Penaklukan Altishahr oleh Zunghar

Penaklukan Altishahr oleh Zunghar adalah peristiwa sejarah berupa pengambilalihan kekuasaan di Altishahr (Cekungan Tarim) yang dilakukan oleh Kekhanan Zunghar penganut Buddha Tiber di Zungharia dengan cara menaklukkan dan menundukkan Kekhanan Chagatai yang dipimpin oleh Genghis. Penaklukan ini menjadikan Kekhanan Chagatai berakhir.

Penaklukan Altishahr oleh Zunghar
Tanggal1678-1680
LokasiCekungan Tarim (Altishahr)
Hasil Kemenangan Zunghar
Perubahan
wilayah
Altishahr (Cekungan Tarim) masuk dalam Kekhanan Zunghar
Pihak terlibat
Kekhanan Zunghar
Afāqi Āfāqiyya Aq taghliq (Gunung Putih) Tarekat Naqsyabandiyah Khoja (Khwāja)
Kekhanan Turpan
Kekhanan Kumul
Kekhanan Chagatai (Kekhanan Yarkent)
Ishaq Ishaqiyya Qara taghliq (Gunung Hitam) Tarekat Naqsyabandiyah Khoja (Khwāja)
Tokoh dan pemimpin
Galdan Boshugtu Khan[1]
Dalai Lama Ke-5
Afaq Khoja
Khan Yarkand Ismail Khan (Ismā'il Khan)  (POW)
Pangeran Bābak Sultān  
Pasukan
120.000 orang Zunghar
Muslim Turkik Afaqi
Muslim Turkik Turpan dan Kumul
Tentara Muslim Turkik Chagatai
Zungharia (Merah) dan Cekungan Tarim (Biru)
Xinjiang Utara (Cekungan Zunghar) (Kuning), Xinjiang Timur-Depresi Turpan (Prefektur Turpan dan Hami, Merah), dan Cekungan Tarim (Biru)
Peta fisik yang menunjukkan pemisahan Zungharia dan Cekungan Tarim oleh Tian Shan

Penaklukan sunting

 
Kekhanan Zunghar (c.1750) (dalam garis batas biru)
 
Peta tahun 1616 yang menunjukkan Oirat di Zungharia dan Kekhanan Chagatai di Cekungan Tarim
 
Peta tahun 1689 yang menunjukkan Kekhanan Zunghar setelah menaklukkan Kekhanan Chagatai di Cekungan Tarim
 
Peta tahun 1757 menunjukkan kampanye militer melawan Zunghar dan pengamanan Xinjiang (1755-1759)

Orang-orang Muslim Turkik yang menempati Cekungan Tarim awalnya dikuasai oleh Kekhanan Chagatai, sementara orang-orang Oirat nomaden di Zungharia menguasai Kekhanan Zunghar.

Oirat Zunghar dipimpin oleh Sengge menyerang Kekhanan Chagatai pada masa pemerintahan Abdullah Khan.[2]

Orang-orang Khoja Tarekat Naqsyabandiyah, keturunan Nabi Muhammad, menggantikan Khan Chagatai sebagai penguasa Cekungan Tarim pada awal abad ke-17. Di kalangan Khoja sendiri ada dua faksi yang memperebutkan kekuasaan, yaitu faksi Afaq (Gunung Putih) dan Ishaq (Gunung Hitam). Faksi Ishaq mengalahkan Afaq.

Ketika Afaq Khoja melarikan diri ke Lhasa, ia meminta Dalai Lama Ke-5 untuk membantu faksinya mengambil alih kekuasaan Cekungan Tarim (Kashgaria).[3] Pemimpin Zunghar, Galdan, kemudian diminta oleh Dalai Lama untuk mengembalikan posisi Afaq Khoja sebagai penguasa Kashgaria.[4] Afaq Khoja berkolaborasi dengan Zunghar Galdan untuk menaklukkan Cekungan Tarim tahun 1678-1680 dan menempatkan Afaq Khoja sebagai penguasa boneka.[5][6][7][8][9] Dalai Lama ke-5 mendukung penaklukan Galdan atas Cekungan Tarim dan Turpan.[10] Dalai Lama Ke-5 memperoleh rampasan perang yang disita dari orang-orang Muslim dari Galdan Khan Zunghar. Orang-orang Muslim itu disebut "sesat" oleh mereka.[11]

