Perdamaian Augsburg

Perdamaian Augsburg merupakan dasar hukum permanen pertama dalam pengakuan iman Lutheranisme dan Katolik di Jerman. Perdamaian ini dideklarasikan pada tanggal 25 September 1555 oleh Dewan Kekaisaran Romawi Suci, dan pertama kali dirancang di Augsburg. Perdamaian Augsburg mengizinkan setiap raja menentukan agama apa yang akan dianut oleh wilayah kerajaannya, baik Katolik maupun Lutheranisme tanpa campur tangan Kekaisaran. Undang-undang ini secara resmi mengakhiri konflik antar kedua kelompok agama, meski kesepakatan ini tidak memuat ketentuan bagi denominasi Protestan lainnya, yaitu ajaran Kalvinisme.[1]

Perdamaian Augsburg
Halaman depan dokumen perdamaian Augsburg
Halaman depan dokumen perdamaian Augsburg, di Mainz, tahun 1555.
Tanggal25 Spetember 1555
LokasiAugsburg
PartisipanCharles V; Liga Schmalkaldic
Hasil(1) Penetapan asas cuius regio, eius religio.
(2) penetapan asas reservatum ecclesiasticum.
(3) Penetapan dasar hukum bagi dua agama yang diakui bersama yaitu Katolik dan Lutheranisme di negara-negara Kekaisaran Romawi Suci dengan Jerman sebagai bahasa resmi.

Gambaran umum sunting

Dewan Kekaisaran merancang Perdamaian Augsburg untuk mengakhiri perang, yang juga merupakan bentuk keterbukaan akan keragaman agama di Kekaisaran Romawi Suci. Perdamaian ini memperkenalkan asas "cuius regio, eius religio", yang memungkinkan setiap penguasa negara atau pemerintah memilih agama dari wilayahnya sendiri. Pasal 25 dalam kesepakatan ini mewajibkan 65 kota kekaisaran mengakui agama minoritas. Misalnya, meski sebagian besar penduduk kota adalah pemeluk Evangelis, namun harus tetap mengakui penduduk lainnya yang memeluk agama Katolik.[2] Undang-undang ini tidak memiliki dampak besar bagi sebagian besar wilayah kekaisaran, khususnya bagi wilayah dengan mayoritas pemeluk Protestan dan Katolik. Delapan kota yang tercantum dalam perdamaian tersebut telah mengakui dua iman, dengan Katolik sebagai iman minoritas. Dari delapan kota yang terlibat, empat kelompok kecil, termasuk Augsburg, mengizinkan pemeluk Lutheran dan kaum Katolik beribadah secara terbuka, memelihara gereja mereka sendiri, dan bekerja di ruang publik. Pada tahun 1549, Hans Jakob Fugger, wali kota Augsburg, diinterogasi oleh Kekaisaran supaya dapat hidup berdampingan dengan komunitas religius yang berbeda. Dewan Kekaisaran pada tahun 1555, menyampaikan permintaan mereka kepada Raja Ferdinand I supaya mempertahankan penduduk Augsburg dan tidak merasa terbebani atas pengakuan dua iman di wilayahnya, serta bersedia mengelola keduanya di masa depan.[2]

Pengakuan kedaulatan seorang raja atas agama wilayahnya, sebelumnya didasarkan pada asas "ubi unus dominus, ibi una sit religio", yaitu di mana ada seorang penguasa, di sana hanya ada satu agama penguasa. Pada perdamaian Augsburg ini para raja boleh memilih agamanya sendiri. Kemudian warga yang tinggal di wilayahnya wajib mengikuti agama pilihan raja tersebut. Hal ini tercantum dalam asas "reservatum ecclesiasticum". Para uskup yang berpindah agama dari Katolik ke Protestan setelah tahun 1552, dan mengalami perampasan harta, akan menerima ganti rugi setelah perdamaian ini. Ganti rugi ini dilakukan oleh orang-orang yang merebut hak milik mereka.[3] Asas fundamental ini juga menyebabkan perpindahan penduduk, dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu negara, karena agama penduduk wilayah tersebut berbeda dengan agama yang dipilih raja. Walaupun iman Protestanisme memperoleh pengakuan resmi dan mendapat wilayah khusus, hak mereka tidak terjamin secara yuridis. Perdamaian ini berlaku sebagai ketetapan gereja dalam Kekaisaran Jerman hingga dideklarasikannya Perdamaian Westfalen pada tahun 1648. Pada tahun 1556, kaisar Karl V turun takhta dan mengasingkan diri ke sebuah biara, lalu meninggal dua tahun kemudian.[3] Sebelum turun takhta, sang kaisar membagikan wilayah kekuasaannya kepada dua anaknya, yaitu Philip I di wilayah Spanyol dan Ferdinand I di wilayah Eropa Tengah yang terdiri dari: Austria, Bohemia, dan Hungaria. Perdamaian Augsburg pertama kali dilanggar oleh Ferdinand II dari Styria, saat terpilih sebagai Raja Bohemia. Dia menjalankan kebijakan diskriminasi agama, bahkan menutup beberapa gereja Protestan yang merupakan awal mula terjadinya peristiwa Pelemparan di Praha, yang juga sekaligus menandai dimulainya Perang Tiga Puluh Tahun.[4]

