Penyebaran perkotaan

perluasaan perkotaan yang tak terkendali

Penyebaran perkotaan atau Perluasan perkotaan (bahasa Inggris: Urban Sprawl atau Suburban sprawl) merupakan gambaran atau kondisi adanya perkembangan atau perluasan suatu kawasan perkotaan yang tak terkontrol, termasuk pembangunan perumahan secara komersial, pembangunan jalan di tanah yang luas, tetapi tidak disertai dengan sistem perencanaan kota yang baik.[1] Istilah ini juga merujuk pada dampak pembangunan yang tidak terkontrol itu terhadap konsekuensi sosial dan lingkungan di kawasan tersebut.[2]

Tindakan untuk perluasan perkotaan di Eropa: kiri atas merupakan Dispersi area terbangun (DIS), kanan atas merupakan proliferasi perkotaan berbobot (weighted urban proliferation (WUP))
Perkembangan kawasan pinggiran kota di Phoenix metropolitan area

Sejak era revolusi industri, perluasan kawasan kota tidak menimbulkan kerugian langsung, seperti tetap mempertahan bangunan tembok kota peninggalan abad pertengahan. Tetapi, dampak yang muncul adalah terjadinya kenaikan biaya perjalanan, kenaikan biaya trasportasi, adanya polusi udara, dan terjadi kerusakan kawasan desa yang ada disekitar perluasan kota.[3]

Istilah urban sprawl lebih sering memiliki konotasi atau makna yang negatif. Ini merupakan sebuah kritikan karena menyebabkan degradasi lingkungan, mengintensifkan segregasi perumahan, dan merusak vitalitas daerah perkotaan yang ada dan diserang atas dasar estetika. Istilah ini juga merupakan seruan untuk mengelola perkotaan dengan penataan yang benar dan tepat.[4]

Definisi sunting

Penggunaan istilah "urban sprawl" tertuang pertama kali dalam majalah The Times pada tahun 1955 sebagai tanggapan negatif terhadap kawasan pinggiran kota negara London, Inggris. Definisi sprawl (penyebaran) sangat bervariasi, sehingga para peneliti di lapangan menganggap bahwa istilah "penyebaran" kurang presisi.[5] Dalam bukunya berjudul "Trafffic, Urban Growth and Suburban Sprwl", Batty dan teman-temannya mendefinisikan sprawl sebagai "suatu pertumbuhan yang tidak terkoordinasi, mencakup perluasan area komunitas tanpa memperhatikan konsekuensinya, sehingga pertumbuhan kota yang tidak terencana dan bertahap sering dianggap sebagai kawasan yang tidak berkelanjutan."[6] Kemudian, penulis bernama Bhatta dan temannya, menyimpulkan bahwa meskipun terjadi perbedaan pendapat dalam mendefinisikan istilah sprawl, namun terdapat arti umum yang tersirat, dimana sprawl merupakan sebuah pola pertumbuhan kawasan yang tidak merata atau tida terencana, dikarenaka adanya dorongan atau faktor tertentu yang mengarah kepada penggunaan sumber daya yang tidak efisien."[7]

 
Gambar ini menunjukkan wilayah metropolitan di Megalopolis Timur Laut Amerika Serikat, dimana terjadi perluasan kawasan perkotaan mencakup pinggiran kota dan cahaya kawasan pinggiran kota di malam hari.

Sementara itu, penulis lainnya yakni Reid Ewing, berpendapat bahwa sprawl dimaksudkan sebagai pembangunan perkotaan yang menunjukkan setidaknya salah satu dari beberapa karakteristik, yakni pembangunan dengan kepadatan penduduk yang rendah, pengembangan jalur, pengembangan sebaran penduduk, dan leapfrogging atau pembangunan kawasan yang diselingi dengan lahan kosong.[8] Ewing juga berpendapat bahwa cara untuk mengidentifikasi sprawl sebaiknya dengan cara menggunakan indikator daripada karakteristik, karena penggunaan indikator merupakan metode yang lebih fleksibel dan tidak sembarangan.[9] Dia mengusulkan indikator yang digunakan berdasarkan "aksesibilitas transportasi" dan juga "ruang publik fungsional".[9] Pendapat Ewing mendapat kritikan karena pendapatnya mengasumsikan bahwa sprawl didefinisikan oleh karakteristik yang negatif.[8]

Terlepas dari reputasinya yang terkenal di dunia sebagai kawasan urban sprawl dan budaya penggunaan mobil, namun secara paradoks, Los Angeles merupakan kawasan perkotaan besar terpadat di Amerika Serikat.

