I'am Koessame
DAERAH ISTIMEWAH KALIMANTAN BARAT PONTIANAK
Inilah postingan saya kali ini yang bertolak kembali pada masa terjadinya Kota Pontianak Kalimantan Barat untuk hadia persebahan HUT KOTA PONTIANAK yang ke 240 tahun. hem..mungkin ini hanyalah sejarah basi kalau saja pengunjung yang membacanya adalah orang – orang tua pada jaman itu hehehehehehe,,tapi mungkin juga sebaliknya jika yang membacanya adalah orang – orang diluar Kal-Bar atau masih baru menginjak usia remaja khususnya di dalam Kal-Bar atau juga yang selama hidupnya sama sekali tidak pernah tau sejarah terjadinya Kota Pontianak. Ya langsung pada pokoknya ajah ni,tidak usah berleha-leha lagi kwkwkwkwkwkwkwkw..
Terjadinya Kota Pontianak yang kalau dirujuk kembali pada awal mulanya menurut info sejarah yang saya dapati itu ialah dimulanya pada empat orang pemuda penduduk asal Trim Hadralmaut, tepatnya itu di Negri Arab nun jauh disana. Masing – masing dari mereka bernama Ma Al Habib Husin yang merupakan ayah dari Sultan Syarif Abdurachman yang pada saat itu masih berusia 18 tahun dan beserta rekan – rekannya yang antara lain bernama Al Syayid Abubakar Idrus, Al Syayid Umar Husain Alsegaf dan Al Syayid Mochamad Quraisy yang sudah sama – sama bersepakat memenuhi anjuran guru pengajiannya untuk pergi merantau keluar negri Arab guna mensyi’arkan agama Islam dengan bertujuan ke daerah bagian timur dimana disana terdapat negri – negri yang subur, tanah yang banyak ditumbuhi pepohonan – pepohonan yang menghijau.
Setelah keluarnya ke empat pemuda asal Trim Hadralmaut tersebut dari Arab , maka Negri yang pertama kali disinggahinya ialah Trengganu, Malaysia. Di sana ke empat pemuda tersebut berpisah – pisah dengan tujaunnya masing – masing, Al Syayid Umar Husain Alsegaf masuk ke Siak, Malaysia dengan mengajarkan Agama Islam, Al Syayid Mochamad Bin Achmad Quraisy memilih untuk menetap di Trengganu, Malaysia guna mengajar Syariat Islam.
Sedangkan untuk kedua pemuda lainnya Al Syayid Abubakar Idrus dan Ma Al Habib Husin bertolak menuju Aceh, Indonesia. Di Aceh itu mereka mengajar Hukum Syara’ Islam dan Syiar Agama Islam. TidaK berapa lama lalu mereka berpisah lagi disana, Al Syayid Abubakar Idrus memilih menetap disana dan sedangkan Al Habib Husin melanjudkan tujuannya terus kearah timur dan menuju ke daerah Betawi, Indonesia selama 7 bulan lamanya, lalu terus ke Semarang, Indonesia hingga disana Beliau bertemu dengan seseorang bernama Syekh Salim Hambal dan tinggal bersamanya disana selama kurang lebih 2 tahun lamanya.
Setelah 2 tahun tinggal bersama Syekh Salim Hambal di Semarang, Al Habib Husin bermaksud keluar melanjudkan kembali perjalanannya terus kearah Timur memenuhi petunjuk gurunya tadi dimana pada daerah yang banyak tumbuhnya pohon – pohon kayu hijau, maka disanalah beliau akan menetap dan mengajarkan Syari’at Islam disana. Sebelum Al Habib Husin meninggalkan Semarang, beliau dianjurkan Syekh Salim Hambal untuk sebaiknya menuju ke Negri Matan Kalimantan Barat, karna Negri Matan itupun letaknya disebelah timur dan tanahnya juga cukup terbilang subur sesuai seperti yang dimaksudkan guru pengajian Al Habib Husin tersebut.
Maka tanpa sungkan – sungkan lagi beliaupun langsung menuju ke Negri Matan bersama – sama Syekh Salim Hambal sesuai anjurannya tadi. Sesampainya disana, beliau bertemu dengan orang yang bernama Syayid Hasyim Bin Yahya, beliau dikenal sebagai ornag yang pemberani dan jika beliau berjalan senantiasa membawa tongkat besi yang beratnya kira – kira 8 kati. Ciri khas dari pada Syayid Hasyim juga dikenal sebagai rakyat Matan sebagai “Tuan Janggut Merah”, dikarnakan beliau senang memelihara janggutnya dengan memberi pacar (warna/pirang) sehingga janggutnya berwarna merah dan juga dikenal sebagai orang yang cukup fanatik.
