Pengguna:Marwan Mohamad/Bak pasir

Tumbilo tohe
Dirayakan olehSuku Gorontalo
JenisKebudayaan, Islam
Mulai27 Ramadan
Berakhir29 atau 30 Ramadan

Tumbilo tohe adalah tradisi memasang lampu di halaman rumah-rumah penduduk dan di jalan-jalan terutama jalan menuju masjid yang menandakan berakhirnya ramadan di Gorontalo.[1] Tradisi ini dilakukan pada 27 ramadan atau 3 malam terakhir menjelang hari raya Idul Fitri. Penyalaan lampu dimulai sejak waktu magrib sampai menjelang subuh.[1][2] Biasanya yang menyalakan lampu adalah kepala keluarga masing-masing didahului dengan membacakan surah Al-Qadr.[3]

Etimologi

sunting

Tumbilo tohe berasal dari bahasa Gorontalo, yaitu tumbilo dan tohe. Tumbilo artinya memasang, dan tohe artinya lampu.[4] Memasang lampu pengertiannya di sini adalah menyalakan lampu tersebut dan memasangnya di halaman rumah atau di pinggir jalan sebagai penerangan bagi pejalan kaki.

Makna dan filosofi

sunting

Pemasangan lampu tumbilo tohe dimaksudkan untuk menerangi jalan menuju masjid dan halaman rumah saat penghujung ramadan di mana cahaya bulan tidak muncul lagi saat malam menjelang. Di samping itu juga untuk memudahkan para pemungut zakat fitrah yang akan berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Jumlah lampu yang terpasang pun disesuaikan jumlahnya dengan penghuni rumah. Setiap orang diwakili sebuah lampu sehingga pemungut zakat fitrah tidak perlu bertanya lagi berapa banyak penghuni rumah yang akan membayar zakat fitrah.

Supaya lebih semarak, lampu-lampu tumbilo tohe dipasang pada sebuah alikusu atau arkus, yaitu sebuah gerbang yang dibuat dari jalinan bambu yang tingginya berkisar 3 meter sampai 4 meter. Biasanya dipilih bambu kuning, tetapi bambu hijau juga dipakai kalau tidak dapat bambu kuning. Arkus dihiasi dengan janur kuning dan batang tebu lengkap dengan daunnya serta bunga puring yang beraneka warna. Tak jarang pohon pisang ditebang untuk dipasang di kiri kanan arkus. Arkus dibangun di pintu gerbang pekarangan rumah. Di pintu gerbang masjid-masjid dan gedung pemerintah buat arkus juga.

Sejarah

sunting

Tradisi tumbilo tohe sudah berlangsung lama di Gorontalo, diperkirakan sudah ada sejak abad 15. Saat itu lampu penerangan masih menggunakan tohe tutu dari getah damar beku yang diletakkan dalam sebuah wadah transparan sehingga bisa menerangi sekitarnya dan tidak mati jika tertiup angin. Tohe tutu jika diterjemhkan ke bahasa Indonesia maknanya adalah lampu sejati atau lampu asli.

Ada juga yang menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya. Wadah yang digunakan biasanya pepaya mentah yang dibelah menjadi dua bagian. Wadah lainnya adalah kulit kerang besar. Wadah ini diisi dengan air dan minyak kelapa. Air akan menempati sisi bawah dan minyak kelapa akan berada di bagian atas. Sesudah itu dipasang sumbu dari kapas di bagian tengah wadah. Kedua jenis wadah ini dipilih untuk menghindari kebakaran. Pepaya mentah dan kulit kerang yang keras tidak akan ikut terbakar meskipun api membesar. Lampu ini dinamakan padamala. Penggunaan wadah pepaya dan kerang jarang terlihat sekarang. Sebagai gantinya adalah gelas transparan, sehingga api lampunya tidak mudah padam meskipun tertiup angin.

Saat ini lampu tumbilo tohe umumnya menggunakan minyak tanah. Wadah lampu terbuat dari botol bekas minuman energi yang dipasangi sumbu. Biasanya dibuat sendiri atau bisa juga dibeli di pasar-pasar tradisional mulai pertengahan ramadan. Di pinggir jalan-jalan banyak pedagang dadakan yang khusus menjuat botol lampu beserta sumbunya. Di samping lampu botol yang menggunakan minyak tanah, sekarang sudah lazim pula digunakan lampu listrik. Pelbagai jenis lampu hias dari listrik berbaur dengan lampu botol berjejer sepanjang jalan mulai dari pelosok desa sampai jalan raya di pusat kota Gorontalo.[2]

Festival tumbilo tohe

sunting

Di Gorontalo tradisi ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk dijadikan festival tahunan yang dilombakan mulai antar kampung sampai antar kabupaten. Setiap penghujung ramadan, setiap jengkal bumi Gorontalo bergairah menyambut tradisi yang kini sudah mulai bergeser maknanya. Kini bukan setiap halaman rumah dan masjid lagi yang dipasangi lampu tumbilo tohe. Setiap ruang yang kosong seperti tanah lapang, sawah yang sudah selesai dipanen, bahkan sungai pun di pasangi lampu botol untuk menyemarakkan tumbilo tohe. Pada tahun 2007, tradisi tumbilotohe ini masuk Museum Rekor Indonesia (MURI). Saat itu lima juta lampu menyemarakkan tradisi ini dan menghiasai wajah kota Gorontalo.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b (Inggris) Situs www.indonesia-tourism.com "Marwan Mohamad/Bak pasir Tradition Gorontalo". Diakses tanggal 12-8-2. 
  2. ^ a b (Indonesia) situs http://berita.liputan6.com/ "Tumbilotohe Sambut Malam Lailatul Qadar". Diakses tanggal 12-8-2. 
  3. ^ Tumbilotohe Tradisi Malam Lailatul Qadr ala Gorontalo diakses 31 Mei 2018
  4. ^ Malam Tumbilotohe - Wonderful Indonesia. Diakses 14 Juli 2015.
  5. ^ (Indonesia) http://sosbud.kompasiana.com "Cerita Jelang Lebaran: Malam Tumbilotohe". Diakses tanggal 12-8-2018.