Penaklukan Hispania oleh Umayyah

Penaklukan Hispania oleh Umayyah (711718) dimulai saat pasukan Kekhalifahan Umayyah, sebagian besar terdiri dari Muslim Berber dari Afrika Barat Laut menyerang Hispania (sekarang Iberia; Portugal dan Spanyol) yang dikuasai oleh Kristen Visigoth pada tahun 711. Penaklukan ini terjadi saat masa pemerintahan Khalifah Al-Walid I di Damaskus, dan dipimpin oleh Jenderal Tariq bin Ziyad (670 - 720). Pasukan Umayyah mendarat di Gibraltar pada 30 April 711, dan lalu bergerak ke arah utara. Satu tahun berikutnya, atasan Thariq yang bernama Musa bin Nushair bergabung dengan pasukannya. Kampanye militer ini berjalan sekitar 8 tahun, dan hasilnya sebagian besar Semenanjung Iberia berhasil dikuasai umat Islam kecuali daerah-daerah kecil di sebelah barat daya (Galisia dan Asturias) serta daerah-daerah Basque di daerah Pirenia. Daerah-daerah taklukan ini kemudian disebut Al-Andalus, dan menjadi bagian dari kekhalifahan Umayyah yang terus berkembang.

Latar belakang sunting

Al-Andalus[1] atau Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal termasuk selatan Prancis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada zaman khalifah Bani Umayyah, Al-Walid bin 'Abdul Malik (705-715), di mana tentakel Islam sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari Bani Umayyah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara ini terjadi pada masa 'Abdul Malik bin Marwan (685-705), di mana dia mengangkat Hasan bin An-Nu'man menjadi gubernur di daerah itu. Selanjutnya dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair. Pada masa ini, Hasan bin An-Nu'man sudah digantikan oleh Musa bin Nushair, yang kemudian memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko. Selain itu, ia juga menyempurnakan penaklukan ke daerah-daerah bekas kekuasaan bangsa Barbar di pegunungan-pegunungan, sehingga mereka menyatakan setia dan berjanji tidak akan membuat kekacauan-kekacauan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Sedangkan penaklukan atas wilayah Afrika Utara ini, dari pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu provinsi dari Khilafah Bani Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai tahun 660 (masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan) sampai tahun 705 (masa Al-Walid I). Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan kerajaan Visigoth. Kerajaan ini sering menghasut penduduk agar membuat kerusuhan dan menentang kekuasaan Bani Umayyah. Setelah kawasan ini betul-betul dapat dikuasai, umat Islam mulai memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan Spanyol. Dengan demikian, Afrika Utara menjadi batu loncatan bagi kaum muslimin dalam penaklukan wilayah Al-Andalus.

Tharif bin Malik dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang, lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Yulianus, mantan penguasa wilayah Ceuta. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif ibn Malik ini serta adanya kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigoth yang berkuasa di Semenanjung Iberia pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa bin Nushair pada tahun 711 mengirimkan lagi pasukan ke Al-Andalus sebanyak 7.000 orang di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad.

Futuhat sunting

Thariq bin Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Moor yang didukung oleh Musa bin Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah Al-Walid I. Pasukan ini kemudian menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad, dan menguasai sebuah gunung dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq), kemudian di daerah ini membuat pertahanan serta tempat menyiapkan pasukan untuk memulai penaklukan. Dalam pertempuran yang dikenal dengan Pertempuran Guadalete, Raja Roderikus dapat dikalahkan. Dari situ Thariq bin Ziyad dan pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting, seperti Corduba, Granata dan Toletum (ibu kota Visigoth saat itu). Sebelumnya, Thariq bin Ziyad menaklukkan kota Toletum, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa bin Nushair di Afrika Utara, yang kemudian mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5.000 personel, sehingga jumlah pasukan Thariq bin Ziyad seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum sebanding dengan pasukan Visigoth yang jauh lebih besar, 100.000 orang.

Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq bin Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa bin Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan tersebut. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyeberangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukkannya. Setelah Musa bin Nushair berhasil menaklukkan Asidonia, Carmo, Hispalis, dan Emerita Augusta serta mengalahkan penguasa kerajaan Goth lainnya, Theodomirus dari Auraiola, ia bergabung dengan Thariq bin Ziyad di Toletum. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Caesaraugusta sampai Navarra.

Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz pada tahun 717. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar Pegunungan Pirenia dan Prancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada As-Samh bin Malik Al-Khaulani, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 721. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada 'Abdur Rahman al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordeaux, Poitiers, dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, di antara kota Poitiers dan Tours itu, ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Prancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.

Sesudah itu, masih juga terdapat penyerangan-penyerangan, seperti ke Avignon (tahun 734), ke Lyon (tahun 743), dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, Mallorca, Korsika, Sardegna, Kreta, Rhodos, Siprus dan sebagian dari Sisilia juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah. Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan kaum Muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh menjangkau Prancis Tengah dan bagian-bagian penting dari Italia.

Faktor penentu sunting

Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam tampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan.

Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Visigoth sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Iberia terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothik bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Iberia dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.

Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Berkenaan dengan itu Syed Ameer Ali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika Timur dan Barat menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan, tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan besi penguasa Visigoth. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakkan. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam pada tahun 711. Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Visigoth berdiri.

Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Iberia, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Iberia masih berada di bawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah berada di bawah kekuasaan kerajaan Visigoth, perekonomian Iberia lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan telantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.

Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Roderikus, Raja Visigoth terakhir yang dikalahkan Islam. Awal kehancuran kerajaan Visigoth adalah ketika Raja Roderikus memindahkan ibu kota negaranya dari Hispalis ke Toletum, sementara Vitiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toletum, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achilla, kakak dan anak Vitiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderikus. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum Muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderikus dengan Graf Yulianus, mantan penguasa wilayah Septa. Yulianus juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Iberia. Yulianus bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Thariq dan Musa.

Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderikus yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.

Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum Muslimin itu menyebabkan penduduk Iberia menyambut kehadiran Islam di sana.

Kronologi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "Andalus, al-" Oxford Dictionary of Islam. John L. Esposito, Ed. Oxford University Press. 2003. Oxford Reference Online. Oxford University Press. Diakses 12 Juni 2006.

Lihat pula sunting