Pengguna:Altair Netraphim/Bookmark4
Manfaat Pisang Batu – Pisang merupakan tanaman yang sangat mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-sehari. Pisang banyak dikonsumsi karena memiliki kandungan gizi yang lengkap dan harganya relatif murah. Indonesia menempati urutan keenam sebagai negara penghasil pisang di dunia (The Food and Agriculture Organization, 2012; Suhartono, 2012). Selain itu, pisang merupakan komoditas yang paling banyak dihasilkan di dunia setelah padi, beras, dan gandum (Miller et.al, 2010; Manzo-Sanchez et.al, 2015).
Tanaman pisang ornamental maupun konsumsi dapat ditemukan dengan mudah di berbagai habitat dan memiliki banyak manfaat bagi manusia. Pisang merupakan tumbuhan perenial dengan tinggi 2–9 meter yang tersebar luas di Asia Tenggara, Papua Nugini, dan India; selanjutnya tersebar luas di Afrika, Amerika Latin, dan wilayah Pasifik. Tanaman pisang menempati posisi sentral masyarakat di wilayah Pasifik karena merupakan sumber makanan, minuman, gula fermentasi, obat, tali pengikat, dan banyak digunakan dalam upacara keagamaan (Nelson et.al, 2006).
[caption id="attachment_75356" align="aligncenter" width="280"] Pisang batu, Musa balbisiana (Si Gam/Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International).[/caption]
Salah satu jenis pisang liar yang keberadaannya masih mudah kita jumpai adalah pisang batu (bahasa Indonesia), pisang klutuk (bahasa Jawa), utti batu (bahasa Bugis) atau memiliki nama ilmiah M. balbisiana dengan sinonim M. bracycarpa/M. sapientum (Sulistiyaningsih, 2016). Pisang batu paling banyak dimanfaatkan sebagai pembungkus berbagai jenis makanan tradisional karena memiliki daun yang tidak mudah robek. Menurut Harijati et.al (2013), struktur anatomis daun pisang batu seperti banyaknya jumlah serat yang terdapat di daerah adaksial dan tebalnya daun membuat daun pisang batu menjadi tidak mudah robek.
Selain daun, beberapa bagian dari tanaman pisang batu dimanfaatkan sebagai bahan makanan seperti batang muda, buah muda, jantung pisang, dan bonggolnya. Pisang tersebut di Yogyakarta dibuat sebagai campuran rujak, sedangkan buah muda pisang ini juga digunakan sebagai tambahan dalam rujak cingur atau rujak uleg (tumbuk) di Jawa Timur.
Fungsi buah pisang batu sebagai pelengkap bumbu penyedap disebabkan rasa sepatnya menambah cita rasa (Damiati et.al, 2014). Jantung pisang ini di daerah Bali dimanfaatkan sebagai bahan campuran lawar, sedangkan di Sulawesi Selatan diolah menjadi makanan sejenis lawar/lawa dan campuran makanan tradisional yang disebut dengan kapurung (Komalasari et.al, 2016; Adriani, 2015).
Pisang batu telah lama digunakan sebagai pembungkus makanan tradisonal yang ramah lingkungan dan potensinya sebagai campuran berbagai jenis makanan, di beberapa daerah pisang batu juga digunakan untuk pengobatan. Buah muda pisang batu digunakan untuk terapi pengobatan sakit lambung di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Hastuti et.al, 2019), getah batang semu pisang batu di Kalimantan Timur digunakan untuk mengobati diabetes (Sunandar 2017), dan buahnya di daerah Jawa Timur digunakan untuk obat diare (Hapsari et.al, 2017).
Selain manfaat yang telah disebutkan di atas, kandungan beberapa senyawa kimia di dalam pisang batu juga memiliki potensi sebagai pelancar air susu ibu (ASI), antibakteri, antimalaria, dan antioksidan. Oleh karena itu, artikel ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tambahan bagi masyarakat mengenai pemanfaatan pisang batu dan potensi pengembangannya pada masa yang akan datang.