Kawasan Metropolitan Los Angeles, meskipun dikenal sebagai kota yang luas, namun juga merupakan wilayah perkotaan besar terpadat (lebih dari 1.000.000 penduduk) di Amerika Serikat, bahkan lebih padat daripada wilayah perkotaan New York dan wilayah perkotaan San Francisco.[10][11][12] Pada dasarnya, sebagian besar kawasan metropolitan Los Angeles dibangun dengan kepadatan penduduk yang rendah hingga kepadatan penduduk sedang. Dan hal ini berbeda dengan kota-kota seperti kota New York, kota San Francisco atau juga Chicago yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi bahkan sangat padat tetapi dikelilingi oleh kawasan yang luas dengan kepadatan penduduknya sangat rendah.

Kasus-kasus penyebaran penduduk internasional yang sering menimbulkan pertanyaan tentang definisi istilah ini dan kondisi seperti apa yang dibutuhkan untuk menggambar pertumbuhan kota yang dianggap luas. Termasuk diantaranya yilayah metropolitan seperti Greater Mexico City,[13] Wilayah ibukota nasional Delhi[14] dan juga kota Beijing, sering dianggap luas meskipun relatif padat.

Menurut data National Resources Inventory (NRI) Amerika Serikat, antara tahun 1992 hingga 2002, ada sekitar 8.900 kilometer persegi (2.2 juta acre) tanah di Amerika Serikat telah dikembangkan. Dan pada tahun 2006, NRI melaporkan ada sekitar 100.000 kilometer persegi lagi (40.000 mil persegi), kira-kira seukuran dengan wilayah Kentucky, yang telah dikembangkan menjadi kawasan perkotaan, hal ini juga telah diklasifikasi oleh Biro Sensus Amerika Serikat. Ada perbedaan dalam klasifikasi antara NRI dan Biro Sensus Amerika Serikat. Dalam laporan NRI, memasukkan pembangunan kawasan pedesaan, dan berdasarkan definisi, hal itu tidak diperhitungkan sebagai sprawl perkotaan. Hingga tahun 2000, menurut data sensus Amerika Serikat, sekitar 2,6 persen dari luas daratan Amerika Serikat adalah kawasan perkotaan.[15] Kira-kira 0,8 persen tanah negara Amerika Serikat berada di 37 daerah perkotaan dengan lebih dari 1.000.000 penduduk. Pada tahun 2002, 37 daerah perkotaan ini memiliki sekitar 40% penduduk dari total populasi di Amerika Serikat.[16]

Karakteristik sunting

Walaupun tidak ada definisi yang disepakati tentang sprawl, tetapi sebagian besar mengaitkan beberapa karakteristik sebagai bagian dari sprawl atau penyebaran perkotaan. Beberapa karakter yang dimaksud ialah;

Pengembangan sistem zonasi sunting

Sistem zonasi mengacu pada situasi di mana kawasan hunian, kelembagaan atau perkantoran dan kawasan industri dipisahkan satu dengan lainnya, sehingga bidang tanah yang luas dikhususkan untuk satu penggunaan saja dan dipisahkan oleh ruang terbuka, infrastruktur, atau hal lainnya. Dengan demikian, tempat tinggal, tempat bekerja, tempat berbelanja, dan tempat berekreasi memiliki jarak yang jauh. Sistem ini menjadi tidak ramah untuk berjalan kaki, adanya penggunaan transit, dan tidak praktis untuk pengguna sepeda , akhinrya kebutuhan untuk menggunakan mobil menjadi meningkat.[17]

Berdasarkan kriteria ini, urbanisasi di Tiongkok dapat diklasifikasikan sebagai kawasan high-destiny sprawl (perluasan dengan kepadatan tinggi). Istilah ini dicetuskan oleh ahli Urbanis baru, Peter Calthorpe. Menurut Peter, meskipun Tiongkok memiliki banyak gedung-gedung bertingkat tinggi, namun sebagian besar superblok Tiongkok (blok hunian-hunian bangunan besar) dikelilingi oleh jalan arteri raksasa, sehingga ada pemisahan antar berbagai fungsi kota dan menciptakan kawasan yang tidak ramah bagi pejalan kaki.[18][19]

