Pengguna:ReoMarten/Bak pasir
Flu burung menerjang Vietnam pada tahun 2004,[1] kemudian menyusul Thailand dan China,[1] pada tahun 2005 telah memasuki Indonesia.[2] Setelah ia baru ia saja mengatasi busung lapar Nusa Tenggara Barat ternyata muncul berita di TV bahwa dua anak dan satu bapak menderita panas, sesak nafas dan kemudian meninggal sangat cepat. Ia pun dengan segera melakukan rapat lengkap dengan para dokter yang merawat, para pakar dan pejabat.[3]
Obat Tamiflu
suntingWHO menganjurkan pemerintah Indonesia harus menyetok Obat Tamiflu (nama generik: Oseltamivir), sebagai menteri Kesehatan dengan susah payah Pemerintah menganggarkan dana, tetapi saat dana sudah ada ternyata obat Tamiflu tersebut habis di stok negara maju. Sehingga ia harus mencari jalan ke luar untuk mendapatkan obat Oseltamivir dari India yang memiliki lisensi dari Roche. Ia mendapatkan sedikit sumbangan dari Thailand dan Australia yang memiliki sedikit persediaan. diborongnya obat Tamiflu oleh negara-negara maju yang tidak memiliki kasus Flu Burung, sungguh sangat mengecewakan baginya.[4]
Penularan antar manusia ke manusia?
suntingpara ilmuwan bertambah memuncak disaat terjadi kematian berturut-turut sejumlah tujuh orang pada satu keluarga di Tanah Karo, Sumatera Utara. Dunia pun geger dengan pemberitaan televisi CNN yang menyatakan adanya penularan antar manusia telah terjadi di Tanah Karo.[5] Penularan langsung antar manusia di Indonesia menjadi suatu berita yang dipercaya. Indonesia pun akan menghadapi masalah besar, karena pasti akan diisolasi, tidak boleh ada sesuatu pun yang ke luar dari Indonesia dan juga tidak ada yang boleh masuk ke Indonesia.[6] Detak ekonomi akan berhenti, apalagi bisnis pariwisata pasti akan tamat. Tidak mengertikah mereka. bila kesimpulan itu menyangkut nasib lebih dari 240 juta rakyat Indonesia.[7] Maka ia harus berbuat sesuatu untuk menepis atau menolak pernyataan WHO tersebut. Pertama, Ia tegur keras WHO Indonesia dalam menyimpulkan sesuatu yang belum tentu betul dan mempunyai konsekuensi yang berat bagi negara Indonesia. Seharusnya masalahnya didiskusikan lebih dahulu sebelum memberikan kesimpulan ke CNN. Kedua, saya pertanyakan, bagaimana data sequencing DNA virus dari Tanah Karo yang dikirim ke WHO CC. Bukankah gambaran sequencing DNA akan membuktikan apakah penularan tersebut terjadi dari manusia ke manusia ataukah dari ayam ke manusia?. Ketiga, segera cabut berita di CNN, atau akan protes ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).[7]
Kemudian konperensi pers di gelar. Ratusan wartawan dari dalam maupun luar negeri berdatangan. Ia menyatakan bahwa berita tentang penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo adalah tidak benar. Karena bila benar; korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak bukan puluhan tapi mungkin ribuan. Yang paling penting untuk menyimpulkan penularan langsung dari manusia ke manusia tidak cukup hanya berdasarkan data epidemiologi seperti yang dilakukan oleh WHO. Tetapi harus dikuatkan dengan data virologi yang merupakan bukti pasti. Dengan pernyataannya, dunia pun mulai ragu. 24 Jam Telepon genggam dia pegang erat ditangannya, karena pasti akan datang pertanyaan dari mancanegara.[7]
Semua negara wajib mengirim sampel Virus H5N1 ke WHO dengan mekanisme GISN
suntingvirus flu burung yang sedang melanda dunia terutama di negara yang sedang berkembang dengan angka kematian yang sangat tinggi, yang memhuat dunia panik untuk mengatasinya secepat-cepatnya.[8] WHO memperlakukan virus H5N1 dengan peraturan yang sama dengan Seasonal Flu Virus. Negara-negara yang mengalami wabah Flu Burung pada manusia harus menyerahkan virus H5N1 ke WHO CC, dan hanya "disuruh" menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim tersehut. Tetapi setelah itu negara pengirim tidak pernah tahu. Diapakankah virus tersehut, dikirim kemanakah virus tersehut, dan apakah akan dibuat vaksin oleh Industri farmasi atau bahkan diproses menjadi senjata biologi[8] (hanya menduga didalam hati kecil ibu menteri). Apa hak dari si pengirim virus yang biasanya adalah negara yang sedang berkembang dan negara miskin.[8]