Kedatangan Al Habib Husin di ketahui oleh Raja dari Kerajaan Matan, hingga sang Raja pun bermaksud menjamu Al Habib Husin sebagai awal perkenalan serta penghormatan untuk mengajar Syi’ar Agama Islam pada Negrinya. Setelah semua para undangan kerajaan dating berrkumpul dan duduk bersama Majelis di Istana Kerajaan Matan, maka dengan lazimnya sebuah undangan kerajaan diangkatlah tempat sirih sebagai adat istiadat kerajaan.
Pada tempat sirih beserta perlengkapannya juga terdapat Kacip berbentuk kepala burung guna untuk membelah pinang pada waktu itu. Syayid Hasyim setelah melihat Kacip tersebut sebagai seorang yang fanatisme, ia seketika mengambilnya lalu dipatah – patahkannya Kacip tersebut dengan tangannya sendiri. Melihat perbuatan Syayid Hasyim (Tuan Janggut Merah) tadi, Raja berserta Majelis undangan dan Al Habib Husin pun kelihatan bermuram wajahnya. Lalu tanpa diduga – duga para Majelis, Al Habib Husin membuat sekapur sirih dari tempat kapur tersebut sambil berdo’a dan mengambil Kacip yang sudah terpatah- patah tadi kemudian diusap – usapkannya dengan sirih tersebut hingga dengan Rahmad Allah Ta’ala sekejap Kacip itupun kembali utuh seperti semula.
Semua isi kerajaan merasa takjub dan gembira melihat apa yang dilakukan Al Habib Husin, dan penjamuanpun berlanjud hingga selesai dengan penuh hikmat. Dan setelah itu Al Habib Husin dan Syayid Hasyim pun beserta Majelis undangan kembali pada rumahnya masing – masing, Raja beserta Mentri – mentri kerajaan Matan langsung membicarakan apa yang terjadi antara Al Habib Husin dan Syayid Hasyim. Raja bersabda kepada para Mentri “bagaimana pendapat kalian tentang Syayid Hasyim yang walaupun ia telah lama tinggal di sini tetapi karna terlampau fanatic sehingga banyak merusak di dalam negri. Berlainan dengan Al Habib Husin, walaupun ia baru dating akan tetapi ia dapat membuktikan dengan cara memperbaiki Kacip yang rusak tadi. Oleh karna itu wahai para Mentri, manlah yang lebih baik untuk kita ikuti dan kita tiru ajarannya?” maka oleh Mentri – mentri menjawab, “sebaiknya kita mengikuti ajaran La Habib Husin saja”.
Kemudian atas kesepakatan Raja Matan beserta Para Mentri, kemudian Raja Matan menyerahkan jabatan Mufti Peradilan Agama pada Al Habib Husin sekalian mengajarkan dan menyebarkan Syari’at Agama Islam di Negri Matan. Pada masa kedudukannya memangku jabatan Mufti peradilan agama, Al Habib Husin diakui memang benar – benar adil dan jujur sesuai dengan ajaran Agama Islam, maka oleh karna itu Raja oun beserta rakyat Matan merasa sangat menghormati dan segan kepada Al Habib Husin .
Tidak lama kemudian Al Habib Husin dikawinkan oleh Raja Matan kepada putrinya yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai anak perempuan yang pertama bernama Syarifah Khatdijah, anak kedua laki –laki bernama Syarif Abdurrachman, ketiga bernama Syarifah Aluyah, dan yang ke empat laki – laki bernama Syarif Alwi.
Menurut cerita Al Habib Husin di Negri Matan telah tiga kali menikah, tatapi tidak pernah dimanui istri – istrinya melainkan perkawinan itu dikenal sebagai istilah “Ganti Tikar”. Dari istri yang ke dua dan ke tiga, beliau dikaruniai 6 orang anak. Selama dalam memangku sebagai jabatan Mufti Peradilan Agama di Kerajaan Matan, namanya terus tersebar luas hingga kesetiap kerajaan – kerajaan lain, sehingga sampailah pada saatnya tiba suruhan dari Raja Mempawah Kalimantan Barat Sultan Mpu Daeng Menambon untuk meminta Al Habib Husin agar mau berpindah ke Mempawah mengajarkan Syari’at Islam disana.
Namun permintaan tersebut belum dapat diterima Al Habib Husin karna alasan ia masih bertanggung jawab di Kerajaan Matan dan juga merasa dirinya sangat dikasihi disana. Tetapi pada suatu waktu datanglah sebuah perahu lancang dari Siantan berlabuh ke Negri Matan dengan nakhodanya yang bernama Achmad untuk berdagang disana.