Perluasan kawasan pekerjaan sunting

 
Kemacetan lalu lintas di São Paulo, Brazil, dari majalah Time, tingkat kemacetan terparah di dunia.[20]

Perluasan atau penyebaran pekerjaan diukur dengan berbagai cara, dan menjadi tren yang berkembang di berbagai wilayah metropolitan di Amerika.[21] Brookings Institution telah menerbitkan banyak artikel tentang topik ini. Pada tahun 2005, seorang penulis bernama Michael Stoll mendefinisikan perluasan pekerjaan hanya sebagai pekerjaan yang terletak lebih dari radius 5-mil (8,0 km) dari Central Business District (CBD) atau kawasan pusat bisnis, dan mengukur konsep berdasarkan sensus Amerika Serikat tahun 2000.[22]

Cara lain untuk mengukur secara detail konsep perluasan kawasan pekerjaan yakni dengan menggunakan pola lingkaran atau cincin di sekitar CBD. Hal ini ditulis dalam artikel tahun 2001 oleh Edward Glaeser[23] dan juga artikel karya Elizabeth Kneebone tahun 2009. Mereka menyimpulkan dengan pola lingkaran bahwa kemudahan mendapat pekerjaan berada di kawasan pinggiran kota yang luas sedangkan kawasan yang lebih dekat dengan CBD cenderung mudah kehilangan pekerjaan.[24] Kedua penulis ini membuat tiga lingkaran berdasarkan geografis yang dibatasi pada radius 35-mil (56 km) di sekitar CBD: 3 mil (4,8 km) atau kurang, kemudian 3 hingga 10 mil (16 km), dan 10 hingga 35 mil (56 km). Berdasarkan studi Kneebone memberikan rincian tingkat nasional Amerika Serikat, untuk wilayah metropolitan di tahun 2006: 21,3% pekerjaan terletak di lingkaran dalam, 33,6% pekerjaan di lingkaran 3–10 mil, dan 45,1% di lingkaran 10–35 mil. Perbandingan dengan tahun 1998 - 23,3%, 34,2%, dan 42,5% di masing-masing lingkaran. Hasil studi ini menunjukkan bahwa ada penyusutan lowongan pekerjaan di kawasan CBD atau kawasan pusat bisnis, dan pertumbuhan lowongan pekerjaan berfokus di lingkaran luar, yakni kawasan pinggiran kota atau di luar kota.

Kepadatan rendah sunting

Ciri-ciri lain dari sprawl adalah memiliki tingkat kepadatan yang rendah.[8] Contoh dari hal ini ialah kawasan yang memiliki sedikit bangunan bertingkat, dan perumahan atau bangunan memiliki jarak yang lebih jauh antara yang satu dengan yang lain, dan biasanya dipisahkan oleh halaman, lanskap, jalan, atau tempat parkir. Untuk mengukur secara spesifik tentang kepadatan penduduk yang rendah secara umum, memiliki perbedaan di beberapa wilayah atau negara. Misalnya, di Amerika Serikat, kepadatan penduduk rendah jika terdapat 2–4 rumah saja per ekar, sedangkan di Inggris Raya, dianggap memiliki kepadatan penduduk rendah jika ada 8–12 rumah per ekar.[8] Beberapa penelitian berpendapat bahwa agama dapat memengaruhi tingkat kepadatan penduduk dan juga perluasan kawasan perkotaan.[25][26]

Dampak sunting

Lingkungan sunting

 
Perluasan perkotaan di Melbourne.

Penyebaran atau perluasan kawasan perkotaan memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Beberapa dampak negatif terhadap lingkungan yang paling utama terkait perluasan perkotaan ialah berkurangnya lahan, hilangnya berbagai habitat dan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Sebuah penelitian oleh Ceko dan rekannya[27] menemukan bahwa urbanisasi membahayakan lebih banyak spesies, dan perluasan kawasan perkotaan juga mengganggu habitat asli flora & fauna.[28] Kawasan yang memiliki tingkat kelahiran dan imigrasi yang tinggi akan menghadapi masalah lingkungan apalagi jika pembangunannya tidak terencana. Hal ini banyak terjadi di kota-kota besar berkembang seperti Kolkata di India.[29] Dampak lainnya yang ditumbulkan dari penyebaran perkotaan ialah banjir,[30] dan peningkatan suhu panas, sehingga terjadi peningkatan risiko kematian.