Qarataghlik (Gunung Hitam) mempropagandakan anti-Afaq Khoja. Atas tindakannya mengundang invasi dan berkuasanya Zunghar, Afaq Khoja dipandang sebagai kaki tangan pengkhianat oleh beberapa nasionalis Uighur, sementara orang-orang Uighur lainnya masih menghormati ia dan makamnya, serta memuliakan Afaq sebagai seorang suci.[12]

Kekuasaan Zunghar atas Altishahr sunting

"Sekarang kita masuk pada kebangkitan bangsa Zunghar atau Kalmuk, ras Mongol yang kemudian berdiam di Hi dan wilayah sekitarnya. Di bawah pimpinan Khan Haldan Bokosha, salah satu tokoh yang luar biasa dari masa itu, kekuasaan mereka membentang ke Siberia di utara dan ke Kucha, Karashahr dan Kunya-Turpan di selatan. Haldan memberontak melawan Tiongkok, tapi kalah mutlak.

Keponakan dan penggantinya, Tse Wang Rabdan, memerintah dari Hami di timur hingga Khokand di barat, dan, hingga ia dibunuh pada tahun 1727, adalah penguasa Zunghar yang paling kuat. Bangsa Mongol Torgut melarikan diri ke tepi sungai Volga karena takut padanya. Sir Henry Howorth memberikan keterangan yang menarik mengenai hubungan antara Tse Wang dan Rusia, yang dari keterangan ini terlihat bahwa Peter yang Agung, yang tertarik dengan rumor mengenai emas di Turkestan Timur, mengirim 3000 orang melintasi Irtysh menuju Yarkand, tetapi bangsa Zunghar menyerang mereka dan memaksa mereka mundur.

Kembali pada keluarga Khoja, anggota keluarga itu yang paling terkenal adalah Hidayat Ulla, yang dikenal sebagai Hazrat Apak "Yang Mulia Adanya," pemimpin Ak Taulin, yang dianggap sebagai Nabi setelah Muhammad. Setelah diusir dari Kashgar, ia berlindung di Lhassa, tempat Dalai Lama berteman dengannya dan menyarankan ia untuk mencari bantuan pada bangsa Zunghar. Pada tahun 1678 bangsa Zunghar merebut Kashgar, yang terus dalam kekuasaan mereka selama bertahun-tahun, dan Hazrat Apak memerintah sebagai wakil Khan, dengan membayar upeti setara dengan £62.000 setiap tahun. Di usia tuanya, sang orang suci pensiun dari kehidupan duniawi untuk menghabiskan sisa hidupnya di antara para pengikutnya." - Sir Percy Sykes dan Ella Sykes. Sykes, Ella dan Percy Sykes. (1920) Through deserts and oases of Central Asia. London. Macmillan dan Co. Limited. hlm 270-271.

Khan Zunghar, Galdan, memulai invasinya dari Cekungan Tarim tahun 1680. Bangsa Zunghar menerima bantuan pasukan dari Hami dan Turpan, yang mengirim tentara untuk bergabung dengan 120.000 orang kuat Zunghar dalam invasi itu. Pasukan Oirat Zunghar dan sekutu-sekutunya di faksi Gunung Putih kemudian dengan mudah menaklukkan Tarim, mengalahkan dan membunuh Pangeran Chagatai Bābak Sultān, putra dari pemimpin Chagatai, Isma'il Khan. Kashgar dan Yarkand jatuh ke tangan bangsa Zunghar dan mereka membunuh Panglima Chagatai Yiwazibo Beg. Bangsa Zunghar menangkap dan mendeportasi keluarga kerajaan Chagatai dari Isma'il Khan ke Ili.[13]