Asas utama sunting

Perdamaian Augsburg, menghasilkan tiga asas utama, yaitu:

  1. Asas cuius regio, eius religio (Inggris: whose region, his religion). Asas ini menentukan agama raja sebagai agama warga di wilayah kekuasaannya.[5] Asas ini juga menentukan pemisahan wilayah bagi orang dengan kepercayaan berbeda, dengan menjaga supaya orang-orang Katolik, Lutheran, dan Reformasi tetap terpisah dalam negara berbeda dan memberi sedikit toleransi terhadap penentang, juga memberi hak mereka untuk berpindah wilayah secara tertib, manakala pengakuan baru diberlakukan di negara tersebut.[6]
  2. Asas reservatum ecclesiasticum (reservasi keuskupan) yaitu asas yang digunakan untuk menyeimbangkan asas pertama yang hanya berlaku di negara-negara keuskupan. Jika seorang uskup agamawi mengubah agamanya, maka penduduk negara tersebut tidak harus melakukannya juga. Sebagai gantinya, apabila seorang uskup pindah agama maka ia harus mengundurkan diri dari jabatannya, dan digantikan oleh seorang Katolik; meski hal ini tidak tercantum dalam kesepakatan perdamaian.[7]
  3. Asas declaratio Ferdinandei (deklarasi Ferdinan) yaitu pengecualian bagi ksatria dan beberapa kota dari persyaratan keseragaman agama, khususnya bagi agama Reformasi yang telah dipraktekkan sejak pertengahan tahun 1520-an. Hal ini memungkinkan beberapa kota dengan penganut Katolik dan kaum Lutheran tinggal bersama. Asas ini melindungi otoritas keluarga raja, ksatria dan beberapa kota untuk menentukan keseragaman agama apa yang dimaksudkan di wilayah mereka. Raja Ferdinand I memasukkan ini pada menit terakhir, atas dorongannya sendiri.[8] Asas ketiga ini tidak diterbitkan sebagai bagian dari kesepakatan perdamaian Augsburg serta dirahasiakan selama hampir dua dasawarsa.[7]

Persoalan tersendiri sunting

 
Augsburg: dua menara Protestan (di latar depan) dan gereja Katolik berdiri untuk perdamaian religius.

Perdamaian Augsburg hanya mendamaikan hubungan dua kepercayaan hingga beberapa saat. Namun perdamaian ini menyebabkan atlas keberagamaan Jerman menuju keterbukaan. Pada Perdamaian ini tidak mengenal kebebasan beragama yang sebenarnya.[3] Namun perdamaian ini merupakan langkah penting dalam keterbukaan Kekaisaran di Eropa yang tidak lagi didasarkan pada agama yang sama, walaupun belum sampai pada penerimaan secara umum terhadap kebebasan beragama.[6] Meskipun warganegara penganut Katolik dan Lutheran diberi hak untuk pindah ke suatu wilayah di mana agama penguasa di tempat itu lebih toleran,[6] teks perdamaian tetap mempertahankan konsep lama yang mendasarkan kesatuan politis pada kesatuan agama. Sistem agama tunggal di Eropa dengan demikian roboh dengan sendirinya. Kemudian diganti dengan kesatuan agama di setiap wilayah.[3] Seperti halnya yang ditulis dalam pasal 25 dan pasal 16,[6] serta pasal 23 yang menyatakan bahwa "Tidak ada satu wilayah pun yang boleh membujuk warga atau penduduk wilayah lainnya untuk meninggalkan agama mereka maupun melindungi mereka, baik hakim mereka sendiri".[9]