 
Area metro Chicago, yang dijuluki sebagai "Chicagoland".

Gordon & Richardson berpendapat bahwa konversi lahan pertanian menjadi kawasan perkotaan tidak menjadi masalah karena telah ada peningkatan efisiensi produksi pertanian. Menurut mereka, produksi pertanian agregat sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan global meskipun terjadi terjadi perluasan kawasan perkotaan.[31]

Kesehatan sunting

Perluasan perkotaan merupakan penyebab terjadi peningkatan mengemudi, dan dampaknya terjadi polusi udara yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Selain itu, berkurangnya aktivitas fisik karena adanya lonjakan penggunaan mobil berdampak negatif untuk kesehatan. Sehingga, terjadi masalah kesehatan yang kronis dan kualitas hidup yang menurun, tetapi tidak untuk gangguan kesehatan mental.[32] The American Journal of Public Health dan American Journal of Health Promotion, kedua artikel tersebut menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perluasan perkotaan, dengan obesitas, dan hipertensi.[33]

Keamanan sunting

Terjadinya peningkatan ketergantungan terhadap mobil dan motor, mengakibatkan adanya peningkatan kecelakaan mobil dan motor, cedera pejalan kaki, dan juga polusi udara.[34] Kecelakaan pengendara motor merupakan penyebab utama kematian akibat kecelakaan kendaraan di Amerika, khususnya warga berusia antara 5 hingga 24 tahun.[35] Penduduk yang tinggal di area yang lebih luas, memiliki risiko lebih besar untuk meninggal karena kecelakaan mobil disebabkan adanya peningkatan paparan saat mengemudi.[17] Untuk pejalan kaki yang tinggal di area yang luas memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecelakaan daripada pejalan kaki yang tinggal di area padat penduduk, dibandingkan dengan pengemudi dan juga penumpang kendaraan.[17]

Semetara itu, penelitian yang dilakukan oleh Journal of Economic Issues dan State and Local Government Review mengungkapkan bahwa ada hubungan antara perluasan perkotaan dengan respon layanan gawat darurat dan penundaan respon pemadam kebakaran.[36][37][38]

Perdebatan sunting

Rural neighborhoods in Morrisville, North Carolina are rapidly developing into affluent, urbanized neighborhoods and subdivisions. The two images above are on opposite sides of the same street.

Menurut Nancy Chin, dampak dari perluasan perkotaan telah dibahas dalam berbagai literatur akademis bahkan dibahas secara rinci. Akan tetapi, masalah yang paling diperdebatkan dapat direduksi menjadi "seperangkat argumen yang lebih lama, antara mereka yang mendukung pendekatan perencanaan dan mereka yang mendukung efisiensi pasar."[8] Kelompok yang mengkritik kebijakan perluasan cenderung berpendapat bahwa perluasan kota akan menciptakan lebih banyak masalah daripada menyelesaikan masalah yang ada, sehingga perluasan kota harus diatur dengan ketat. Kemudian kelompok yang mendukung bahwa pasar akan menghasilkan penyelesaian masalah secara ekonomi dan paling efisien dalam banyak situasi, bahkan jika pun ada masalah di dalamnya.[8]

Namun, beberapa pendapat yang mendukung pasar percaya bahwa pola penyebaran saat ini merupakan hasil dari distorsi pasar bebas.[8] Chin juga memperingatkan bahwa ada kekurangan "bukti secara empiris yang dapat diandalkan untuk mendukung pendapat baik yang untuk mendukung maupun yang menentang penyebaran". Dia menyebutkan bahwa adanya kekurangan secara definisi umum, termasuk dalam menghitung ukuran kuantitatif yang lebih luas baik dalam ruang dan waktu, dan juga perbandingan yang lebih besar bentuk perkotaan alternatif. Perbandingan ini sangat diperlukan untuk dapat menarik kesimpulan yang lebih tepat, dimana kedua kubu memiliki argumen yang lebih tepat untuk mendefinikan penyebaran perkotaan dengan baik.[8]

Gaya Pengembangan Alternatif sunting

Upaya awal memerangi perluasan kota sunting

 
Metropolitan Green Belt pertama yang diusulkan oleh London County Council pada tahun 1935.