Kedatanggan Achmad disana namun telah didapati perlakuan yang tidak terpuji terhadap seorang wanita dengan menodainya, hingga marahlah Raja Matan tersebut kepadanya, dan oleh perbuatan Nakhoda Achmad Raja Matan ingin menjatuhkan hukuman pancung mati terhadapnya, namun mengingat bahwa Sang Raja Matan telah menyerahkan tanggung jawab Mufti Peradilan Agama kepada Al Habib Husin, perkara Nakhoda Achmad pun diserahkannya kepada Al Habib Husin.
Oleh Al Habib Husin ia memutuskan hukuman untuk Nakhoda Achmad bukanlah hukuman Pancung Mati melainkan hanyalah denda dengan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan guna diserahkan kepada Raja Matan dan Nakhoda Achmad juga disuruh bertobat serta memohon ampun kepada Raja Matan, yakni sebagai hokum Ta’zir.
Keputusan Al Habib Husin diterima oleh Raja Matan meski pun itu sangatlah bertentangan dengan keinginannya untuk menjatuhkan hukauman pancung mati ke pada Nakhoda Achmad. Setelah Nakhoda Achmad melakukan semua perintah yang diberikan Al Habib Husin, ia pun memohon izin untuk kembali ke Negri Siantan. Namun sungguh disayangkan, tanpa sepengetahuan Al Habib Husin, Raja Matan ternyata memerintahkan dua orang nakhoda dengan dua buah kapal perahunya beserta dengan laskar – laskarnya untuk mengikuti dan melaksanakan niatnya menyerang perahu Nakhoda Achmad hingga disebuah Muara Kayang Matan ia pun tewas terbunuh.
Kejadian tersebut namun justru diketahui oleh Al Habib Husin dan hal itu telah membuatnya kecewa, hingga pada saat itu Al Habib Husin memutuskan untuk menulis surat ke pada Kerajaan Mempawah yang dipegang Sultan Mpu Daeng Menambon dengan maksud menerima permintaan Sutan Kerajaan Mempawah yang sempat tertunda untuk meminta Al Habib Husin hijrah kemempawah guna mengajarkan Syari’at Islam disana. Dalam surat yang tertulis itu, Al Habib Husin mengajukan permintaan agar dibuatkan untuknya sebuah rumah dan Surau yang terletak di Kuala Mempawah dipenghabisan pepohonan Nipah.
Setelah Raja Mpu Daeng Menambon menerima surat dan beserta maklum akan isinya untuk memenuhi permintaan Al Habib Husin tentan pembuatan rumah dan Surau (Langgar), maka Raja Mpu Daeng Menambon pun turun sendiri beserta iringan anak cucu dan mentri – mentri Kerajaan Mempawah untuk mencari lokasi yang telah dihajatkan Al Habib Husin dalam suratnya, dan ditemukanlah suatu tempat tersebut yang dimana terdapatnya penghabisan Pohon Nipah, dan oleh tempat itu diberilah nama “Galah Hirang” dengan serta merta pembangunan rumah dan surau yang telah selesai. Maka Oleh Raja Mpu Daeng Menambon segera menyuru kedua perahu besar dari Mempawah Kalimantan Barat ke Negri Matan untuk menjemput Al Habib Husin.
Setibanya para suruhan Raja Mpu Daeng Menambon di terima dengan baik oleh Al Habib Husin di Matan, dan berangkatlah ia dari Matan ke Mempawah pada tahun 1160 pada delapan hari bulan Muharam dengan 5 perahu yaitu 2 perahu besar dari Mempawah dan 3 perahu yang mengantar dari Negri Matan. Menurut cerita Al Habib Husin melakukan perpindahannya setelah kurang lebih 17 tahun lamanya ia tinggal di Negri Matan dan Hijrah ke Negri Mempawah, yang pada saat itu Sutan Pertama kita di Pontianak yaitu Syarif Abdurachman belumlah sampai pada usia dewasanya, dalam sejarah tertulis Syarif Abdurachman lahir pada tahun 1742 H.