Tinjauan Botani
suntingKarakter morfologis pisang batu: A–F Klutuk hijau (A) Batang berwarna hijau dengan bercak coklat; (B) Getah berwarna merah keunguan; (C) Saluran kanal daun ketiga saling menutup; (D) Pangkal daun keduanya membulat; (E) Braktea di jantung membuka; (F) Buah mentah dengan biji. Karakter morfologis Kluthuk wulung: G–I (G) Braktea membuka; (H) Batang semu, tangkai daun, dan ibu tulang daun berwarna ungu tua; (I) Buah matang berwarna kuning (Hapsari, 2014).[/caption] Pisang batu tumbuh liar di pinggiran kebun atau hutan, terutama daerah terbuka, lereng gunung, ruang terbuka sepanjang jalan, dan halaman belakang rumah penduduk (Hastuti et.al, 2019). Pisang batu memiliki tinggi 3–6 meter dengan ukuran sedang hingga besar, batangnya berwarna hijau muda dengan bercak coklat (Gb. A); getahnya berwarna merah keunguan (Gb. B); tangkai daunnya memiliki panjang 45–60 cm, berwarna hijau dengan saluran kanal daun saling tumpang tindih atau saling menutup (Gb. C); serta permukaan atas daunnya hijau dan mengkilap, sedangkan di permukaan bawah daunnya hijau muda dan tidak mengkilap, ibu tulang daun di bagian atas dan bawah berwarna hijau dengan pangkal daun membulat di kedua pangkalnya (Gb. D).
Jantung ovoid berlilin, braktea berwarna merah keunguan di permukaan luar dan merah muda di permukaan dalam. Ujung beraktea tumpang tindih dengan ujung berwarna kuning (Gb. D); braktea tidak memutar sebelum jatuh atau membuka (Gb. E); bunganya tersusun dalam dua baris, warna tebal bebas putih, memiliki lima stamen, filamen berwarna putih dengan ovarium berwarna krem.
Tangkai buah berwarna hijau dan tidak memiliki rambut. Panjang buah 6–13 cm, jumlah buah 13–16 dalam dua baris, ujung buah tumpul tanpa sisa bunga. Warna kulit buah mentah hijau dan kuning setelah matang. Buah tidak mudah lepas dari tangkai setelah matang. Biji berwarna coklat, bulat dengan permukaan kasar (Gb. F).
Sebelumnya, dilaporkan jika pisang batu memiliki keragaman terbatas, tetapi banyak penelitian terbaru menunjukkan spesies ini memiliki variabilitas infraspesifik yang baik (Deka et.al, 2019). Terdapat dua jenis pisang batu yang dikenal di Indonesia, yaitu pisang batu/pisang klutuk/pisang klutuk hijau dan pisang klutuk wulung (lihat gambar di atas). Perbedaan antara pisang klutuk dengan klutuk wulung adalah adanya bercak berwarna ungu di batang semu, tangkai daun, dan ibu tulang daun yang berwarna ungu tua-hitam. Wulung dalam bahasa Jawa berarti "ungu" (Hapsari, 2014).
Suprayogi & Novianti (2016) melaporkan variasi morfologis pisang batu di Kabupaten Kuantan Sangingi, Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperoleh enam aksesi pisang batu, yaitu Aceh, Bungo, Kara, Jambi, Nipah dan Beluluk. Hasil analisis fenogram menunjukkan keenam varietas tersebut memiliki koefisien similaritas berkisar antara 63–89%. Nilai similaritas tersebut menunjukkan hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Artinya, keenam aksesi yang ditemukan masih tergolong satu spesies, meskipun ditemukan adanya variasi morfologis.