Permulaan abad ke-20, para penentang terhadap perluasan lingkungan perkotaan mulai melakukan gerakan melalui gerakan taman kota, serta melakukan tekanan melalui kelompok kampanye seperti Kampanye untuk Melindungi Pedesaan Inggris atau Campaign to Protect Rural England (CPRE). Pada tahun 1934, di bawah kepemimpinan Herbert Morrison dari Dewan daerah London, membuat proposal resmi pertama dibuat oleh "untuk menyediakan ketersediaan ruang terbuka publik dan area rekreasi dan untuk membangun sabuk hijau atau korset ruang terbuka". Pada tahun 1944, proposal ini juga dimasukkan dalam Rencana London Raya yang dibuat oleh Patrick Abercrombie.[39]

Kemudian, adanya ketentuan baru yang tertuang dalam Undang-Undang Perencanaan Kota dan Negara 1947, memungkinkan otoritas lokal di seluruh bangsa untuk memasukkan proposal jalur hijau dalam rencana pembangunan pertama mereka. Batas pertumbuhan perkotaan pertama di Amerika Serikat berada di Fayette County, Kentucky pada tahun 1958.[40]

Inisiatif anti-perluasan kontemporer sunting

 
Banyak kota-kota di Kanada memiliki tingkat kepadatan tinggi bahkan hingga di kawasan pinggiran kota yang paling jauh. Sehingga, beberapa kawasan di pinggiran kota Kanada memiliki Skylines yang menyaingi kota-kota besar di Amerika Serikat. Dalam foto ini adalah Burnaby, British Columbia, kawasan pinggiran kota Vancouver.

Beberapa tahun terkahir, istilah "pertumbuhan cerdas" (smart grouth) banyak digunakan di Amerika Utara. Sementara istilah "kota kompak" (compact city) atau "intensifikasi perkotaan" (urban intencification) sering digunakan di Eropa untuk menggambarkan konsep serupa dalam memengaruhi kebijakan pemerintah dan praktik perencanaan pembangunan perkotaan. Negara bagian Oregon di Amerika Serikat memberlakukan undang-undang pada tahun 1973 dengan membuat batasan yang dapat dihuni di wilayah perkotaan, melalui aturan batas-batas pertumbuhan perkotaan. Dan akibatnya, Portland di Oregon, menjadi kawasan perkotaan terbesar di negara bagian Oregon, dan menjadi pemimpin dalam kebijakan pertumbuhan cerdas (disebut kebijakan konsolidasi perkotaan). Setelah adanya peraturan pembatasan kawasan yang dapat dihuni, kepadatan penduduk di wilayah urban meningkat dari 1.135 tahun 1970[41] menjadi 1.290 per km² di tahun 2000.[42]

