Pembantaian Qibya
Pembantaian Qibya ialah salah satu serangan Israel yang dirancang untuk “mendorong” orang-orang Palestina melarikan diri yang terjadi di Qibya, suatu desa dengan penduduk 2000 orang di perbatasan Yordania. Penyelidikan lebih lanjut di tempat kejadian yang dilakukan oleh beberapa pengamat dengan jelas mengungkap bagaimana pembantaian terjadi.
Pembantaian Qibya, yang terjadi pada 13 Oktober 1953, meliputi penghancuran 40 rumah dan pembunuhan 96 orang sipil, sebagian besar di antara mereka wanita dan anak-anak. Unit “101” ini dipimpin oleh Ariel Sharon, yang kelak menjadi Perdana Menteri Israel. Sekitar 600 tentaranya mengepung desa itu dan memutuskan hubungannya dengan seluruh desa Arab lainnya. Begitu memasukinya pada pukul 4 pagi, para tentara unit 101 mulai secara terencana memusnahkan rumah-rumah dan membunuh penduduk-penduduknya. Sharon yang kalem, yang langsung memimpin serangan tersebut, mengumumkan pernyataan berikut setelah pembantaian: “Perintah telah dilaksanakan dengan sempurna: Qibya akan menjadi contoh untuk semua orang."
Dr. Yousif Haikal, duta besar Yordania untuk PBB pada saat itu, menerangkan pembantaian ini dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB:
- "Orang-orang Israel memasuki desa dan secara terencana membunuh seluruh penghuni rumah, dengan menggunakan senjata-senjata otomatis, granat, dan bom bakar; lalu mendinamit rumah yang ada penghuninya… Empat puluh rumah, sekolah desa, dan sebuah waduk dihancurkan. Dua puluh dua ternak dibunuh dan enam toko dijarah."
Jurnal Katolik terkenal The Sign, yang diterbitkan di Amerika Serikat, juga melaporkan pembantaian massal yang dilakukan selama serangan ini. Editor Ralph Gorman menerangkan pemikirannya sebagai berikut: “Teror menjadi sebuah senjata politik Nazi. Namun Nazi tidak pernah menggunakan teror dengan cara yang lebih berdarah dingin dan tanpa alasan seperti yang dilakukan Israel dalam pembantaian di Qibya."
Orang-orang yang kemudian datang ke tempat pembantaian ini menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Sebagian besar mayat mengalami luka tembak di belakang kepala, dan banyak yang tanpa kepala. Bersama orang-orang yang tewas di bawah reruntuhan rumah mereka, banyak wanita-wanita dan anak-anak tak berdosa yang juga dibunuh secara brutal.