Menurut Singh (1999), nilai dari fenogram yang dihasilkan dapat digunakan untuk menentukan hierarki klasifikasi. Ambang batas kemiripan 85% merupakan batas kesamaan spesies, 65% merupakan batas kesamaan genus, dan 45% merupakan batas kesamaan famil. Selain menggunakan karakter morfologis, penentuan level spesies tertentu sebaiknya juga didukung dengan penggunaan karekter lain seperti karakter anatomis, fisiologis, dan molekuler.
Variasi morfologis yang ditemukan di penelitian tersebut, yaitu di tegakan daun, panjang tangkai daun, rasio daun, dan warna punggung daun yang masih menggulung. Keberadaan rambut di tangkai tandan bervariasi, ada yang tidak berambut dan ada yang agak berambut. Karakter tidak berambut ditemukan di pisang batu aceh, pisang batu nipah, dan pisang batu jambi, sedangkan karakter agak berambut ditemukan di pisang batu beluluk, pisang batu bungo, dan batu kara.
Hasil penelitian yang berbeda dilaporkan oleh Poerba & Ahmad (2013) di 25 aksesi pisang batu yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia (Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Sumatra Barat) dengan menggunakan pendekatan molekuler random amplified polymorphic DNA (RAPD) dan inter-simple sequence repeat (ISSR). Hasil penelitian tersebut menunjukkan keragaman genetik di 25 aksesi pisang batu yang diteliti relatif rendah dengan koefisien kesamaan genetik antara 0,81–0,99. Artinya, aksesi di 25 pisang batu yang diuji masih memiliki keragaman genetik yang rendah.
Pemanfaatan Pisang Batu
sunting[caption id="attachment_75428" align="aligncenter" width="371"] Bagian dalam pisang batu (Warut Roonguthai/Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported).[/caption] Bagian dari pisang batu yang biasanya digunakan dalam pengobatan, yaitu daun, biji, kulit buah, getah, dan bonggol. Kandungan fitokimia di setiap organ pisang batu berbeda-beda. Daun pisang batu yang diuji dengan ekstrak ethyl asetat dengan menggunakan metode kromatografi GC-MS menunjukkan adanya senyawa 2-Methoxy4-vinylphenol, Phytol, Vanillin, E-15-Heptadecenal, dan 1,2-Benzenedicarboxylic acid, bis (2-ethylhexyl) ester (Mastuti & Handayani, 2014).
Senyawa 2-Methoxy4-vinylphenol memiliki beberapa sinonim seperti Phenol,4- ethenyl-2-methoxy dan p-Vinylguaiacol. Senyawa ini termasuk dalam golongan senyawa fenol. Jeong (2011) menyatakan senyawa ini dapat berperan sebagai anti inflamasi, sedangkan hasil uji fitokimia pada sampel segar batang pisang batu menunjukkan keberadaan senyawa alkaloid, steroid, terpenoid, fenolik, dan flavonoid (Nugroho, 2016).
Hasil uji skrining fitokimia pada ekstrak etanol buah pisang batu ditemukan adanya kandungan senyawa steroida atau triterpenoida, glikosida, saponin, tannin, flavonoid, polifenol, monoterpenoid, dan kuinin (Hepni, 2017). Adapun hasil analisis kandungan fitokimia kulit pisang batu dengan menggunakan tiga pelarut, yaitu etanol, methanol, dan aseton menunjukkan adanya kandungan flavonoid, tannin, saponin, alkaloid, fitosterol, glikosida, fenol, dan terpenoid (Kibria et al, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat diketahui beberapa potensi pisang batu, yaitu sebagai pelancar ASI, antimikroba, antimalaria, dan antioksidan.
1. Sebagai Pelancar Air Susu Ibu (ASI)
suntingSelama ini, daun katuk dikenal sebagai makanan tambahan bagi ibu menyusui. Daun katuk dipercaya mampu meningkatkan jumlah produksi ASI. Namun, beberapa penelitian menunjukkan pemberian bunga jantung pisang batu antara 200–300 gr/hari selama tujuh hari kepada ibu menyusui dapatmeningkatkan jumlah produksi dan kualitas ASI (Wahyuni et.al, 2012; Wahyuningsih et.al, 2017).