Referensi sunting

  1. ^ Fouberg, Erin Hogan (2012). Human geography: people, place, and culture. Murphy, Alexander B.; De Blij, Harm J. (edisi ke-10th). Hoboken: Wiley. hlm. 560. ISBN 978-1118018699. OCLC 752286985. , diakses 31 Desember 2020
  2. ^ Sarkodie, Samuel Asumadu; Owusu, Phebe Asantewaa; Leirvik, Thomas (2020-03-05). "Global effect of urban sprawl, industrialization, trade and economic development on carbon dioxide emissions". Environmental Research Letters (dalam bahasa Inggris). 15 (3): 034049. Bibcode:2020ERL....15c4049S. doi:10.1088/1748-9326/ab7640 . ISSN 1748-9326. , diakses 31 Desember 2020
  3. ^ Caves, R. W. (2004). Encyclopedia of the City . Routledge. hlm. 626. ISBN 9780415252256. , diakses 31 Desember 2020
  4. ^ James, Paul; Holden, Meg; Lewin, Mary; Neilson, Lyndsay; Oakley, Christine; Truter, Art; Wilmoth, David (2013). "Managing Metropolises by Negotiating Mega-Urban Growth". Dalam Harald Mieg; Klaus Töpfer. Institutional and Social Innovation for Sustainable Urban Development. Routledge. , diakses 31 Desember 2020
  5. ^ Audirac, Ivonne; Shermyen, Anne H.; Smith, Marc T. (December 31, 1990). "Ideal Urban Form and Visions of the Good Life Florida's Growth Management Dilemma". Journal of the American Planning Association. 56 (4): 470–482. doi:10.1080/01944369008975450.  hlm. 475, diakses 31 Desember 2020
  6. ^ Batty, Michael; Besussi, Elena; Chin, Nancy (November 2003). "Traffic, Urban Growth and Suburban Sprawl" (PDF). UCL Centre for Advanced Spatial Analysis Working Papers Series. 70. ISSN 1467-1298. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal December 10, 2020. Diakses tanggal December 10, 2020. 
  7. ^ Bhatta, B.; Saraswati, S.; Bandyopadhyay, D. (Desember 2010). "Urban sprawl measurement from remote sensing data". Applied Geography. 30 (4): 731–740. doi:10.1016/j.apgeog.2010.02.002. , diakses 31 Desember 2020
  8. ^ a b c d e f g h Chin, Nancy (March 2002). "Unearthing the Roots of Urban Sprawl: A Critical Analysis of Form, Function and Methodology" (PDF). University College London Centre for Advanced Spatial Analysis Working Papers Series. 47. ISSN 1467-1298. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal December 10, 2020. Diakses tanggal December 10, 2020. 
  9. ^ a b Ewing, Reid (1997). "Is Los Angeles-Style Sprawl Desirable?". Journal of the American Planning Association. 63 (1): 107–126. doi:10.1080/01944369708975728. 
  10. ^ "Growth in Urban Population Outpaces Rest of Nation, Census Bureau Reports". US Census. Diakses tanggal 10 Desember 2020. 
  11. ^ Barragan, Bianca (2015-02-17). "Los Angeles is the Least Sprawling Big City in the US". Curbed. Vox Media. Diakses tanggal 10 Desember 2020. 
  12. ^ Eidlin, Eric. "What Density Doesn't Tell Us About Sprawl". ACCESS. The Regents of the University of California. Diakses tanggal 10 Desember 2020. 
  13. ^ Monkkonen, Paavo (2011). "Do Mexican Cities Sprawl? Housing Finance Reform and Changing Patterns of Urban Growth". Urban Geography. 32 (3): 406–423. doi:10.2747/0272-3638.32.3.406. 
  14. ^ "India Can't Afford to Get Urbanization Wrong". CityLab (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 10 Desember 2020. 
  15. ^ Lubowski, Ruben N.; Marlow Vesterby, Shawn Bucholtz, Alba Baez, and Michael J. Roberts (31 Mei 2006). Major Uses of Land in the United States, 2002 Diarsipkan 9 April 2007 di Wayback Machine.. Economic Research Service . Diakses pada 10 Desember 2020.
  16. ^ USA Urbanized Areas: 2000 Ranked by Population. Demographia, 25 Agustus 2002. Diakases tanggal 10 Desember 2020.
  17. ^ a b c Frumkin, Howard (May–June 2002). Urban Sprawl and Public Health. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 10 Desember 2020.
  18. ^ Peter Calthorpe (7 Juli 2016). "China chokes on high-density sprawl". Public Square: A CNU Journal. Congress for the New Urbanism. , diakses 31 Desember 2020
  19. ^ Peter Calthorpe (2016). "Urbanism and Global Sprawl". State of the World. Can a City Be Sustainable?. State of the World. Washington, DC: Island Press. hlm. 91–108. doi:10.5822/978-1-61091-756-8_7. ISBN 978-1-61091-756-8. , diakses 31 Desember 2020
  20. ^ Andrew Downie (21 April 2008). "The World's Worst Traffic Jams". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-26. Diakses tanggal 10 Desember 2020. 
  21. ^ "Residential Construction Trends in America's Metropolitan Regions". Smart Growth. Washington, D.C.: U.S. Environmental Protection Agency (EPA). 27 Juli 2016. 
