Pemanah berkuda

Prajurit berkuda dengan keahlian memanah

Pemanah berkuda (bahasa Inggris: mounted archery) adalah prajurit kavaleri bersenjatakan busur dengan keahlian memanah sambil menunggang kuda. Pasukan ini menjadi momok menakutkan bagi musuh pada medan peperangan zaman klasik hingga abad pertengahan.[1] Karena untuk menggunakan busur penunggang harus melepaskan kedua belah tangan dari tali kekang, dia harus memiliki kemahiran menunggang yang tinggi. Pemanah berkuda juga dikaitkan dengan kaum nomad di padang rumput steppe. Mereka yang diketahui pernah menggunakan pemanah berkuda termasuk Scythia, Sarmatia, Parthia, Hun, dan Mongol. Di Jepang pemanah berkuda dikenali sebagai Yabusame.

Saat menarik busur, pemanah harus memusatkan titik-berat tubuhnya di belakang tangan yang memegang busur, yaitu dengan berdiri kaku. Namun, panah memiliki daya-bunuh yang rendah, sehingga tidak berguna dalam pertempuran jarak dekat. Dengan demikian, pemanah tanpa tunggangan amat lemah, terutama jika harus menghadapi musuh berbaju pelindung. Sebaliknya, pemanah berkuda, yang berat tubuhnya ditanggung oleh kuda, mampu menarik busur dan melepaskan anak panah sambil bergerak. Taktik mashyur adalah panahan Parthian, menjauhi musuh sambil terus memanah (sebab ini, istilah parthian arrow artinya menghina ketika berpisah).

Senjata pilihan tentara pemanah berkuda adalah panah mengeleding (recurve bow), karena busur ini cukup kecil untuk digunakan dari kuda dan namun masih memiliki jarak panah dan daya tembus yang memadai. Satu-satunya bahaya yang mengancam pemanah berkuda adalah panah, sedangkan mereka bisa menjauh, keluar dari jarak panah selepas setiap serangan. Oleh karena itu, mereka tidak memerlukan baju pelindung, sehingga bisa menunggang kuda ringan seperti kuda muda (pony). Ini menyebabkan perlengkapan mereka murah dan pergerakan strategis mereka meningkat.

Kelemahan pemanah berkuda adalah terganggunya ketepatan memanah akibat pergerakan kuda. Dengan diciptakannya sanggurdi, pemanah berkuda dapat berdiri pada sanggurdi untuk menyerap pergerakan kuda. Metode lain untuk membantu memanah dengan tepat adalah dengan memanah di antara derap kuda.

Pemanah berkuda memainkan peranan penting dalam Pertempuran Carrhae dan Liegnitz. Dalam kedua kasus ini, pemanah berkuda memenangi pertempuran karena musuh bergantung pada pertempuran berhadapan. Pemanah berkuda menjadi usang dengan berkembangnya senjata api modern.

Sejarah

sunting

Bukti awal pemanah berkuda digambarkan dalam ukiran Assyria, dimana ada dua penunggang kuda, satu orang mengendalikan kedua kuda sementara orang yang satunya memanah.

Salah satu panglima perang yang memenangkan pertempuran pertamanya melawan pemanah berkuda adalah Alexander Agung. Ia mengalahkan pasukan Scythia pada 329 SM dalam Pertempuran Jaxartes (sungai Syr Darya). Meskipun demikian, Jaxartes merupakan batas paling timur laut dari wilayah kekuasaan Alexander di Asia, dan ia tidak pernah mencapai wilayah yang lebih jauh yang merupakan tempat para pengedara kuda nomaden. Beberapa pemimpin pasukan berat yang lain pernah mengalami pengalaman yang mengerikan menghadapi pasukan pemanah berkuda, di antaranya adalah Crassus dalam Pertempuran Carrhae. Pertempuran Hattin pada Abad pertengahan adalah contoh klasik dari kontribusi pemanah berkuda dalam mengalahkan pasukan berbaju besi, melalui demoralisasi dan pelecehan yang berkelanjutan. Khan-khan Mongol menggunakan taktik yang serupa dalam menciptakan Kekaisaran Mongolia yang membentang dari China sampai Eropa Timur.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Mengapa Pemanah Berkuda Disukai dari Era Kuno hingga Abad Pertengahan? - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2024-11-04.