Jantung pisang batu mengandung laktagogum yang berperan merangsang kerja hormon oksitoksin dan prolactin. Dalam 100 gr bunga jantung pisang batu memiliki 31 kcal kalori, 30 mg kalsium, 1,26 gr protein170 IU Vit A, 10 mg vitamin C, 50 gr fosfor, dan 0,4 gr flavonoid. Flavonoid di dalam bunga pisang berperan sebagai antiprogesteron kelenjar mamae dan memengaruhi prolactin dalam menstimulasi produksi ASI.
Pada saat bayi menghisap puting susu ibu, reflek hormon prolactin bekerja mengakibatkan terjadinya stimulasi neurohormonal di daerah puting dan areola ibu. Selanjutnya, rangsangan tersebut diteruskan ke hipofisis melalui nervos vagus, kemudian ke lobus anterior yang akan menstimulasi keluarnya hormon prolactin, masuk ke peredaran darah, dan akan sampai di kelenjar-kelenjar pembuat ASI. Kelenjar ini akan terangsang untuk menghasilkan ASI (Murtiana, 2011).
2. Antibakteri
suntingInfeksi merupakan gangguan kesehatan manusia yang paling umum dijumpai. Salah satu penyebab infeksi yang paling umum adalah bakteri, yaitu Staphylococcus aureus dan Escherchia coli. Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh infeksi S. aureus adalah bisul, jerawat, pneumonia, meningitis dan infeksi saluran kemih, sedangkan penyakit yang dapat diakibatkan oleh E. coli adalah infeksi saluran kemih, diare, sepsis, dan meningitis (Jawetsz, et.al, 2018 ).
Sejumlah perusahaan farmasi terus mengembangkan obat antibiotik yang mengakibatkan beberapa mikroorganisme menjadi resisten terhadap antibiotik. Resistensi mikroorganisme terhadap obat antibiotik ini menyebabkan banyak peneliti kemudian beralih mengembangkan penelitian antimikroba dari bahan alam karena dianggap lebih sesuai dan efektif (Karrupiah & Mustaffa, 2013).
Berdasarkan beberapa penelitian, diketahui ekstrak pisang batu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Esherchia coli. Salah satu bagian pisang batu yang menunjukkan ativitas antibakteri adalah bagian bonggol. Bonggol pisang merupakan bagian yang terdapat di dalam tanah. Bonggol pisang merupakan batang sejati yang belum banyak dimanfaatkan. Bonggol pisang hanya dibiarkan begitu saja setelah buah pisang dipanen.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2019) menunjukkan jika pemberian ekstrak etanol bonggol pisang klutuk wulung memiliki aktivitas antibakteri penyebab infeksi luka. Aktivitas antibakteri terlihat pada penghambatan pertumbuhan S. epidermidis, tetapi tidak terjadi daya hambat pada bakteri E. coli. Hasil penelitian berbeda dilaporkan oleh Duppa (2019) dengan menggunakan ekstrak etanol kulit buah pisang batu terhadap pertumbuhan S. auereus dan E. coli. Ekstrak etanol kulit buah pisang memberikan daya hambat terhadap pertumbuhan S. aureus dan E. coli.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syamsuddin (2018) yang melaporkan pemberian getah pisang batu juga menghambat pertumbuhan S. aureus. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan, akan semakin besar pula zona hambat yang terbentuk (Karrupiah & Mustaffa, 2013). Hasil penapisan fitokimia pada pisang batu menunjukkan terdapat senyawa flavonoid, saponin, tanin, antrakuinon, dan kuinon. Setiap kandungan senyawa aktif memiliki aktivitas antibakteri dengan mekanisme yang berbeda (Kusuma et.al, 2018).
