Pengguna:Kris Simbolon/Sang Naualuh Damanik

Sang Naulauh Damanik
Raja Siantar XIV
PendahuluTuan Mapir Damanik
(Raja Siantar XIII)
PenerusTuan Waldemar (Riah Kadim) Damanik gelar Tuan Naga Huta
(Raja Siantar XV)
KelahiranSangma Damanik
(1871-04-24)24 April 1871[a]
Rumah Bolon, Pamatang Siantar, Partuanon Siantar
Kematian9 Februari 1913(1913-02-09) (umur 41)[b]
Senggoro, Bengkalis, Riau
Pemakaman
Senggoro, Bengkalis, Riau
Makam Raja Siantar 1°28′10.05″N 102°7′28.3″E / 1.4694583°N 102.124528°E / 1.4694583; 102.124528
Pasangan
  • Dorainim br. Purba Dasuha
  • Sorialim br. Purba
  • Sarmailim br. Saragih
  • Puang Bolon br. Saragih
Keturunan
  • dari Dorainim br. Purba Dasuha:
    • Riah Kadim Damanik
  • dari istri lainnya:
    • Jontiaman Damanik
    • xxx Damanik
    • xxx Damanik
  • dari Puang Bolon br. Saragih:
    • Sarmahata Damanik
Nama lengkap
Tuan Sang Naualuh Damanik
1882—1906[c]
WangsaPartuanon Siantar
AyahTuan Mapir Damanik gelar Raja Na i Parsuroan
IbuRumainim br. Saragih
AgamaIslam (sejak 1901)

Tuan Sang Naualuh Damanik adalah penguasa Partuanon Siantar ke-14. Ia dikenal sebagai penguasa Simalungun pertama yang memeluk agama Islam. Karena posisinya yang menentang kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda, Sang Naualuh ditangkap dan ditahan pada tahun 1906. Dua tahun setelahnya, ia diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Pulau Bengkalis. Sang Naualuh tetap berada di pengasingan hingga akhir hidupnya.

Kehidupan awal

sunting
 
Rumah Bolon Pamatang Siantar tempat Sang Naualuh dilahirkan. Rumah Bolon ini terbakar pada tahun 1919 dan akhirnya digantikan oleh bangunan beton yang dibangun Belanda untuk Raja Siantar.[1]

Sang Naualuh Damanik lahir pada 1857 di Rumah Bolon Pamatang Siantar. Ia diberi nama Sangma Damanik. Pada tahun 1880, ayahnya, Tuan Mapir Damanik, meninggal dunia. Saat itu, Sangma Damanik masih belum cukup umur untuk memerintah Partuanon Siantar, sehingga kekuasaan Partuanon Siantar dijalankan oleh pemangku raja, yakni Tuan Anggi yang bernama Raja Itam Damanik dan dibantu oleh Bah Bolag.

Masa pemerintahan

sunting

Penobatan

sunting

Pada sekitar tahun 1888, Sang Naualuh diangkat menjadi penguasa Partuanon Siantar. Awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda mengakui Sang Naualuh Damanik sebagai penguasa Partuanon Siantar. Sebelumnya, Belanda sudah pernah mengeluarkan besluit yang isinya berupa pengakuan oleh para pemangku raja Partuanon Siantar bahwa mereka tunduk terhadap kekuasaan Belanda.

Pada tahun 1901, Sang Naualuh resmi menjadi penganut agama Islam. Sebelumnya, Sang Naualuh adalah penghayat Habonaron[2], yakni kepercayaan tradisional masyarakat Batak Simalungun.

Kedatangan misionaris

sunting

Pada tahun 1903, Sang Naualuh pernah didatangi oleh rombongan misionaris yang dipimpin oleh Ingwer Ludwig Nommensen. Mereka tiba di Rumah Bolon Siantar dan menghadap Sang Naualuh untuk menyatakan maksud mereka menginjil di wilayah Partuanon Siantar. Sang Naualuh, yang pada saat itu telah menganut agama Islam, menerima dengan dingin kedatangan para misionaris dan menolak memberikan izin penginjilan di daerah Siantar. Akhirnya, rombongan tersebut melanjutkan perjalanan mereka ke Bandar.[3]

Pembukaan jalan

sunting

Sang Naualuh merintis pembukaan jalan dari wilayah Siantar ke Bandar. Jalur yang dibukanya adalah dari Pantoan, Gunung Hataran, Gunung Marlawan, Siniou, Bangun, Buhit Maraja, Harasan, Bandar Sahkuda, Nagori Bandar, hingga ke Pardagangan.