Beberapa persoalan lain pada kesepakatan ini adalah tidak adanya pengakuan atau bentuk toleransi terhadap pemeluk ajaran lain dari keyakinan Kristen, khususnya pemeluk Kalvinisme. Konflik antara Katolik dan Protestan, Lutheran dan Kalvinis berlangsung di wilayah Eropa Tengah dan Eropa Utara.[6] Selain itu, Takhta Suci masih belum rela agamanya berunding dengan para "pemberontak", yang diakhiri dengan kekalahan politik keagamaan Takhta Suci. Sementara itu, Takhta Suci sendiri hanya memperhitungkan kekuasaan politik dan tidak peduli pada korban yang berjatuhan hanya karena perbedaan agama. Akibatnya perubahan pada level teritorial, konstitusional dan peta gerejawi ini menimbulkan sikap saling membenci antar pengikut Kristus, khususnya di wilayah Jerman.[3] Persoalan ini terus bermuara hingga terjadinya Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Perang ini diakhiri dengan Perdamaian Westfalen pada 24 Oktober 1648, yang mengakui kesamaan hak dan kewajiban semua warga tanpa membeda-bedakan agama antara Katolik, Lutheranisme, dan Kalvinisme. Perdamaian ini merupakan langkah maju menuju toleransi hidup beragama yang didasarkan pada sikap menghargai antar manusia.[3] Kesepakatan Perdamaian Westfalen merupakan hasil perundingan dua fraksi. Fraksi pertama bekerja sama dengan Prancis, dan berlangsung di Münster. Fraksi kedua bekerja sama dengan Swedia, dan berlangsung di Osnabrück. Takhta Suci tidak terwakili dalam konferensi-konferensi tersebut, dan mengecam kesepakatan Perdamaian Westfalen dengan Bulla Zelo Domus Dei pada 26 November 1648.[3] Pada Bulla Zelo Damus Dei, Paus Innosensius X mencela aspek-aspek keagamaan yang disepakati dalam traktat-traktat Perdamaian Westfalen sebagai hal yang "batal, kosong, tidak valid, tidak layak, tidak adil, salah, terkutuk, sembrono, tidak punya kekuatan, atau pengaruh". Meskipun demikian, perjanjian tersebut tetap dihormati oleh negara-negara yang terlibat.[10] Ajaran Lutheranisme diresmikan di Takhta Suci Roma, sembilan tahun setelah Luther wafat.[11]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "Peace of Augsburg". https://www.britannica.com/event/Peace-of-Augsburg (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-2.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  2. ^ a b Hanson, Michele Zelinsky. (2009). Religious Identity in an Early Reformation Community. Leiden: Koninklijke Brill NV. hlm. 217-218. ISBN 978-90-04-16673-8. 
  3. ^ a b c d e f g Kristiyanto, OFM, Eddy. (2004). Reformasi dari dalam, Sejarah Gereja Zaman modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. hlm. 67–69. ISBN 979-21-0910-2. 
  4. ^ Polimpung, Hizkia Yosie. (2014). Asal usul Kedaulatan : Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Jakarta: Penerbit Kepik. hlm. 114. ISBN 978-602-14261-2-8. 
  5. ^ Lothar, Schreiner. (2003). Adat dan injil: perjumpaan adat dengan iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: Gunung Mulia. hlm. 110–111. ISBN 979-415-118-1. 
  6. ^ a b c d e Lindholm, Tore.; Durham, W. Cole.; Tahjib-Lie, Bahia G. (2010). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek (Terj.). Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. hlm. 73; 110–111. ISBN 978-979-21-2489-7. 
  7. ^ a b Parker, Geoffrey.; Adams, Simons. (1987). The Thirty Years' War). Military Heritage Press. hlm. 17. ISBN 0880292962. 
  8. ^ Holborn, Hajo. (1982). A history of modern Germany 1902-1969. Princeton: Princeton University Press. hlm. 244–245. ISBN 9780691007953. OCLC 9001904. 
  9. ^ Benecke, Gerhard. (1978). Germany in the Thirty Years War. London: Arnold. hlm. 8. ISBN 9780691007953. 
  10. ^ Nussbaum, Arthur. (1947). A Concise History Of The Law Of Nations. New York: Macmillan Co. hlm. 116. ASIN B0007DNQE2. 
  11. ^ Collins, Michael.; Price, Matthew A. Price. (2006). The Story of Christianity : Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. hlm. 67–68. ISBN 979-21-0910-2. 

Bacaan lanjut sunting

Pranala luar sunting