Perbatasan Indonesia–Timor Leste
Perbatasan Indonesia–Timor Leste mencakup perbatasan darat dan maritim antara Indonesia dan Timor Leste. Perbatasan Indonesia dengan Timor Leste merupakan sejarah panjang antara Portugis dan Belanda. Pulau Timor dijajah oleh dua bangsa Barat: Timor bagian barat dijajah oleh Belanda, sedangka Pulau Timor bagian timur dijajah oleh Portugis. Hal yang menarik bagi Belanda dan Portugis untuk berkuasa di Pulau Timor adalah kayu cendana yang pada waktu itu menjadi komoditas dagang yang istimewa.[1]
Perbatasan darat Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste adalah antara Kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka, dengan daratan utama Timor Leste, sementara itu ada pula perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Kupang, dengan eksklave Oecussi-Ambeno. Panjang perbatasan darat ini adalah 268,8 km.[1][2]
Sementara itu, perbatasan maritim Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste adalah di Laut Timor.
Sejarah
suntingSebelum kedatangan bangsa barat, Pulau Timor dikuasai oleh kerajaan besar yang bernama Kerajaan Wehali. Kerajaan ini membawahi banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di seluruh pulau Timor. Setelah Kerajaan Wehali dihancurkan oleh ekspedisi yang dilancarkan Portugis, maka dengan mudah kerajaan-kerajaan kecil dapat dikuasai oleh Portugis dan Belanda.
Selama berada di Pulau Timor, Portugis dan Belanda selalu bermusuhan. Puncaknya terjadi pada tahun 1749. Terjadi perang besar antara Portugis dan Belanda yang dikenal dengan Pertempuran Penfui.[1] Peperangan dimenangkan pihak Belanda. Seusai perang, Portugis dan Belanda menandatangani Kontrak Paravicini pada tahun 1755 yang membagi Pulau Timor menjadi dua bagian tanpa menyebutkan detail tapal batas yang ada.
Beberapa kali perundingan antara pihak Portugis dan Belanda terjadi namun mengalami kegagalan dalam menetapkan tapal batas. Akhirnya Belanda dan Portugis membawa masalah pertikaian perbatasan ke Mahkamah Arbitrase Antarabangsa. Dalam keputusannya, Belanda menang atas daerah-daerah yang masih dipersengketakan. Setelah Indonesia merdeka, wilayah yang diklaim sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Namun wilayah pulau Timor bagian timur masih dikuasai Portugis.[1]
Integrasi Timor Timur ke Indonesia dan Perang Kemerdekaan
suntingPada tahun 1975 terjadi Integrasi wilayah Timor Portugis dengan wilayah Republik Indonesia. Integerasi diawali dengan Deklarasi Balibo yang memproklamasikan atas nama rakyat Timor Timur:
Timor Portugis bebas dari Penjajahan dan bergabung dengan bangsa Indonesia dan secara resmi wilayah Timor Timur bersatu ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Sejak itu, perbatasan yang semula sebagai perbatasan negara berubah menjadi perbatasan Provinsi Timor Timur dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Namun pada waktu yang hampir bersamaan, Fretilin memproklamasikan Republik Demokratik Timor Leste. Fretilin mengawali perlawanannya menentang pasukan ABRI dengan menerapkan strategi perang konvensional. Setelah mengalami pergolakan dan perjuangan memisahkan diri dari Negara Republik Indonesia pada tahun 1999, Provinsi Timor Timur pasca jajak pendapat melepaskan diri dari NKRI dan sejak saat itu, diberlakukan kembali perbatasan antara negara Indonesia di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan negara Timor Leste.[1]
Sengketa dan Insiden
suntingGaris perbatasan antar-negara Hindia Belanda dan Timor Portugis yang digambar tidak memiliki titik terang, sehingga persengketaan lahan terjadi. Persengketaan ini bukanlah masalah yang besar saat Timor Leste masih merupakan bagian dari Indonesia, tetapi ketika Timor Leste sudah melepaskan dirinya, sengketa ini menjadi masalah yang besar.
Sengketa Perbatasan Naktuka
suntingSalah satu sengketa lahan yaitu sengketa perbatasan Nakuta.[3] Nakuta terletak di Noel Besi-Citrana, antara Kabupaten Kupang dengan Distrik Oecusse. Setelah perundingan dari pihak Indonesia (Korem 161/Wirasakti Kupang, Raja Liurai, Raja Sonba’i, dan Raja Amfoang) dan Pihak Timor Leste (Raja Ambeno). Pada tahun 2017, sengketa lahan sebesar 1.069 Ha sudah menemui titik terang.
Sebenarnya sengketa perbatasan ini sudah pernah dibicarakan antara Indonesia dan Timor Leste sebelumnya, yakni pada 17 April 2003.[4]
Lintas Perbatasan
suntingAktivitas lintas batas antara Indonesia dan Timor Leste tidak membutuhkan Visa bagi warga Indonesia dan Timor Leste. Timor Leste sendiri baru membebas-Visa-kan warga Indonesia yang hendak berkunjung ke Timor Leste pada 26 September 2019.[5]
Antara Indonesia dengan daratan utama Timor Leste, ada 2 Pos Lintas Batas Negara utama yang bisa dilewati, yaitu PLBN Terpadu Motaain di Tasifeto Timur dan PLBN Motamasin di Kobalima Timur.
Sementara itu, antara Indonesia dengan eksklave Oecusse, ada 1 Pos Lintas Batas Negara utama yang bisa dilewati, yaitu PLBN Wini di Insana Utara.
Selain ketiga PLBN utama tersebut, ada pula beberapa pos lintas batas kecil antara kedua negara ini.
Perekonomian
suntingKegiatan perekonomian utama di kawasan perbatasan Indonesia–Timor Leste adalah pertanian lahan kering dan perkebunan. Komoditas utama yang dihasilkan berupa jambu mete, kelapa, kemiri, pinang, cengkih, vanili, kapas, lada dan pala.[6]
Penduduk di kawasan perbatasan Indonesia–Timor Leste juga mengadakan perdagangan lintas batas. Barang yang dijual berasal dari wilayah Indonesia di Atambua dengan tujuan perdagangan ke Timor Leste. Komoditas perdagangan utamanya berupa peralatan rumah tangga dan bahan makanan.[6]
Lihat Pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b c d e f "Perbatasan Timor Leste - Belajar Kemdikbud". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-21. Diakses tanggal 21 Desember 2018.
- ^ "Panjang Garis Perbatasan Indonesia & Timor Leste - Kemhan". Diakses tanggal 21 Desember 2018.
- ^ "Akhir Sengketa Lahan Indonesia & Timor Leste". Diakses tanggal 21 Desember 2018.
- ^ "Kesepakatan Para Raja RI-TL di Nakuta". Diakses tanggal 21 Desember 2018.
- ^ "Timor Leste Bebaskan Visa Bagi WNI". Radio Republik Indonesia.
- ^ a b Rusmiyati, dkk. (Desember 2022). Suniarti, Sri, ed. Manajemen Perbatasan (PDF). CV Cendekia Press. hlm. 50. ISBN 978-623-5466-12-5.