Setelah Sultan Syarif Abdurachman berusia 18 belas tahun, Ayahnya Al Habib Husin bermaksud meminangkannya dengan anak Sultan Mpu Daeng Menambon yang bernama Utin Tjandramidi. Didalam cukilan cerita tentang pinangan Al Habib Husin kepada Putri Raja Mempawah, Utin Tjandramidi merasakan enggan menerima pinangan Al Habib Husin atas dirinya, namun Raja Mempawah Sultan Daeng Menambon selaku ayah dari Putri Djandramidi merasa segan untuk menolaknya mengingat hal bahwa Al Habib Husin adalah seorang guru Agama Islam yang sangat dihormati keberadaanya, ia akhirnya dengan kebijakannya Sultan Mpu Daeng Menambon mencoba mencari alasan dengan mengajukan persyaratan berupa Maharnya sebanyak 1000 pahar (tempat hidangan makan).
Diluar dugaan Sultan Mpu Daeng Menambon atas permintaan Mahar 1000 Pahar yang diajukannya itu, ternyata dapat dipenuhi oleh Al Habib Husin kepadanya, hingga terkejutlah Sultan Daeng Menambon atas terpenuhinya persyaratan yang diajukannya tadi. Karna itu merupakan sebuh janji kepada Al Habib Husin maka wajiblah bagi Sultan Daeng Menambon memenuhinya karna barang yang telah dipinta sebagai syaratnya telah terpernuhi dan oleh karna itu pinangan Al Habib Husin pun diterima Raja Mempawah Sultan Mpu Daeng Menambon dan Syarif Abdurachman pun dinikahkan pada Putri Utin Tjandramidi.
Selama kediaman Al Habib Husin di Mempawah, Putranya Syarif Abdurachman selalu melakukan perjalanannya dengan merantau kesetiap – tiap daerah bagian Indonesia yaitu Pulau Tamblan, Pulau Siantan, Palembang dan Banjar.
Di Banjar Syarif Abdurachman menikah lagi dengan Putri Sultan Saat yang bernama Ratu Syah Ranun dan oleh Sultan Saat Di Negri Banjar, Syarif Abdurachman diangkat menjadi Pangeran Syarif Abdurachman Nur Alam. Setelah kepergiannya di Banjar selama 2 tahun, Syarif Abdurachman kembali lagi ke Negri Mempawah, kemudian berangkat lagi ke Banjar selama 4 tahun lamanya baru pulang ke Mempawah, dan setibanya di Mempawah Syarif Abdurachman mendapati ayah andanya Al Habib Husin telah Wafat pada Hijrah Sunnah 1184 tahun WAW tiga hari Julhijah pukul dua Arba’a dengan pemakamannya di Mempawah Kampung Galahirang.
Tidak lama itu tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah, Syarif Abdurachman beserta saudar – saudarnya bermusyawarah, antara lain ialah saudaranya yang bernama Syarif Alwi, Syarif Abubakar dan Syarif Hamid Ba’bud, yang bertujuan untuk keluar dari Negri Mempawah dalam mencar tempat kediaman yang baru. setelah permufakatan disetujui, maka berangkatlah Syarif Abdurachman beserta Saudara dan para rombongan pengikutnya dengan mengunakan 14 perahu yang bernama “KAKAP” menyelusuri sebuah sungai yang didalam cerita itu sungai yang pertama kali diselusurinya ialah Sungai Peniti Kalimantan Barat.
Pada waktu Zohor tiba, sampilah rombongan Syarif Abdurrachman tersebut pada suatu Tanjung mereka melaksanakan Ibadah Sholat Zohor dan melakukan penginapan semalam, yang pada tempat itu sekarang di kenal masyarat dengan sebutan Kelapa Tinggi Segedong. Syarif Abdurrachman dalam penginapannya semalam di Segedong, ia mendapati alamat pertanda yang tidak baik, bahwa katanya tempat itu tidaklah baik untuk dijadikan tempat tinggal. Maka rombongan memutuskan melanjutkan perjalanannya keluar menyusuri Sungai Peniti mudik kehulu. Menurut cerita dimana sebuah tanjung tempat Syarif Abdurrachman beserta rombongan itu melaksanakan Ibadah Sholat Zohor, tanjung itu kenal dengan “Tanjung Dhohor”.
Dalam perjalanan menyelusuri Sungai besar (Sui Kapuas Kal-Bar) menuju kehulu Syarif Abdurachman menemukan sebuah pulau dimana pula itu sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Pulau “Batu Layang” dimana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrachman beserta keturunannya dimakamkan. Sampai pada pulau tersebut Syarif Abdurrachman beserta rombongan mulai mendapatkan ganguan dari hantu yang disebut – sebut dengan Hantu Pontianak, dengan kejadian tersebut Syarif Abdurrachman memerintah para pengikutnya agar menembak/memerangi Hantu tersebut dengan 7 Meriam yang terbuat dari batu hingga pergilah Hantu – hantu Pontianak itu, jatuhnya peluru meriam yang melewati tiga Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak yakni tempat itu dikenal masyarakat dengan nama Kampung Beting Kalimantan Barat.