Raja Chagatai ʿAbdur Rashid Khan II dipilih sebagai penguasa boneka oleh Galdan, tetapi, Afaq Khoja segera menimbulkan masalah dan perselisihan antara Afaq dan ʿAbdur Rashid berujung pada pengasingan Afaq kedua kalinya. ʿAbdur Rashid juga diasingkan di Ili setelah terjadi kekerasan di Yarkand tahun 1682 dan ia digantikan oleh Muhammad Amin yang merupakan adiknya. Qing Tiongkok menerima upeti dari Muhammad Amin melalui Turpan dua kali, tahun 1690-an Sang Mughal menerima utusan Amin, dan tahun 1691 Muhammad Amin meminta tebusan pembebasan dari "orang-orang kafir Qirghiz" (orang-orang Zungjar) ketika Khan Subhān Quli dari Bukhara menerima utusannya, ini adalah upaya Muhammad Amin meminta negara-negara asing itu (Qing Tiongkok, Mughal India, dan Bukhara) untuk membantu melawan pemberontakan Zunghar untuk mendapatkan kembali kemerdekaan mereka.[14]

Pendukung Gunung Putih Afaq Khoja memberontak dan membunuh Muhammad Amin pada tahun 1694 dan merebut kekuasaan di bawah pimpinan Yahya Khoja, putra Afaq Khoja, tapi kekuasaan Afaq hanya selama dua tahun sebelum terjadi pemberontakan yang mengakibatkan keduanya, Afaq dan Yahya Khoja, terbunuh. Muhammad Mu'min, adik ʿAbdur Rashid lainnya, diangkat sebagai Khan tahun 1696, tetapi orang-orang Beg dari Kashghar dan bangsa Kyrgyz mengadakan pemberontakan dan menggulingkan Muhammad Mu'min melalui penyerangan di Yarkand. Kemudian, bangsa Zunghar diminta untuk campur tangan oleh orang-orang Beg di Yarkand. Sehingga, bangsa Zunghar lalu mengalahkan orang-orang Kyrgyz dan menghabiskan kekuasaan Chagatai dengan menempatkan Mirzā 'Alim Shah Beg sebagai penguasa di Yarkand.[15]

Sejak 1680 bangsa Zunghar berkuasa di Tarim, dengan menggunakan Chagatai sebagai boneka mereka selama 16 tahun lebih. Bangsa Zunghar menggunakan sistem penyanderaan atau penahanan untuk berkuasa di Cekungan Tarim, dengan menahan atau menyandera di Ili baik putra-putra sang pemimpin, seperti putra-putra Khoja dan Khan, maupun sang pemimpin itu sendiri. Meskipun kebudayaan dan agama Uighur tidak diganggu, bangsa Zunghar meeksploitasi mereka secara substansial ekonomis.[16]

Bangsa Uighur dibebani dengan beberapa pajak oleh penguasa Zunghar yang memberatkan dan ditetapkan dengan jumlah tertentu, yang bahkan tidak mampu mereka bayar. Pajak-pajak itu termasuk pajak pelestarian air, pajak penarikan hewan, pajak buah, pajak perorangan, pajak tanah, pajak pohon dan rumput, pajak emas dan perak, dan pajak perdagangan. Pada masa kekuasaan Galdan, setiap tahun Zunghar memperoleh penghasilan pajak sebesar 67.000 tanga perak dari orang-orang Kashgar, pajak lima persen yang dikenakan pada pedagang asing dan sepuluh persen yang dikenakan pada pedagang Muslim, pajak buah dari orang-orang yang memiliki kebun, pajak tembaga dan perak dari para. Setiap tahun Zunghar memperoleh 100.000 tanga perak dari pajak di Yarkand dan dari perampasan ternak, pewarna, perdagangan, serta pajak emas atas ketiganya. Zunghar memperoleh 700 tael emas, dan juga kapas, tembaga, dan kain, dari enam wilayah, terdiri atas Keriya, Kashgar, Khotan, Kucha, Yarkand, dan Aksu seperti yang dinyatakan oleh ahli topografi Rusia, Yakoff Filisoff. Zunghar mengambil lebih dari 50% dari hasil panen gandum Muslim menurut Qi-yi-shi (Chun Yuan), 30-40% dari hasil panen gandum Muslim menurut Xiyu tuzhi, yang disebut pajak sebagai "rampasan" dari orang-orang Islam. Orang-orang Zunghar juga mengambil paksa pajak tambahan atas kapas, perak, emas, dan barang-barang dagangan dari para Muslim, selain pajak resmi. Jika mereka tidak puas dengan yang mereka terima, mereka akan memperkosa kaum perempuan, serta menjarah dan mencuri properti dan ternak. Kalung emas, berlian, mutiara, dan batu-batu mulia dari India diambil paksa dari orang-orang Uighur di bawah kepemimpinan Dāniyāl Khoja oleh Tsewang Rabtan ketika putrinya menikah.[17]