Bayang-bayang Penjajah
suntingTerbayang dalam pikiran seorang Siti Fadillah seorang warga Vietnam yang mati karena Flu Burung ditangisi anak istri, sanak saudara serta tetangganya. Kemudian virus dari orang Vietnam yang telah mati tersebut sampelnya diambil dan dikirim ke WHO CC (WHO Collaborating Center), untuk dilakukan risk assesment, diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian digunakan untuk membuat vaksin.[9] Pengiriman virus Influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveilance Network). Sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada ketidak-adilan. Semenjak 50 tahun lalu, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus Influenza biasa (seasonal Flu) harus mengirimkan spesimen virus secara sukarela, tanpa ada yang protes.[9] Virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN.[9] Dan kemudian diproses untuk risk assesment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dan dari seed virus dapat dibuat suatu vaksin, di mana setelah menjadi vaksin, didistribusikan ke seluruh Negara di dunia secara komersial. Termasuk negara penderita yang mengirim sampel virus harus membeli vaksin tersebut dengan harga yang hanya ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir sernuanya bercokol di negara industri yang kaya. Tentu dengan harga yang sangat mahal tanpa memperdulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi, semata. Sungguh suatu ciri khas kapitalisme.[9]
Bekerjasama dengan Baxter untuk membuat Vaksin Strain Indonesia
suntingPada akhir tahun 2005, Siti Fadillah kedatangan tamu dari perusahaan pembuat vaksin, Baxter International Inc. dari Chicago (Amerika Serikat). Dan seperti juga para pedagang lainnya yang menawarkan vaksin, Baxter juga mempromosikan kemampuannya membuat vaksin.[10] Dan lagi-lagi menawarkan vaksin Flu Burung untuk manusia dengan Strain Vietnam. Siti Fadillah tahu persis dari pengetahuan maupun pengalamannya, bahwa vaksin harus spesifik sesuai dengan virus penyebabnya.[10] Tampilan klinis kasus di Indonesia dengan Vietnam berbeda dilihat dari angka kematiannya, tipe virusnya pun berbeda. Virus Flu Burung di Indonesia disebut sebagai Clade 2 sedang di Vietnam termasuk Clade 1. Mengapa saya harus menggunakan vaksin yang dibuat dari virus Vietnam? Pernyataan Siti Fadillah itupun mengagetkan para penawar vaksin dari Baxter. Mengapa Minister (menteri) bertanya demikian? Kemudian Jawab Siti Fadillah; bahwa saya mempunyai asumsi (yang sebenarnya lebih kepada suatu hipotesis) virus dengan strain Indonesia lebih virulen (ganas) dari pada yang lainnya. Dan kalau dibuat vaksin nantinya akan lebih cross protective dibanding dengan lainnya. Artinya vaksin dengan strain Indonesia bisa digunakan lebih luas dibandingkan dengan vaksin dari strain lainnya.[10] Lima bulan kemudian asumsi, ataupun hipotesisnya terbukti. Virus Indonesia mempunyai virulensi yang jauh lebih kuat di banding dengan virus lainnya. Hal ini diumumkan setelah dilakukan penelitian yang seksama oleh Baxter,[10] dan juga WHO CC. Dan Uniknya Siti Fadillah mendengar hal tersebut langsung dari berita yang disiarkan melalui CNN. Siti Fadillah pun bersyukur sambil berucap,
“ | Alhamdulillah, saya meyakini hipotesis tersebut, dimana pada saat itu tak seorang pun memikirkan bahwa vaksin yang dibuat dari virus Vietnam akan berbeda dengan yang dibuat dari virus Indonesia. | ” |