Selanjudnya rombongan Syarif Abdurrachman pun melanjudkan perjalanan dengan menyusuri Sungai Kapuas pada subuh hari 14 Rajab 1185 Hijriah atau pada tanggal 23 Oktober 1771 mereka sampai pada sebuah simpang tiga (Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak) dimana tempat itu yang menjadi tanda jatuhnya peluru Meriam yang ditembakan rombongan tersebut guna mengusir Hantu Pontianak. Setelah pukul 5 pagi, Syarif Abdurrachman dan rombongan naik kedaratan untuk menebas/membuka lahan baru guna mendirikan tempat kediamannya dan tempat itulah yang diberinama Pontianak, yang berhasil ditebas/dibuka selama 8 hari. Hutan itulah yang dewasa ini sebagai tempat berdirinya Istana Keraton Sultan Pontianak dan Majid Jami’ Pontianak Kalimantan Barat.
Latar belakang dan sejarah mengapa Syarif Abdurrachman Nur Syah Alam memutuskan membuat tempat di persimpangan sungai Landak dan Kapuas Besar/Kecil tidaklah lain dikarnakan Beliau meyakini tempat tersebut akan dapat menjadi sebuah perkembangan Kota Perdagangan dan Pelabuhan, dengan usaha Syarif Abdurrachman serta dengan kebijakannya beliau membangun Negri Pontianak ini hingga banyaklah pendatang – pendatang yang berkunjung, bukan hanya dari perhuluan melainkan dari Kerajaan – kerajaanlain dari seluruh Nusantara yang sekarang kita khususnya masyarakat Pontianak yang telah menempati lahan yang sebelumnya hutan namun kini menjadi kota (Kota Pontianak) berkat keberhasilan Syarif Abdurrachman yang mengaturnya dari awal hingga kini dapat kita nikmati bersama – sama.
Pada cerita Hijrah Sannah tahun 1192 delapan hari bulan Sya’ban hari senin, dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Kalimantan Barat dengan gelar Syarif Abdurrachman Ibnu Al Habib Husin Al Kadrie.
Selanjutnya 2 tahun kemudian setelah Sultan Syarif Abdurrachman Ibnu Al Habib Husin Al Kadrie dinobatkan menjadi Kerajaan Pontianak, maka pada Hijrah sanah 1194 bersamaan tahun 1773, masuklah dominasi kolonialis Belanda dari Batavia (Betawi) utusannya Peter (Assisten Residen) dari Rembang bernama Willem Ardinpola, dan mulai pada masa itu bangsa Belanda berada di Pontianak, Bangsa Belanda itu bertempat di seberang Keraton Pontianak yang terkenal dengan nama Tanah Seribu (Verkendepaal).
yang selanjudnya terus berkembang hingga pada tanggal 5 Juli 1779, 0.1. Compagnie Belanda membuat perjanjian (Politiek Contract) dengan Sultan Pontianak tentang penduduk Tanah Seribu (Verkendepaal) untuk dijadikan tempat kegiatan bangsa Belanda, dan seterusnya menjadi tempat/kedudukan Pemerintah Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo lstana Kadariah Barat), dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asistent Resident Kepala Daerah Kabupaten Pontianak) dan selanjutnya Controleur het Hoofd Onderaffleeling van Pontianak/ Hoofd Plaatselijk Bestur Van Pontianak (bersamaan dengan Kepatihan) membawahi Demang Het Hoofd Der Distrik Van Pontianak (Wedana) Asistent Demang Het Hoofd Der Onderdistrik Van Siantan (Ass. Wedana/ Camat) dan wafatnya Sultan Syarif Abdurrachman Ibnu Al Habib Husin Al Kadrie pada tanggal 28 Februari 1808.
Berikut adalah daftar urutan Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat:
1. Syarif Abdurrachman Al Kadrie memerintah dari tahun 1771-1808
2. Syarif Kasim Al Kadrie memerintah dari tahun 1808-1819.
3. Syarif Osman Al Kadrie memerintah dari tahun 1819-1855.
4. Syarif Hamid Al Kadrie memerintah dari tahun 1855-1872.
5. Syarif Yusuf Al Kadrie memerintah dari tahun 1872-1895.
6. Syarif Muhammad Al Kadrie memerintah dari tahun 1895-1944.
7. Syarif Thaha Al Kadrie memerintah dari tahun 1944-1945.
8. Syarif Hamid Al Kadrie memerintah dari tahun 1945-1950.