Pengguna:Xiangliangzai/Bak pasir/Bahasa Semende

Bahasa Melayu Semende atau bahasa Semende adalah isolek bahasa Melayu Tengah atau bahasa Melayu Barisan Selatan yang dituturkan oleh suku bangsa Semende (Melayu Semende) yang mendiami daerah Sumatra Selatan[1] (Kabupaten Muara Enim, Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan) serta Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus).

Bahasa Semende pada umumnya dipakai sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, dengan pengertian bahwa dalam acara-acara resmi seperti saat berpidato atau berkhotbah, para penutur bahasa Semende akan tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.[2] Karena cakupan wilayahnya yang relatif kecil, variasi dialektis dalam bahasa Semende bersifat minim dan terletak pada pemilihan kosa kata yang cenderung disebabkan karena perbedaan regional atau status dan tingkatan jabatan serta pendidikan.[3] Bahasa Semende pernah memiliki sistem penulisannya sendiri yang disebut dengan Surat Ulu dan masih berkerabat dengan Aksara Rejang serta Aksara Lampung.[4]

Sistem bahasa Semende memiliki banyak persamaan dengan bahasa Besemah.[5] Secara fonologis, bahasa Semende memiliki 28 fonem, 4 vokal, 20 konsonan, serta 4 fonem supra segmental.[6] Adapun pola suku kata dalam bahasa Semende antara lain ialah V, VK, KV, KVK, dan KKV.[7]

Dalam struktur morfologis, bahasa Semende menunjukkan keistimewaan dalam kata ganti orang.[8] Untuk orang kedua tunggal dipakai kata kabah bagi pantaran yang memiliki jenis kelamin yang sama, dengah bagi pantaran yang berbeda jenis kelamin, dan kamu bagi orang yang lebih tua atau dihormati.[9] Morfem terikat bahasa ini berupa imbuhan, yaitu 8 awalan, 5 akhiran, dan 3 sisipan.[10] Awalan peN- jarang digunakan untuk menyatakan orang yang melakukan apa yang disebutkan dalam kata dasar, oleh karenanya kata-kata seperti petani dan pedagang dalam bahasa Semende dinyatakan sebagai jeme tani (orang tani) dan jeme dagang (orang dagang).[11] Akhiran -an dalam bahasa Semende lazim digunakan untuk menyatakan pengertian kebun atau ladang, seperti kaweghan yang berarti kebun kopi (kata dasar kawe) dan pisangan yang berarti kebun pisang (kata dasar pisang).[12] Bahasa Semende juga memiliki keistimewaan dalam pembentukan kata ulang dengan pola fonem awal bentuk dasar + /e/ + bentuk dasar, misalnya dedue (dua-dua), tetige (tiga-tiga), dan sesenai (lambat-lambat, kata dasar senai).[13]

Nama Bahasa

sunting

Kata Semende memiliki beberapa macam arti. Di dalam laporannya yang berjudul "Ini dan Itu tentang Adat Tunggu Tubang Semende", Bahar Datuk Mangkuto Alam seorang akademisi yang berasal dari Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Andalas, mengatakan: "Istilahnya Semende, dengan -e, bukan Semendo, dengan -o. Asal katanya adalah "same ande" yang secara ringkas dapat diterjemahkan sebagai "sama-sama anak, sama-sama berhak" (Datuk Mangkuto Alam, 1976:4).

Di dalam skripsinya yang berjudul "Perbandingan Bahasa Semende bagi Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah-sekolah di Daerah Semendo", Barmawi (1974:5) menjelaskan bahwa kata "Semendo" berasal dari kata "semende" yang berarti perkawinan. Kata semende terdiri dari kata se + ende yang mendapatkan sisipan -m-. "Se" berarti satu, sedangkan "ende" berarti kedua pihak laki-laki masuk ke rumah perempuan mematuhi satu adat perkawinan, yaitu laki-laki masuk rumah perempuan tersebut tidak dijual, demikian pula pihak perempuan tidak membeli. Kata semende berasal dari same + nde yang berarti bahwa di dalam suatu perkawinan, keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan memiliki hak serta kewajiban yang sama terhadap anak dan menantu.

Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kata Semende merujuk kepada adat istiadat dalam perkawinan tunggu tubang, yakni suatu adat yang memposisikan serta menugaskan anak perempuan tertua di dalam suatu keluarga sebagai penunggu rumah dari keluarga tersebut. Rumah seperti ini disebut dengan rumah tunggu tubang. Suami dari anak perempuan tertua di dalam keluarga tersebut harus tinggal di dalam rumah tunggu tubang dan diperlakukan sama seperti anak sendiri oleh keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut memiliki lebih dari satu anak perempuan, anak perempuan yang lain diperbolehkan untuk membentuk tunggu tubang yang baru. Jika dalam suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka anak laki-laki tertua akan dijadikan sebagai penunggu rumah tunggu tubang tersebut. Dalam kasus keluarga yang tidak memiliki anak, biasanya keluarga tersebut akan mengangkat seorang anak perempuan untuk dijadikan tunggu tubang.

Referensi

sunting
  1. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 2. 
  2. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  3. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  4. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  5. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  6. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  7. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  8. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  9. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  10. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  11. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  12. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XV. 
  13. ^ Saleh, Yuslizal; Lamsari, Muhammad; Madjid, Abdul; Silahiddin, Sofyan; Wahab, Zainin (1979). Bahasa Semende (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XVI.