Ketika orang-orang Zunghar memungut pajak orang Alban nomaden tradisional dari orang-orang Muslim Altishahr, orang-orang Muslim tersebut memandang hal itu sebagai pembayaran jizyah (pajak secara tradisional diambil dari non-Muslim oleh Muslim penakluk).[18]

Orang-orang Uighur dikenal sebagai tariyachin diperbudak dan terpaksa pindah ke Ili dan bagian lain Zungharia untuk dipekerjakan di lahan-lahan pertanian oleh bangsa Zunghar. Orang-orang Zunghar memberi hukuman berat bagi orang-orang Muslim yang mencoba melarikan diri dan memandang rendah bangsa Uighur.[19] Bangsa Zunghar memaksa petani Muslim Turkik yang menjadi tawanan mereka untuk pindah dari Xinjiang selatan (Altishahr) ke Xinjiang utara (Zungharia) untuk bekerja di pertanian-pertanian di Ili, sehingga bangsa Zunghar memperoleh hasil lebih dari pertanian-pertanian itu.[20][21]

Kaum pedagang Uighur (Boderge) memainkan peran penting dalam perdagangan sebagai perantara antara orang-orang asing dengan para bangsawan Zunghar, tetapi mereka tetap dipandang rendah dan "dianggap budak" oleh bangsa Zunghar. Qianlong mengatakan, "Selama masa kejayaan bangsa Zunghar, mereka (bangsa Uighur) dipekerjakan seperti budak, dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka sebelumnya untuk pindah ke Ili dan membuat saluran air untuk mengairi sawah. Mereka melayani dan membayar pajak tanpa keringanan. Selama bertahun-tahun mereka menyembunyikan kebencian!"[22]

Sebagian besar elite Zunghar, seperti bangsawan, pemuka agama, dan para pejabat yang diuntungkan dari perampasan milik orang lain, makan enak dan berpakaian bagus, dan kuil-kuil spektakuler dibangun. Sementara itu, orang-orang Zunghar kalangan bawah tetap dalam kemiskinan. Sistem "penindasan rasial dan kasta" oleh bangsa Zunghar pada orang-orang Uighur yang menyebabkan Uighur melawan kekuasaan Zunghar.[23]

Kekalahan Zunghar dari Qing terjadi bersamaan dengan perlawanan anti-Zunghar dari rakyat bawah Uighur, "banyak dari mereka, tidak mampu menanggung penderitaan mereka, yang seperti hidup dalam lautan api, melarikan diri tetapi tidak dapat menemukan tempat untuk hidup dengan damai." Bangsa Uighur melakukan "tindakan perlawanan" seperti menyembunyikan barang-barang yang dikumpulkan sebagai pajak atau secara keras menolak para pengumpul pajak Oirat Zunghar, tapi hal ini jarang terjadi dan pihak oposisi anti-Zunghar tidak bertambah. Lawan-lawan penguasa Zunghar, seperti bangsa Uighur dan beberapa pembangkang Zunghar melarikan diri dan membelot ke Qing di Tiongkok dalam periode 1737-1754 dan memberikan keterangan-keterangan mengenai Zunghar pada pihak Qing. ʿAbdullah Tarkhan Beg dan orang-orang Uighur Hami membelot dan menyerahkan diri pada Qing Tiongkok setelah Qing mengalahkan dan menghancurkan Zunghar yang dipimpin oleh Galdan dalam pertempuran Jao Modo pada bulan September 1696.[24]