Kim Bush pun memberikan apresiasinya dengan mengirimkan email, perwakilan Baxter di Indonesia, "congratulations, Your Minister is one step ahead". Dengan merasa bahagia. Bukan karena pujian dari Kim Bush. Tetapi dia yakin temuan tersebut adalah my:Rahmat Allah yang diturunkan kepada kita bila kita bisa membaca petunjuknya. Bayangkan seluruh dunia tadinya hanya mengenal satu jenis vaksin Flu Burung yaitu Strain Vietnam. Mata dunia menjadi terkejut dengan berita tersebut. Ternyata ada vaksin Flu Burung untuk manusia yang lebih baik kekuatannya yaitu yang berasal dari strain Indonesia.[11] Menteri Kesehatan Amerika (Secretary of Health and Human Services), Michael O. Leavitt memesan 20 juta dosis vaksin dengan strain Indonesia kepada Baxter.[11] Kerjasama antara pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Kesehatan RI dengan perusahaan Baxter berdasarkan prinsip kesetaraan atau satu level, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Kita sebagai negara yang berdaulat tidak perlu merasa lebih rendah walaupun tidak punya teknologi tinggi, dana yang minim maupun expert yang jumlahnya masih sangat terbatas. Tetapi kita mempunyai suatu hal yang sangat berharga yaitu Virus! Sedangkan Baxter memiliki teknologi dan uang. Semua hal dibicarakan secara transparan. Dalam setiap negosiasi Baxter dan Indonesia didampingi oleh lawyer masing-masing. Saling menghormati dan saling mempercayai. Hal ini sangat berbeda dengan kejadian sebelumnya. Setiap kali berhubungan dengan WHO soal vaksin Flu Burung, Indonesia tidak mempunyai hak sama sekali. Sungguh suatu penghinaan yang luar biasa. Meskipun Indonesia yang mengirim virus, yang mempunyai hak adalah negara industri yang memiliki teknologi tinggi. Sehingga Kalau negara miskin menderita wabah Flu Burung, maka akan bertambah miskin. Tetapi negara industri yang tidak menderita wabah Flu Burung akan bertambah kaya karena perdagangan vaksinnya.[12]
Australia mencuri virus H5N1 Indonesia
suntingTelepon genggam Siti Fadillah berdering setelah lepas membaringkan badannya disofa yang ternyata penelepon tersebut adalah penyiar radio Australia (ABC).[13] Penelepon tersebut menanyakan apakah kamu bersedia diwawancarai soal Flu Burung? Maka jawab Siti Fadilah: Ahh saya jawab mau saja toh saya sedang punya waktu longgar. Penelepon mempertanyakan; apakah kamu akan melakukan MOU dengan Baxter dalam pembuatan vaksin strain Indonesia? Siti Fadillah jawab; ya! Penelepon menanyakan; Apakah anda mempunyai hak dalam hal kerjasama tersebut? Siti Fadillah jawab; ya pasti dong. Dan dia menanyakan Lagi; apakah anda tahu bahwa ada perusahaan Australia sudah membuat vaksin dengan strain Indonesia? Wahh, saya tidak tahu, jawab Siti Fadillah. Dari mana Australia mendapat virus Indonesia? Siti Fadillah bertanya balik. Saya tidak pernah memberikan padanya. Saya tidak pernah dimintakan ijin untuk itu. Dan bahkan saya tidak pernah diberitahu, kecuali oleh pertanyaan anda ini. Lebih lanjut penyiar Radio Australia menanyakan; apakah anda menganggap bahwa Australia mencuri virus anda? Dengan santai Siti Fadillah menjawab: "Yeahh, something like that".[13] Siti Fadillah pun tidak sadar, ternyata wawancara tadi adalah on air. Artinya secara langsung didengarkan oleh jutaan orang di Australia, bahkan mungkin juga di negara-negara kawasan Asia Pasifik. Maka esok paginya gegerlah seluruh media masa internasional dengan headline news: "Menteri Kesehatan Republik Indonesia menuduh Australia mencuri virus H5N1 Indonesia". TV Australia segera menelponnya untuk datang ke Indonesia dengan rujuan mewawancarai langsung. TV "NHK" Jepang, TV "Aljazera", koran "Wall Street Journal", juga menghubungi untuk wawancara langsung dan masih banyak lagi. Warga dunia terkejut, kaget mendengar isu tersebut. Sehingga pemerintah Australia perlu mengirimkan 2 stafnya untuk minta maaf dan klarifikasi.