansa seksual, memperlihatkan pornografi, dan perilaku fisik, verbal, atau non-verbal lain yang tidak diinginkan yang bersifat seksual.[1] Pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan mulai dari pelanggaran verbal hingga kekerasan atau penyerangan seksual.[2] Pelecehan dapat terjadi di berbagai lingkungan sosial seperti tempat kerja, rumah, sekolah, atau lembaga keagamaan. Pelaku pelecehan atau korban bisa berjenis kelamin apa pun.[3]

Pelecehan seksual berupa meraba-raba

Pelaku dan korban sunting

Walaupun secara umum wanita sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.

  • Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar belakang, maupun status sosial.
  • Korban dari perilaku pelecehan sosial dianjurkan untuk mencatat setiap insiden termasuk identitas pelaku, lokasi, waktu, tempat, saksi dan perilaku yang dilakukan yang dianggap tidak menyenangkan. Serta melaporkannya ke pihak yang berwenang.
  • Saksi bisa jadi seseorang yang mendengar atau melihat kejadian ataupun seseorang yang diinformasikan akan kejadian saat hal tersebut terjadi. Korban juga dianjurkan untuk menunjukkan sikap ketidak-senangan akan perilaku pelecehan.

Pelecehan seksual di kantor sunting

Pelecehan seksual di kantor mungkin terjadi saat:

  1. Keputusan menyangkut kepegawaian individu tertentu dibuat karena individu tersebut melakukan atau menolak pendekatan-pendekatan seksual dalam pekerjaannya. Keputusan-keputusan kepegawaian misalnya terkait dengan promosi, penghargaan, pelatihan, dan keuntungan-keuntungan lainnya.
  2. Penolakan akan pendekatan seksual yang secara tidak masuk akal berpengaruh pada penilaian pekerjaan individu atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, kasar, atau penuh tekanan lainnya.

Macam-macam perilaku yang digolongkan dalam pelecehan seksual di kantor sunting

  • Lelucon seks, menggoda secara terus menerus akan hal-hal yang berkaitan dengan seks baik secara langsung maupun melalui media seperti surat, SMS, maupun surat-e.
  • Penyiksaan secara verbal akan hal-hal yang terkait dengan seks.
  • Memegang ataupun menyentuh dengan tujuan seksual.
  • Secara berulang berdiri dengan dekat sekali atau hingga bersentuhan badan dan badan antar orang.
  • Secara berulang meminta seseorang untuk bersosialisasi (tinggal, ikut pergi) di luar jam kantor walaupun orang yang diminta telah mengatakan tidak atau mengindikasikan ketidak tertarikannya.
  • Memberikan hadiah atau meninggalkan barang-barang yang dapat merujuk pada seks.
  • Secara berulang menunjukkan perilaku yang mengarah pada hasrat seksual.
  • Membuat atau mengirimkan gambar-gambar, kartun, atau material lainnya yang terkait dengan seks dan dirasa melanggar etika/ batas.
  • Di luar jam kerja memaksakan ajakan-ajakan yang terkait dengan seks yang berpengaruh pada lingkup kerja.

Pencegahan sunting

- Sebagai korban ada beberapa pencegahan seperti segera menjauh dari pelaku, baik di lingkungan, maupun sosial media.

- Tidak menyebutkan, memberitahukan, dan memberi isyarat yang dapat menimbulkan hasrat seksual pelaku semakin meningkat contohnya; segera melapor pada pihak berwenang dengan menyertakan bukti, mengingat proses pelaporan membutuhkan waktu hal terdekat atau tercepat yang dilakukan adalah mencari pertolongan orang terdekat bila perlu tegur dengan lantang.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Paludi, Michele A.; Barickman, Richard B. (1991). "Definitions and incidence of academic and workplace sexual harassment". Academic and workplace sexual harassment: a resource manual. Albany, NY: SUNY Press. hlm. 2–5. ISBN 9780791408308. 
  2. ^ Dziech, Billie Wright; Weiner, Linda. The Lecherous Professor: Sexual Harassment on Campus.[halaman dibutuhkan] Chicago Illinois: University of Illinois Press, 1990. ISBN 978-0-8070-3100-1; Boland, 2002[halaman dibutuhkan]
  3. ^ "Sexual Harassment". U.S. Equal Employment Opportunity Commission. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-13. Diakses tanggal 2010-07-16. 

Bacaan lebih lanjut sunting

  • Sorenson, Susan B. (1997). Violence and Sexual Abuse at Home: Current Issues in Spousal Battering and Child Maltreatment, New York: Haworth Press. ISBN 1-56024-681-2.
  • Leigh Ann Reynolds. "People with Mental Retardation & Sexual Abuse. The Arc Q & A", Arc National Headquarters, 1997
  • Baladerian, N. (1991). "Sexual abuse of people with developmental disabilities". Sexuality and Disability. 9 (4): 323–335. doi:10.1007/BF01102020. 
  • Sobsey, D.(1994). Violence and Abuse in the Lives of People With Disabilities: The End of Silent Acceptance? Baltimore: Paul H. Brookes Publishing Co. ISBN 978-1-55766-148-7
  • Sobsey D. and Varnhagen, C.(1989). "Sexual abuse and exploitation of people with disabilities: Toward Prevention and Treatment". In M. Csapo and L. Gougen (Eds) Special Education Across Canada (pp. 199–218). Vancouver Centre for Human Developmental Research
  • Valenti-Hien, D. and Schwartz, L.(1995). "The sexual abuse interview for those with developmental disabilities". James Stanfield Company, Santa Barbara: California.
  • White-Davis, Donna Lovers in the Time of Plague copyright 2009

Pranala luar sunting