Pemimpin Uighur, Amin Khoja dari Turpan, memberontak terhadap Zunghar tahun 1720 saat Zunghar di bawah pimpinan Tsewang Rabtan diserang oleh Qing. Kemudian Amin juga membelot dan menyerahkan diri pada Qing. Bangsa Uighur di Kashgar di bawah pimpinan Yusuf dan kakaknya Jahān Khoja dari Yarkand memberontak terhadap Zunghar tahun 1754, tapi Jahān ditawan oleh Zunghar setelah ia dikhianati oleh Xiboke Khoja dari Uighur Uch-Turpan dan Ayyūb Khoja dari Uighur Aksu. Kashgar dan Yarkand diserang oleh 7.000 orang Uighur Khotan yang dipimpin oleh Sādiq, putra Jahān Khoja. Bangsa Uighur membantu penyerangan Qing terhadap Zunghar di Ili tahun 1755, yang terjadi bersamaan dengan pemberontakan Uighur terhadap Zunghar. Orang-orang Uighur, seperti Amin Khoja, ʿAbdul Mu'min dan Yusuf Beg membantu serangan Qing terhadap Dawachi, sang Khan Zunghar.[25] Khojis Beg (Huojisi) dari Uighur Uch-Turpan membantu Panglima Qing, Ban-di, dengan memperdaya Davachi dan menahannya. Qing dan Amin Khoja serta putra-putranya bekerja sama untuk mengalahkan Zunghar yang di bawah pimpinan Amursana.[26]

Dari abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18, semua wilayah antara Tiongkok dan Transoxania berada di bawah kekuasaan Zunghar. Di Semirechye, bangsa Kyrgyz dan Kazakah diusir secara paksa oleh Zunghar dan Kekhanan Kashgar ditaklukkan. Tetapi, Kekaisaran Zunghar ditumpas oleh Qing Tiongkok dari tahun 1755 hingga 1758 melalui sebuah penyerangan hebat, yang mengakhiri ancaman bahaya oleh Zunghar terhadap negara-negara Asia Tengah.[27]

Referensi sunting

  1. ^ Noda Jin; Onuma Takahiro (2010). "A Collection of Documents from the Kazakh Sultans to the Qing Dinasty". Central Eurasaian Research Series. Tokyo: The University of Tokyo. hlm. 91. 
  2. ^ Ma Dazheng (2003). "7: The Tarim basin". Dalam Adle, Chahryar; Habib, Irfan. History of Civilizations of Central Asia (dalam bahasa bahasa Inggris). V: Development in contrast: from the sixteenth to the mid-nineteenth century. UNESCO Publishing. hlm. 184. ISBN 92-3-103876-1. 
  3. ^ Millward 2007, hlm. 86.
  4. ^ Millward 2007, hlm. 87.
  5. ^ Millward 2007, hlm. 88.
  6. ^ Starr 2004, hlm. 50.
  7. ^ Kim 2008, hlm. 117.
  8. ^ Newby 1998, hlm. 279.
  9. ^ Johan Elverskog (06-06-2011). Buddhism and Islam on the Silk Road. University of Pennsylvania Press. hlm. 225–. ISBN 0-8122-0531-6. 
  10. ^ Millward 2007, hlm. 90.
  11. ^ Th. Zarcone, Irfan Habib, Y. Ishihama, J.S. Grewal, C.E. Bosworth, & J. Calmard (2003). "Religious movements". Dalam Adle, Chahryar; Habib, Irfan. History of Civilizations of Central Asia (dalam bahasa bahasa Inggris). V: Development in contrast: from the sixteenth to the mid-nineteenth century. UNESCO Publishing. hlm. 791. ISBN 92-3-103876-1. 
  12. ^ Rian Thum (13-10-2014). The Sacred Routes of Uyghur History. Harvard University Press. hlm. 230. ISBN 978-0-674-96702-1. 
  13. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 191-192.
  14. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 192.
  15. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 192-193.
  16. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 193.
  17. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 196-197.
  18. ^ Kim 2008, hlm. 175.
  19. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 197.
  20. ^ Bellér-Hann 2007, hlm. 26.
  21. ^ Millward 2007, hlm. 118.
  22. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 198.
  23. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 198-9.
  24. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 199.
  25. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 200.
  26. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 201.
  27. ^ Adle & Habib 2003, hlm. 334.

Bibliografi sunting