[14] Mereka bertemu dengan eselon 1 (Kabadan Litbangkes Depkes) dan membicarakan tentang hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa yang memproduksi vaksin strain Indonesia bukan pemerintah Australia. Tetapi perusahaan swasta Australia, CSL, yang bekerjasama dengan WHO Australia (Mereka mendapatkan virus Indonesia dari WHO CC).[14] Mulai saat itu berita tentang Siti Fadillah dalam menghentikan pengiriman virus ke WHO, sebagai protes mempertahankan kedaulatan bangsa dan hak negara berkembang atas penindasan WHO menjadi berita penting di media massa dunia, di internet di berbagai televisi internasional dan dimana saja.[15]
Delegasi WHO ke Indonesia
suntingSikap Indonesia yang tegas diekspos begitu luas oleh berbagai media kredibel di dunia, benar-benar membuat WHO gerah. Akhirnya delegasi WHO datang juga ke Indonesia dipimpin oleh David Heymann, Asistant to Director General WHO yang bertanggung jawab terhadap Flu Burung, dan Keiji Fukuda, bersama dengan staf stafnya, termasuk seorang lawyer perempuan. Pertemuan diadakan di kantor Siti Fadilah, di ruang Cut Mutiah di lantai 2, ruang rapat khusus yang jumlah kursinya terbatas. Delegasi dari Indonesia langsung pimpinannya dan diikuti oleh hampir semua eselon 1 nya, serta sebagian eselon 2 yang terkait. Mulailah rapat tersebut dibuka resmi dan langsung ke titik, ke pokok masalah utama. Pertanyaan mereka sangat klasik. Mengapa anda tidak mau mengirim virus ke WHO? Maka jawab Siti Fadilah: Saya mau mengirim virus dan itu saya sudah lakukan selama setahun. Tetapi saya sadar bahwa anda tidak menghormati bahwa virus yang saya kirim itu adalah milik kami, milik negara Indonesia, milik bangsa Indonesia, milik rakyat Indonesia. Maka kalau anda bersedia mengakui bahwa virus itu milik kami, yaitu dengan jalan menandatangani MTA (Material Transfer Agreement). Maka saya akan mengirim kembali virus-virus tersebut. Tentu saja bukan untuk diperjual belikan sebagai vaksin. Tetapi untuk kepentingan kesehatan masyarakat saja. Yaitu untuk risk assesment. David Heymann mengatakan: Kalau anda mau mengirim kembali virus-virus tersebut tanpa syarat, anda akan kami bantu dalam capacity building. Laboratorium anda akan kami jadikan reff Lab. Dan apa pun kebutuhan anda yang lain?! Apa anda butuh vaksin yang sudah jadi dan berapa dosis yang anda butuhkan? Semuanya, kami akan penuhi. Siti Fadilah menjawab: Kita tidak butuh apa-apa, kecuali meminta WHO dengan mekanisme GISN (Global Influenza Surveillance Network) untuk bersikap adil terhadap negara negara yang sedang berkembang yang biasanya menderita infeksi. Hargailah hak mereka yang menderita, hak untuk memiliki virus yang mungkin sudah membunuh rakyatnya. Saya ataupun mereka bukan pengemis yang minta-minta dibantu. Dan kemudian harus menurut saja kepada kemauan anda untuk agar kami berjalan di dalam koridor ketidak-adilan bahkan didalam koridor penjajahan. Kalau saja kepemilikan virus oleh negara yang mengirim virus itu diakui, segalanya akan bisa kita peroleh bukankarena anda beri tetapi kita menjadi mampu memiliki itu semua dengan cara yang bermartabat. Mister Heymann, sadarkah anda hahwa WHO melalui mekanisme GISN nyata-nyata telah bertindak tidak adil? Heymann menjawab: Yes, that's life Mom. GISN telah 50 tahun keberadaannya, tidak akan mungkin dirubah lagi. Maka dijawab Siti Fadilah: Saya yakin bisa dirubah. Dan bisa dirubah atau tidak, bukan tergantung kepada anda. Tetapi tergantung kesepakatan negara sedunia, dalam hal ini adalah melalui forum WHA (World Health Assembly Meeting). Heyman diam.[16]
Dua hal prinsip yang tidak bisa dipertemukan pada pertemuan ini adalah:[17]
- Pertama, WHO tetap ngotot Indonesia harus menyerahkan virus tanpa syarat apa pun seperti mekanisme baku yang ada di GISN.