  22. ^ Stoll, Michael A. (2005). Job Sprawl and the Spatial Mismatch between Blacks and Jobs. Washington D.C.: Brookings Institution, Metropolitan Policy Program. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 6, 2008. Diakses tanggal December 10, 2020. 
  23. ^ Glaeser, Edward (2001). Job Sprawl: Employment Location in U.S. Metropolitan Areas. Washington D.C.: Brookings Institution, Metropolitan Policy Program. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Desember 2020. Diakses tanggal 31 Desember 2020. 
  24. ^ Kneebone, Elizabeth (2009). Job Sprawl Revisited: The Changing Geography of Metropolitan Employment. Washington D.C.: Brookings Institution. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 10, 2020. Diakses tanggal December 10, 2020. 
  25. ^ Allam, Zaheer. (2020). Theology and urban sustainability. Cham: Springer. ISBN 978-3-030-29673-5. OCLC 1120695363. , diakses 31 Desember 2020
  26. ^ Scarrow, Ryan (September 2019). "Graves or people". Nature Sustainability (dalam bahasa Inggris). 2 (9): 787. doi:10.1038/s41893-019-0383-2 . ISSN 2398-9629.  , diakses 31 Desember 2020
  27. ^ Czech, Brian; Krausman, Paul R .; Devers, Patrick K. (2000). "Economic Associations among Causes of Species Endangerment in the United States". BioScience. 50 (7): 593. doi:10.1641/0006-3568(2000)050[0593:EAACOS]2.0.CO;2 . Diakses tanggal 10 Desember 2020. 
  28. ^ McKinney, Michael L. (2002). "Urbanization, Biodiversity, and Conservation". BioScience. 52 (10): 883. doi:10.1641/0006-3568(2002)052[0883:UBAC]2.0.CO;2 . Diakses tanggal 31 Desember 2020. 
  29. ^ Fenger, J (1999). "Atmospheric Environment, Vol. 33, no. 29". hlm. 4877–4900. Diakses tanggal 31 Desember 2020. 
  30. ^ "Surface Runoff – The Water Cycle". Water Science School. Reston, VA: United States Geological Survey. 15 Desember 2016. , diakses 31 Desember 2020
  31. ^ Gordon, Peter; Richardson, Harry (Summer 2001). "The Sprawl Debate: Let Markets Plan" (PDF). Publius: The Journal of Federalism. 31 (3): 131–149. doi:10.1093/oxfordjournals.pubjof.a004901. Diakses tanggal 10 Desember 2020. 
  32. ^ Sturm, R.; Cohen, D.A. (31 Desember 2020). "Suburban sprawl and physical and mental health". Public Health. 118 (7): 488–496. doi:10.1016/j.puhe.2004.02.007. PMID 15351221. 
  33. ^ McKee, Bradford. "As Suburbs Grow, So Do Waistlines Diarsipkan 10 Desember 2020 di Wayback Machine.", The New York Times, 4 September 2003.
  34. ^ De Ridder, K (2008). "Simulating the impact of urban sprawl on air quality and population exposure in the German Ruhr area. Part_II_Development_and_evaluation_of_an_urban_growth_scenario". Atmospheric Environment. 42 (30): 7070–7077. Bibcode:2008AtmEn..42.7070D. doi:10.1016/j.atmosenv.2008.06.044. , diakses 31 Desember 2020
  35. ^ U.S. Death Statistics. The Disaster Center. diakses 31 Desember 2020
  36. ^ Lambert, Thomas E.; Meyer, Peter B. (2006). "Ex-Urban Sprawl as a Factor in Traffic Fatalities and EMS Response Times in the Southeastern United States" (PDF). Journal of Economic Issues. 40 (4): 941–953. doi:10.1080/00213624.2006.11506968.  [pranala nonaktif permanen], diakses 31 Desember 2020
  37. ^ Lambert, T. E.; Meyer, P. B. (2008). "Practitioner's Corner: New and Fringe Residential Development and Emergency Medical Services Response Times in the United States" (PDF). State. 40 (2): 115–124. doi:10.1177/0160323x0804000205. JSTOR 25469783.  , diakses 31 Desember 2020
  38. ^ Lambert, Thomas E.; Srinivasan, Arun K.; Katirai, Matin (2012). "Ex-urban Sprawl and Fire Response in the United States". Journal of Economic Issues. 46 (4): 967–988. doi:10.2753/JEI0021-3624460407.  , diakses 31 Desember 2020
  39. ^ "Planning Policy Guidance 2: Green belts" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal December 31, 2020. 
  40. ^ Kolakowski, K., P. L. Machemer, J. Thomas, and R. Hamlin. 2000. Urban growth boundaries: a policy brief for the Michigan Legislature. Urban and Regional Planning Program, Department of Geography, Michigan State University, Lansing, Michigan, USA. Available online at: http://www.ippsr.msu.edu/Publications/ARUrbanGrowthBound.pdf Diarsipkan 2009-02-06 di Wayback Machine.
  41. ^ "US Urbanized Areas: 1950–1990: Data". demographia.com. Diakses tanggal 31 Desember 2020. 
  42. ^ "USA Urbanized Areas: 2000 Ranked by Population (465 Areas)". demographia.com. Diakses tanggal 31 Desember 2020.