Pengguna:Hadithfajri/Bak pasir

Lemniskat Bernoulli, satu di antara banyak kurva lemniskat (kurva yang berbentuk lambang tak hingga yang serupa pita).

Tak hingga adalah sesuatu yang tiada berbatas maupun berpenghujung, atau sesuatu yang lebih besar dari sebarang batas yang ditetapkan [1] Tak hingga sering dilambangkan dengan simbol .

Dalam percakapan sehari-hari orang dapat mengartikan tak hingga sebagai "sesuatu yang lebih besar dari segala yang mungkin". Sehingga kadang kata tak hingga digunakan untuk menerangkan benda hingga namun seakan berterusan tak henti-henti atau sukar untuk menghitungnya. Kadang pula orang bergurau tentang sesuatu yang lebih besar dari tak hingga, katakanlah tak hingga tambah satu[2]. Tetapi dalam matematika bilangan seperti itu terdefinisi dalam sistem bilangan tertentu, seperti bilangan transfinit.

Banyak kata dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk menunjukkan maksud tak hingga. Kata ketakhinggaan, ketakberhinggaan, ketakterhinggaan, ketidakberhinggaan semuanya memiliki maksud yang sama [2]. Ada juga ungkapan dalam bahasa Melayu klasik yang dapat dimaknai sebagai tak hingga, di antaranya adalah "tiada tepermanai", "tiada terkira-kira", dan "tiada terhisabkan" [3]. Ananta [4] juga menunjukkan makna tak hingga, dan juga memiliki penggunaan dan arti tertentu dalam Agama Hindu [5]

Hakikat tak hingga telah menjadi pokok pembahasan antar para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Semenjak lambang tak hingga [6] dan kalkulus infinitesimal dikenalkan pada abad ke-17, barulah para matematikawan mulai menelaah deret tak hingga dan infinitesimal—apa yang dianggap oleh sebagian matematikawan (termasuk l'Hôpital dan Bernoulli) [7] sebagai kuantitas yang teramat-sangat kecil, namun tak hingga tetap saja saat itu masih dikaitkan dengan rangkaian proses yang tiada berakhir. [8] Saat para matematikawan sedang bersitungkin menetapkan dasar-dasar kalkulus, masih belum jelas apakah tak hingga dapat dianggap sebagai bilangan atau kadar besaran, dan jikalau iya, bagaimana penyelesaiannya.[6] Di penghujung abad ke-19, Georg Cantor memperbesar lingkup kajian matematika dengan mengkaji himpunan tak hingga dan bilangan tak hingga, yang menujukkan bahwa terdapat banyak tak hingga dengan berbagai ukuran. [6][9] Sebagai contoh, jika suatu garis dipandang sebagai himpunan semua titik-titiknya, maka bilangan tak hingga himpunan ini (dengan kata lain, kardinalitas dari garis tersebut) lebih besar daripada banyaknya bilangan bulat.[10] Dalam penggunaan sedemikian, tak hingga adalah konsep matematis, dan tak hingga sebagai objek matematika dapat dipelajari, dimanipulasi, dan dipergunakan sebagaimana objek matematika lainnya.

Konsep matematis tak hingga memperhalusi dan memperluas konsep filosofis yang telah ada, khususnya dengan meperkenalkan bahwa ada sebanyak tak hingga himpunan tak hingga dengan ukuran yang berbeda-beda. Antara aksioma-aksioma dalam teori himpunan Zermelo–Fraenkel, yang paling dapat mengembangkan matematika modern, adalah aksioma tak hingga, yang menjamin keberadaan himpunan tak hingga.[6] Konsep matematis dari tak hingga dan manipulasi terhadap himpunan tak hingga dipakai di mana-mana bidang dalam matematika, termasuk dalam bidang seperti kombinatorika yang seakan-akan tiada berkaitan dengan tak hingga. Sebagai contoh, pembuktian profesor Wiles untuk Teorema Terakhir Fermat secara tersiratnya bergantung pada keberadaan himpunan tak hingga yang teramat besar [11] agar persoalan aritmetika dasar yang sudah lama dipertanyakan itu dapat diselesaikan.

Dalam fisika dan kosmologi, pertanyaan apakah alam semesta itu tak terhingga masih belum terjawab.

Rujukan

sunting
  1. ^ Kartasasmita, Bana G.; Ansjar, M.; Martono, Koko; Irawati, Irawati (1993). Kamus Matematika : matematika dasar (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ISBN 978-979-459-017-1. 
  2. ^ a b Sabirin, Muhamad (2016-05-18). "Konsep Ketakhinggaan dalam Matematika". EDU-MAT: Jurnal Pendidikan Matematika (dalam bahasa Inggris). 2 (1). doi:10.20527/edumat.v2i1.581. ISSN 2597-9051. 
  3. ^ Zain, Shaharir bin Mohamad (2012). Istilah dan Konsep Pengukuran Tradisional Alam Melayu (Penerbit USM) (dalam bahasa Melayu). Penerbit USM. ISBN 978-983-861-670-6. 
  4. ^ (Indonesia) Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia "Arti kata ananta pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan". Diakses tanggal 2020-03-3. 
  5. ^ Kardika, I. Nyoman (2020-07-02). "Tattwa Siwa Siddhanta Indonesia dalam Teologi Hindu". Sphatika: Jurnal Teologi. 10 (1): 37–45. doi:10.25078/sp.v10i1.1525. ISSN 2722-8576. 
  6. ^ a b c d Allen, Donald (2003). "The History of Infinity" (PDF). Texas A&M Mathematics. Diakses tanggal 2019-11-15. 
  7. ^ Jesseph, Douglas Michael (1998). "Leibniz on the Foundations of the Calculus: The Question of the Reality of Infinitesimal Magnitudes". Perspectives on Science. 6 (1&2): 6–40. ISSN 1063-6145. OCLC 42413222. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 February 2010. Diakses tanggal 1 November 2019. 
  8. ^ Status ontologi dari infinitesimal ketika itu masih belum jelas. Hanya sebagian matematikawan menganggap infinitesimal sebagai kuantitas yang lebih kecil (dalam kadar besarannya) dibanding sebarang bilangan positif. Sebagian yang lainnya memandang infinitesimal baik sebagai artefak yang memudahkan perhitungan atau sebagai kuantitas yang kecil yang terus-menerus diperkecil sehingga mencapai limitnya.[butuh rujukan]
  9. ^ Gowers, Timothy; Barrow-Green, June; Leader, Imre (2008). The Princeton Companion to Mathematics. Princeton University Press. hlm. 616. ISBN 978-0-691-11880-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-03.  Extract of page 616 Diarsipkan 2016-05-01 di Wayback Machine.
  10. ^ Maddox 2002, pp. 113–117
  11. ^ McLarty, Colin (2010). "What does it take to prove Fermat's Last Theorem? Grothendieck and the logic of number theory". The Bulletin of Symbolic Logic. 16 (3): 359–377. doi:10.2178/bsl/1286284558.