- Kedua, Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa bersedia mengirim virus asalkan WHO mengakui kepemilikan virus tersebut adalah milik Indonesia dengan jalan menandatangani MTA (dimana isinya termasuk menjelaskan untuk keperluan apa virus itu diambil). Kalau hanya untuk keperluan public health, atau diagnosis dan untuk pengkajian risiko, Indonesia tidak keberatan. Tetapi Indonesia tidak setuju bila WHO memindah-tangankan virus/seed virus kepada siapa pun termasuk kepada industri farmasi produsen vaksin dan kemudian diperdagangkan dan yang terakhir seed virus tidak boleh dipatenkan (saat ini beberapa orang telah mematenkan atas nama pribadi)
Perdebatan berjalan terus. Apalagi sewaktu Delegasi Indonesia mempersiapkan press release. David Heymann maunya konsep yang dia buat yang harus disampaikan bersama ke wartawan, dimana isi dari konsep tersebut kita harus mengirim virus H5N1 kembali ke WHO CC tanpa syarat. Indonesia pun tetap bersikukuh bahwa virus akan kita kirim bila WHO setuju dengan MTA. tanpa terasa pertemuan sudah berlangsung hampir tujuh jam.
sikap WHO "sedikit melunak" dengan menawarkan konsesus atau kesepakatan antar negara yang sedang berkembang. Maksudnya apa yang menjadi keinginan negara-negara sedang berkembang akan ditampung dan diakomodasi. David Heymann mengusulkan diadakan HLTM (High Level Technical Meeting).[18] Sedangkan Siti Fadillah mengusulkan HLM (High Level Meeting) on Responsible Practises for Sharing Avian Influenza Viruses and Resulting Benefits" di Jakarta pada 26-28 Maret 2007, yang rencananya akan dihadiri oleh 13 negara (like minded countries). WHO hanya bersedia membiayai HLTM, sedangkan HLM atas biaya pemerintah RI. Indonesia pun sepakat untuk melaksanakan HLTM di Jakarta pada bulan Maret 2007. Selesailah pertemuan yang sangat melelahkan jiwa dan raga tersebut.[19]
HLTM di Jakarta
suntingPersiapan HLTM dan HLM sangat mepet sekali Yaitu hanya 3 minggu padahal harus mengundang 40 negara sahabat belum lagi dokumen-dokumen yang harus disiapkan. Perwakilan tetap RI pun mengirimkan 4 staffnya dan 4 orang dari Departemen Luar Negeri RI, Jakarta. Ke Departemen Kesehatan untuk menjadi Panitia.[20] Agenda pertama adalah mengundang para Duta Besar negara-negara sahabat ke departemen kesehatan RI dengan tujuan menyampaikan undangan ke negaranya masing-masing. Dan agar membantu memberikan dorongan kepada Menteri mereka di negaranya agar dapat menghadiri pertemuan yang sangat penting ini. Dr. David Heymann, yang sudah dikenal sebagai pejabat WHO yang sangat berperan dalam isu Flu Burung ini, mengajak pertemuan sehari sebelum pembukaan HLTM. Siti Fadilah pun megundangnya ke kediamannya di jalan Denpasar.[20]
Saat Dr. David Heymann datang Dialog yang serius pun dimulai. Pertanyaan pertama langsung lontarkan Siti Fadillah; mengapa WHO menentukan bahwa negara yang mempunyai kasus Flu Burung harus mengirimkan virusnya ke WHO CC? Sedangkan WHO hanya mempunyai 4 WHO CC di dunia yakni di London, Melbourne, Tokyo dan Atlanta. Sebagai organisasi global yang tujuannya mensejahterakan umat manusia, WHO seharusnya memikirkan bahwa tiap negara yang mempunyai kasus Flu Burung harus mampu mengerjakan pemeriksaan laboratorium untuk risk assessment di negaranya. Kalau pun tidak tersedia, WHO seharusnya membantu semaksimal mungkin, apakah sarananya ataukan ahlinya. Sehingga virus tidak perlu beredar ke luar dari negara yang menderita Flu Burung tersebut.
Catatan kaki
sunting- ^ a b detikNews (29 Januari 2005). "Lagi, Korban Jiwa Akibat Flu Burung di Vietnam". Diakses tanggal 31 Agustus 2020.
- ^ ANTARANEWS (8 Juli 2013). "193 kasus flu burung di Indonesia sejak 2005". Diakses tanggal 31 Agustus 2020.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 2.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 3.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 6.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 14.
- ^ a b c Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 15.
- ^ a b c Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 11.
- ^ a b c d Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 8.
- ^ a b c d Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 24.
- ^ a b Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 25.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 27.
- ^ a b Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 34.
- ^ a b Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 35.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 36.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 41.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 42.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 44.
- ^ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 45.
- ^ a b Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung 2007, hlm. 48.