Pengguna:The Bangsawan/sandbox

Dampak Kolonialisasi

sunting
 
Penguasa Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1867, yang sebagian besar berasal dari keturunan Melayu-Bugis. Kesultanan ini dihapuskan hampir setengah abad kemudian pada tahun 1911 oleh Belanda, setelah adanya gerakan kemerdekaan yang kuat melawan pemerintahan Hindia Belanda.

Antara tahun 1511 dan 1984, banyak kerajaan dan kesultanan Melayu jatuh di bawah penjajahan langsung atau menjadi protektorat berbagai kekuatan asing, dari kekuatan kolonial Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, hingga kekuatan regional seperti Aceh, Siam, dan Jepang. Pada tahun 1511, Kekaisaran Portugis menaklukkan ibu kota Kesultanan Malaka. Namun, Portugis yang menang tidak mampu memperluas pengaruh politik mereka di luar benteng Malaka. Sultan tetap memegang kekuasaan atas wilayah-wilayah di luar Malaka dan mendirikan Kesultanan Johor pada tahun 1528 sebagai penerus Malaka. Malaka Portugis menghadapi beberapa serangan balasan yang tidak berhasil dari Johor hingga tahun 1614, ketika pasukan gabungan Johor dan Kekaisaran Belanda berhasil mengusir Portugis dari semenanjung tersebut. Sesuai dengan perjanjian dengan Johor pada tahun 1606, Belanda kemudian mengambil alih Malaka.[1]

Secara historis, kerjaan-kerajaan Melayu di semenanjung memiliki hubungan yang bermusuhan dengan Siam. Kesultanan Malaka sendiri berperang dua kali dengan Siam, sementara negara-negara Melayu di utara secara berkala berada di bawah dominasi Siam selama berabad-abad. Pada tahun 1771, Kerajaan Thonburi di bawah dinasti Chakri yang baru, menghapuskan Kesultanan Pattani dan kemudian menganeksasi sebagian besar wilayah Kesultanan Kedah. Sebelumnya, Siam di bawah Kerajaan Ayutthaya telah menyerap Tambralinga dan mengalahkan Kesultanan Singgora pada abad ke-17.[2][3]

 
Tuan Lebeh (duduk, di tengah), Long Raya atau Raja Muda (pangeran mahkota) dari Kerajaan Reman pada tahun 1899. Kerajaan Reman dibubarkan oleh Kerajaan Rattanakosin bersamaan dengan berbagai kerajaan Melayu lainnya yang melakukan pemberontakan untuk meraih kemerdekaan pada awal tahun 1902, termasuk Kerajaan Pattani, Saiburi, Nongchik, Yaring, Yala, Legeh, dan Teluban.

Senja Kekaisaran Brunei yang luas dimulai selama Perang Kastilia melawan para penakluk Spanyol yang tiba di Filipina dari Meksiko. Perang ini mengakibatkan berakhirnya dominasi kekaisaran di kepulauan Filipina yang sekarang. Penurunan ini semakin memuncak pada abad ke-19, ketika Kesultanan kehilangan sebagian besar wilayahnya yang tersisa di Kalimantan kepada Rajah Putih Sarawak, Serikat Borneo Utara Inggris dan vassal-vassalnya kepada Perusahaan Hindia Timur Belanda. Brunei menjadi protektorat Inggris dari tahun 1888 hingga 1984.[4]

Setelah Perjanjian Inggris-Belanda 1824 yang membagi Kepulauan Melayu menjadi zona Inggris di utara dan zona Belanda di selatan, semua kesultanan Melayu di Sumatra dan Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Hindia Belanda. Meskipun beberapa sultan Melayu tetap mempertahankan kekuasaan mereka di bawah kendali Belanda,[5] beberapa di antaranya dihapuskan oleh pemerintah Belanda dengan tuduhan pemberontakan melawan pemerintahan kolonial, seperti yang terjadi pada Kesultanan Palembang pada tahun 1823, Kesultanan Jambi pada tahun 1906, dan Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1911.

Pembagian serupa di Semenanjung Melayu juga dilakukan oleh Inggris dan Siam setelah Perjanjian Anglo-Siam 1909. Langkah ini diambil karena Inggris merasa khawatir akan pengaruh yang berkembang antara pemerintah Siam dan kekaisaran kolonial Jerman yang bersaing, terutama di bagian utara Semenanjung. Perjanjian Anglo-Siam menetapkan bahwa Siam akan menguasai bagian atas semenanjung, sementara wilayah bawah akan berada di bawah kekuasaan Inggris.

Kemudian, selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Malaya, dan Borneo Britania, Jepang mempertahankan hubungan yang baik dengan para sultan dan pemimpin Melayu lainnya. Hal ini sebagian dilakukan untuk membangun kepercayaan publik Melayu yang umumnya loyal terhadap sultan. Namun, dalam serangkaian pembantaian yang dikenal sebagai insiden Pontianak, Jepang membunuh hampir semua sultan Melayu di Kalimantan Barat, termasuk sejumlah besar intelektual Melayu setelah mereka dituduh secara palsu merencanakan pemberontakan dan kudeta melawan Jepang. Diperkirakan bahwa Kalimantan Barat memerlukan dua generasi untuk pulih dari hampir totalnya kehancuran kelas penguasa Melayu di wilayah tersebut.

Gerakan Kemerdekaan: Perspektif Regional

sunting

Meskipun populasi Melayu tersebar di seluruh Kepulauan Melayu, perkembangan organisasi nasionalisme modern untuk mencapai kemerdekaan menunjukkan variasi yang signifikan di Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Pulau Borneo. Di Hindia Belanda, perjuangan melawan kolonialisasi ditandai oleh bentuk nasionalisme lintas etnis yang dikenal sebagai "Kebangkitan Nasional Indonesia", di mana orang Melayu Indonesia berkolaborasi dengan kelompok etnis lainnya untuk membangun kesadaran kolektif sebagai "Indonesia".[6] Di Malaysia, dorongan untuk meraih kemerdekaan terlihat dalam munculnya gerakan nasionalis Melayu di Malaya Inggris pada awal abad ke-20.[7]

Sementara itu, di Brunei, meskipun terdapat upaya untuk meningkatkan kesadaran politik Melayu antara tahun 1942 dan 1945, sejarah nasionalisme berbasis etnis tidak mencatat perkembangan yang signifikan. Di Thailand, separatisme Pattani terhadap pemerintahan Thai dianggap oleh sejumlah sejarawan sebagai bagian dari konteks nasionalisme Melayu semenanjung yang lebih luas. Secara keseluruhan, gerakan-gerakan ini memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan modern Indonesia (terutamanya di Sumatra, Kalimantan, dan kepulauan Riau), Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand.

  1. ^ Hunter & Roberts 2010, hlm. 345.
  2. ^ Andaya & Andaya 1984, hlm. 62–68.
  3. ^ Ganguly 1997, hlm. 204.
  4. ^ "Brunei". CIA World Factbook. 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Juli 2015. Diakses tanggal 28 Februari 2014. 
  5. ^ Lumholtz 2004, hlm. 17.
  6. ^ Ricklefs 1991, hlm. 163–164.
  7. ^ Suryadinata 2000, hlm. 133–136