Tanin mempunyai aktivitas antibakteri melalui aksi molekulernya, yaitu dengan membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik. Selain itu, tanin memiliki kemampuan menginaktifkan adhesi sel bakteri dan enzim dan mengganggu perpindahan protein di lapisan dalam sel. Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri dengan cara mengganggu fungsi metabolisme bakteri dengan merusak dinding sel dan mendenaturasi protease sel bakteri.
Saponin, kuinon, dan antrakuinon dapat menghemolisis sel dengan cara meningkatkan permeabilitas membran, sehingga menyebabkan gangguan metabolisme energi dan pertumbuhan bakteri. Selain itu, saponin juga bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan sel bakteri yang berakibat naiknya permeabilitas atau mengakibatkan kebocoran sel, sehingga senyawa intrasel akan keluar. Saponin juga berperan dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri, sehingga menyebabkan sel bakteri lisis.
3. Antimalaria
suntingMalaria merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium dengan gajala berupa demam, anemia, dan pembesaran limpa. Malaria merupakan suatu penyakit berupa infeksi akut maupun kronik yang disebabkan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah (Harijanto, 2018).
Hasil uji fitokimia kulit pisang menunjukkan adanya kandungan bahan aktif berupa flavoloid, alkaloid, tanin, saponin, dan triterpenoid. Senyawa tanin diketahui memiliki aktivasi intermediate untuk menyerang Plasmodium. Hasil penelitian Sumarawati (2010) menunjukkan terjadi penurunan parasitemia pada pemberian ektrak kulit pisang klutuk dengan konsentrasi 50,75 dan 100% pada mencit Balb/C yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei.
Tanin diketahui merupakan inhibitor protease yang dapat melawan parasit malaria, sehingga menjadi target penelitian antimalaria terkini. Tanin yang dikonsumsi secara oral masuk ke dalam sirkulasi darah dan bekerja pada fase aseksual eritrositer, sehingga dapat menghambat plasmodium dalam menginfeksi eritrosit. Oleh karena itu, terjadi penurunan destruksi eritrosit dan penurunan invasi pada eritrosit baru, sehingga dapat menurunkan jumlah pasitemia mencit Balb/C yang diinfeksi P. berghei.
Berkurangnya destruksi eritrosit menyebabkan hemolisis eritrosit juga berkurang dan terjadi pengurangan gangguan darah seperti anemia, trombositopenia, hemoglobinuria, dan akhirnya dapat menghambat komplikasi yang lebih berat (Asres et.al, 2001).
4. Antioksidan
suntingKanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menyerang masyarakat Indonesia dan menjadi satu penyebab kematian tertinggi. Kanker merupakan salah penyakit akibat gangguan pertumbuhan jaringan sel-sel yang tidak normal, berkembang dengan cepat, dan tidak terkendali. Salah satu zat yang diketahui dapat menghambat penyebaran sel kanker adalah antioksidan. Antioksidan diperlukan untuk mencegah stres oksidatif.
Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh. Stres oksidatif memengaruhi terjadinya proses penuaan dan berbagai penyakit degeneratif, seperti kanker. Flavonoid dan fenol merupakan antioksidan (Nishantini et.al, 2012).
Kebutuhan oksidan alami sangat dibutuhkan, sebab antioksidan sintetik menunjukkan beberapa efek samping seperti alergi, asma, sakit kepala, dan penurunan kesadaran. Salah satu sumber antioksidan alami dapat ditemukan di dalam buah, kulit, dan biji pisang batu. Hasil penelitian Imam (2011) menunjukkan aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH di pisang batu.
Bagian biji memiliki aktivitas paling tinggi, yaitu sebesar 54.92 mikro-gram/ml, sedangkan hasil penelitian Saha (2013) menunjukkan aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH di daun sebesar 39 mikro-gram/ml. Menurut Palupi (2019), hasil dari uji antioksidan ini berupa nilai IC50 sebesar 21 merupakan tingkat kategori antioksidan sangat kuat.