Perang Alaka (bahasa Belanda: Alaka-oorlog; bahasa Portugis: Guerra Alaka), dikenal juga sebagai Perang Hatuhaha, adalah rangkaian perang yang terjadi antara Persekutuan Hatuhaha (Uli Hatuhaha) dengan Portugis dan VOC di Pulau Haruku.

Perang Alaka (I–II)
Tanggal1571, 1637–1638
LokasiPulau Haruku
Hasil Portugis menyerah, VOC menguasai sebagian Kepulauan Maluku
Pihak terlibat
Persekutuan Hatuhaha
Negeri Tuhaha

Portugis

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC)
Tokoh dan pemimpin
Perang Alaka I:
Kapitan Aipassa
Kapitan Patilapa
Kapitan Soumaha
Perang Alaka II:
Kapitan Polattu
Kapitan Pattipeiluhu
Kapitan Sasabone
Monia Latuwaria
Tidak diketahui
Kekuatan
Tidak diketahui Tidak diketahui

Sejarah

sunting

Menurut cerita lisan yang dituturkan oleh tetua negeri, negeri-negeri yang tergabung dalam Uli Hatuhaha pada awalnya berasal dari Pulau Seram (Nusa Ina). Negeri-negeri ini kemudian keluar dari Pulau Seram karena terjadinya konflik antar suku antara kelompok Alune dan Wemale. Mereka melakukan perjalanan untuk mengungsi atau menyelamatkan diri dari perang yang terjadi. Selain itu, proses perpindahan ini juga bisa disebut sebagai migrasi karena dilatarbelakangi oleh sifat nomaden demi memenuhi kebutuhan hidup secara sosial dan ekonomi. Para leluhur Uli Hatuhaha ini terpaksa meninggalkan Pulau Seram dan singgah di sebelah timur Pulau Haruku. Leluhur Uli Hatuhaha ini disebutkan berasal dari Semenanjung Huamual di bagian barat Pulau Seram.[1]

Komunitas yang berasal dari leluhur Uli Hatuhaha ini kemudian berkembang menjadi lima negeri, yakni Hulaliu, Kabauw, Kailolo, Pelauw, dan Rohomoni.[2] Mereka termasuk ke dalam negeri rumpun Patalima. Sedangkan negeri-negeri lainnya yang tidak termasuk dalam kelompok Patalima, mereka berasal dari rumpun negeri Patasiwa. kelompok ini mendiami wilayah di sekitar Gunung Huruwano yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Haruku. Rumpun negeri Patasiwa tersebut menamakan komunitas mereka dengan sebutan Uli Buangbesi.[1]

Pada masa kedatangan bangsa Portugis ke Pulau Haruku pada tahun 1527, mereka saat itu berniat untuk mencari rempah-rempah dan juga ingin melakukan proses penginjilan. Kedatangan bangsa Portugis itu ternyata membawa konflik dengan masyarakat lokal. Penjajahan dan penanaman paksa menjadi target operasi Portugis di seluruh Maluku, termasuk di Pulau Haruku. Sikap inilah yang menyebabkan masyarakat Uli Hatuhaha menentang keberadaan bangsa Portugis di wilayah mereka.[2] Tahun-tahun berikutnya kemudian 'diwarnai' oleh perselisihan antara kedua pihak, hingga kemudian datangnya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada abad ke-16 untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku.[1]

Perang Alaka I

sunting

Pada tahun 1571, terjadi perang antara Uli Hatuhaha dengan bangsa Portugis. Perang ini kemudian dikenal sebagai Perang Alaka I. Pada perang ini, negeri Tuhaha di Pulau Saparua mengirimkan pemuda-pemuda yang diambil dari sembilan soa, dengan dipimpin oleh Kapitan Aipassa, Kapitan Patilapa, dan Kapitan Soumaha sebagai bala bantuan untuk Uli Hatuhaha. Perang ini terjadi di beberapa tempat, diantaranya di Kabauw, Kailolo, Rohomoni, dan jalur menuju Gunung Alaka. Setelah perang berakhir, para kapitan dari Tuhaha tersebut melakukan konsolidasi dan memperoleh hasil bahwa beberapa pemuda dinyatakan telah meninggal dunia dalam peperangan tersebut. Jenazah mereka kemudian dikuburkan di suatu tempat khusus yang bernama Ama Hatuhaha di Gunung Alaka. Sejak saat itu, Uli Hatuhaha mengangkat sumpah dengan negeri Tuhaha sebagai orang basudara yang kemudian diabadikan dengan ikatan pela, yakni pela batu karang.[3]

Perang Alaka II

sunting

Pada 5 Maret 1637, dimulai perang antara Uli Hatuhaha dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang juga dikenal sebagai Perang Alaka II. Salah satu tokoh terkenal dalam perang ini adalah Monia Latuarima, seorang panglima perang wanita dari Uli Hatuhaha.[4] Dalam peperangan ini, Uli Hatuhaha kembali mendapatkan bantuan dari Tuhaha sebagai bentuk solidaritas pela. Pada tahun 1638, pasukan negeri Tuhaha dibawah pimpinan Kapitan Sasabone, Kapitan Pattipeiluhu, dan Kapitan Polattu yang diperintahkan oleh Upu Latu Ulisiwa Kapitan Aipassa untuk bergabung dengan Uli Hatuhaha dan membantu mereka dalam peperangan. Akan tetapi, Kapitan Pattipeiluhu berhasil ditangkap oleh VOC dan kemudian dipenjara. Setelah mendengar Kabar kekalahan mereka, Kapitan Aipassa memutuskan untuk berangkat ke Pulau Hatiku dan memimpin peperangan bersama dengan kapitan dari Uli Hatuhaha. Pada peperangan ini, VOC berhasil dikalahkan oleh pasukan Uli Hatuhaha dan Tuhaha. Pihak negeri Tuhaha sendiri dirugikan dengan gugurnya beberapa pasukan pada pertempuran ini. Namun, hal ini justru semakin mempererat hubungan pela antara negeri Tuhaha dengan Uli Hatuhaha, khususnya negeri Rohomoni. Sejak saat itu, Rohomoni dan Tuhaha mengangkat sumpah dalam ikatan pela minum darah.[3]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Tuanakotta, Nelson (2015). "ALAKA: Pemahaman Negeri Hulaliu dan Pelauw Terhadap Alaka Sebagai Simbol Integrasi Negeri-Negeri Hatuhaha Amarima". Magister Sosiologi Agama Program Pascasarjana FTEO-UKSW. Salatiga, Indonesia: Universitas Kristen Satya Wacana. Diakses tanggal 11-06-2024. 
  2. ^ a b Rumahuru, Yance Z. (2010). ""Muslim Hatuhaha" Di Pulau Haruku Maluku Tengah". Masyarakat Indonesia. Ambon, Indonesia: Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon. 36 (1): 101–121. Diakses tanggal 11-06-2024. 
  3. ^ a b Pattiasina, Sharon Michelle O. (2022). "Tiang Rohomoni: Memaknai Simbol Budaya Berbasis Agama di Gedung Gereja Pniel, Tuhaha, Maluku". Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan. Palangka Raya, Indonesia: Institut Agama Kristen Negeri Palangka Raya. 10 (2): 299–314. doi:10.21043/fikrah.v10i2.15336. ISSN 2354-6174. Diakses tanggal 11-06-2024. 
  4. ^ R.L. Lestaluhu, H. Maryam (1988). Sejarah perlawanan masyarakat Islam terhadap imperialisme di daerah Maluku. Bandung, Indonesia: PT. Al-Ma'arif. hlm. 276. Diakses tanggal 11-06-2024.