ILMU MA’RIFAT PERLU DITUNTUT/ DIPELAJARI

Ilmu Hakikat dan Ilmu Ma’rifat, dikenal di masyarakat dengan nama “Ilmu Dalam”. Menurut cerita orang tua-tua dulu, sebelum datang Bala Tentara Jepang, menuntut ilmu ini sangat sukar sekali. Kalaupun ada, terpaksa dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Lain halnya dengan pelajaran Ilmu Fiqih, ada sedikit kebebasan. Sehingga perkembangan ilmu ini seakan-akan stagnasi. Dan dimasa Penjajah Belanda juga amat tidak menyenagi orang-orang Islam Islander yang mempelajari Ilmu Tasauf (meskipun tidak ada larangan hukum secara tertulis) karena berdasarkan pengamatan dan penelitian mereka, kunci kekuatan Islam Islander terletak pada keyakinannya pada Ilmu Tasauf, sehingga penuntut Ilmu Tasauf “tidak ada rasa takut mati” untuk melakukan pemberontakan sewaktu-waktu terhadap Pemerintah Belanda. Seperti Perlawanan Diponegoro, Perang Padri di Aceh, Perlawanan Pangeran Antasari di Kalimantan (Kerajaan Banjar). Perlawanan Pengeran Hasanuddin di Sulawesi, pada dasarnya dilandasi oleh semangat Tasauf. Hal itu disadari dan mengerti oleh seorang tokoh Belanda, Prof. Snock Horgrunye, seorang ahli (pakar) dalam hal ke-Islaman di Tanah Hindia Belanda ini. Tentang ke hati-hatian Para Ulama untuk mengejarkan Ilmu Tasauf/Ma’rifat itu Kepada para peminatnya, berdasarkan tafsiran terhadap lafal hadis “ ‘ala qadri ‘uqulihim” (menurut kadar akalnya) dan harus kepada a h l I n y a”. Maka tafsiran tentang “ahlinya” inilah menimbulkan ketatnya penyebaran ilmu tersebut. Prinsip “ahlinya” ini diartikan, harus memahami sifat dua puluh (sifat wajib, mustahil dan harus bagi Allo Ta’ala) secara mendalam, melaksanakan dan mempelajari syaria’at secara tekun serta mendalam. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sikap batin yang akhirnya tidak perduli kepada syara’. Ditambah lagi dengan sengaja dibesar-besarkan “kesalahan” ajaran Hamzah Fansyuri di Aceh, Sy. Siti Jenar di Jawa, Syekh Abdul Hamid Hambulung di Kalimantan dan lain-lain. Tetapi kalau kita mau mentelesuri sejarah dari para ulama-ulama ini dengan sedetil-detilnya, maka barulah kita mengetaui kebenarannya yang sebenarnya, merekalah wali-wali/Auliya-auliya Allah SWT yang sudah sampai kepada makam Pana Billah. Kita berharap, dalam rangka Pembangunan mental spritual dewasa ini, perlu terwujudnya wawasan pengetahuan Agama Islam yang lebih luas, disertai penelitian-penelitian sejarah, dimana Ilmu Ma’rifat telah memberikan andil besar memperkuat semangat perjuangan Bangsa Indonesia ini. Imam Ghazali, r.a. sebelum merasakan nikmat ilmu ini, meskipun sudah menjadi Ulama dan ukutan pada zamannya sebagai seorang Pembesar Negeri, barulah beliau mendapat kepuasan batin setelah beliau menyediakan sebagian umurnya untuk ber’uzlah, sambil beliau menyusun beberapa kitab, a.l. sebuah kitab yang terkenal Ihya ‘Ulumuddin. Sebagian para ‘Arif Billah mengatakan (termasuk Imam Ghazali), yaitu : “Siapa yang tidak kebagian ilmu ini (ilmu batin), saya khawatir atasnya akan menemukan “su-ul-khtimah” Dan tidak ada jalan yang dapat mengenalNya, kecuali dengan perasaan murni” (Sirajut-Tholibin)”. “Yang dimaksud dengan Ma’rifat adalah empat (4) perkara, yaitu : 1. Mengenal diri, 2. Mengenal Allah SWT. 3. Mengenal Dunia, dan 4. Mengenal Akhirat. Yang dimaksud mengenal diri ialah : dengan mengegakkan sifat kehambaan (Ubudiyah) rasa hina (di hadapan Alloh) dan selalu berhajat kepada Alloh dan mengenal Alloh yang bersifat Kemuliaan, Ke-Agungan, dan kuasa. Dan Mengenal Diri sebagai seorang yang asing di alam dunia ini hanyai sebagai seorang musafir dari Dunia menuju akhirat. (Sirajut Tholibin). “Hanya sanya, mereka yang telah mencapai tingkat MA’RIFAT adalah mereka yang (dalam batin) tidak menghiraukan sesuatu yang ada pada mereka, dan bertahan pada yang ada pada Alla SWT”. (Al-Junaid : Risalah A-Qusyairiah). “Abu Yazid Busthomi ditanya orang tentang ‘Arif, beliau menjawab: “Tak terlihat dalam tidurnya selain Alloh, dan tak terlihat dalam bangunnya selain Alloh, dan tidak ada yang ia sukai kecuali Alloh” (Risalah Al-Qusyiariyah).