Pengasingan

sunting

Hubungan Pemerintah Kolonial Belanda dengan Sang Naulauh semakin memburuk. Sang Naulauh tidak mau mengakui kekuasaan Belanda melalui korte verklaring (pernyataan pendek) sebelumnya. Melalui Besluit No. 1 tertanggal 24 April 1906, Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz menyatakan tidak mengakui kedaulatan Sang Naualuh sebagai penguasa Partuanon Siantar. Hal ini juga berarti bahwa Sang Naualuh harus ditangkap dan ditahan oleh Belanda dengan tuduhan telah melakukan pemufakatan untuk mengganggu keamanan dan ketertiban.

Awalnya, Sang Naualuh ditahan di penjara milik asisten residen di Pamatang Siantar, namun kemudian ia dipindahkan ke penjara Keresidenan Sumatera Timur di Medan. Hal ini untuk mengantisipasi pengaruh Sang Naualuh yang masih kuat di wilayah Siantar.

Barulah pada 22 Januari 1908, Pemerintah Kolonial Belanda mengasingkan Sang Naualuh Damanik bersama Tuan Bah Bolag ke Pulau Bengkalis. Sang Naualuh dan rombongannya dibawa dari Batu Bara.

Selama pengasingan

sunting

Selama dalam pengasingan, Sang Naualuh aktif mengajar sebagai guru mengaji di Desa Senggoro, lingkungan tempat tinggalnya. Ia juga turut membangun sebuah masjid yang kelak dikenal sebagai Masjid Mubarak. Pada tahun 1911, anak dari Sang Naulauh Damanik. Anak itu dinamai Tuan Sarmahata Damanik.

Keluarga

sunting

Setelah Sang Naulauh diasingkan ke Bengkalis, Belanda mengirimkan anak sulung Sang Naualuh yang bernama Tuan Riah Kadim Damanik ke Purba untuk belajar kepada para misionaris. Riah Kadim dibaptis dan diberi nama Waldemar. Pada tahun 19xx, ia diangkat oleh Belanda sebagai penguasa Siantar.

Akhir hidup

sunting

Sang Naualuh Damanik wafat di Senggoro pada 9 Februari 1913 dalam status pengasingan. Ia dimakamkan di lahan bekas perladangan milik seseorang bernama Syekh Budin. Oleh masyarakat setempat, makam Sang Naualuh dikenal sebagai makam Raja Batak.[4]

Pengaruh dan penghargaan

sunting

Hari Jadi Kota Pematangsiantar

sunting

Tanggal lahir Sang Naualuh Damanik ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pematangsiantar, yakni tanggal 24 April.

Penghargaan

sunting

Nama Sang Naualuh Damanik diabadikan sebagai nama ruas jalan di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, yaitu Jalan Sangnawaluh yang membentang sepanjang 50 kilometer.[5] Ruas jalan tersebut awalnya dirintis oleh Sang Naulauh sendiri karena merupakan penyangga transportasi antar wilayah Pematang Siantar, Simalungun, Asahan, dan Batubara.

Catatan

sunting
  1. ^ Beberapa sumber menuliskan bahwa Sang Naualuh lahir pada tahun 1854.
  2. ^ Beberapa sumber menuliskan bahwa Sang Naualuh wafat pada tahun 1914.
  3. ^ Beberapa sumber menuliskan bahwa Sang Naualuh berkuasa hanya sampai tahun 1904.

Referensi

sunting
  1. ^ Saragih, Hisarma; Hasugian, Jalatua Habungaran (1 Juni 2022). Pembangunan Pariwisata, Manajemen Situs Sejarah dan Kearifan Lokal di Kota Pematangsiantar. Yayasan Wiyata Bestari Samasta. hlm. 87. ISBN 978-623-99928-6-6. 
  2. ^ Tarigan, Azhari Akmal; Wanto, Sugeng; Rahmadi, Fuji; Harahap, Abdi Syahrial; Lubis, Sakban (1 Desember 2021). Peta Dakwah: Dinamika Dakwah dan Implikasinya Terhadap Keberagamaan Masyarakat Muslim Sumatera Utara. Merdeka Kreasi Group. hlm. 71. ISBN 978-623-6198-77-3. 
  3. ^ 60 Tahun Indjil Kristus di Simalungun, 2 Sept. 1903 s/d 2 Sept. 1963. Pimpinan Pusat Gereja Kristen Protestan Simalungun. 1963. hlm. 16. 
  4. ^ Pahlefi, Riza (11 Agustus 2022). Bengkalis: Negeri Jelapang Padi. CV. DOTPLUS Publisher. hlm. 128. ISBN 978-623-6428-59-7. 
  5. ^ "Raja Siantar Sang Naualuh: Tugu Batal, Stadion Telantar, Gelar Pahlawan Belum". Opsi. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 

Daftar pustaka

sunting