Periklanan di televisi
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |
Televisi
suntingTelevisi adalah sebuah media telekomunikasi yang dikenal sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam putih) maupun warna.[1] Televisi merupakan media paling berpengaruh dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil. Unsur esensial dari televisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pelajaran, ilmu, dan hiburan. Sajian dalam bahasa audio visual lebih mudah diingat daripada yang ditulis dan dibaca.[2]
Televisi mulai ada di Indonesia sekitar tahun 1962 yaitu bertepatan pada pelaksanaan Asian Games IV di Jakarta. Peresmian televisi dengan nama Televisi Republik Indonesia (TVRI) dibuka oleh Presiden Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1962. Tujuan utama dari pengadaan televisi itu adalah untuk meliput semua kejuaraan dan pertandingan selama pesta olahraga berlangsung. Perkembangan dunia pertelevisian Indonesia mulai marak sejak pemerintah mengeluarkan izin kehadiran televisi swasta untuk mengudara pada tahun 1989.
Hingga saat ini tak kurang dari 11 televisi swasta ada di Indonesia, di antaranya: RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang sekarang bernama MNCTV, ANTV, Indosiar, Metro TV, Trans TV, TV7 (sekarang bernama Trans7), Global TV, Lativi (sekarang bernama tvOne) dan NET.[3]
Televisi memiliki karakteristik sebagai berikut:[4]
- Audio Visual: Televisi memiliki kelebihan dapat didengar (audio) dan dilihat (visual). Karena sifat audiovisual ini, selain kata-kata televisi juga menampilkan informasi-informasi yang disertai gambar. Baik gambar diam seperti foto, gambar peta, maupun film berita yaitu rekaman peristiwa.
- Berpikir dalam Gambar: Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses ini. Pertama; visualisasi yaitu menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar-gambar. Kedua; penggambaran yaitu kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu.
- Cara kerja yang kompleks: Dibandingkan dengan radio, pengoperasian televisi lebih lebih kompleks karena lebih banyak melibatkan orang.
Perbedaan karakter televisi, radio dan media cetak:[5]
- Televisi: Dapat didengar dan dilihat, Dapat dilihat dan didengar kembali (bila diputar kembali), Daya rangsang sangat tinggi, Elektris, Biaya sangat mahal, Daya jangkau besar.
- Radio: Dapat didengar, Dapat didengar kembali (bila diputar kembali), Daya rangsang rendah, Elektris, Biaya relatif murah, Daya jangkau besar.
- Media Cetak: Dapat dibaca di mana dan kapan saja, Dapat dibaca berulang-ulang, Daya rangsang rendah, Pengelolaan bisa mekanik dan bisa elektrik, Biaya relatif rendah, Daya jangkau terbatas.
Periklanan
suntingPeriklanan merupakan sebuah proses komunikasi yang bertujuan untuk menciptakan awarness terhadap suatu produk ataupun jasa hingga bersifat persuasif dan melibatkan media massa, sehingga perusahaan pemilik produk ataupun jasa tersebut mengeluarkan biaya untuk pemasangan iklan di media massa.
Periklanan di Televisi
suntingTelevisi merupakan salah satu media massa yang cukup diminati oleh para advertiser (pengiklan) karena salah satu keunggulan media massa televisi adalah menciptakan daya rangsang yang kuat pada khalayak dibandingkan jenis media massa lainnya. Dengan memasang iklan di media massa televisi juga dapat memvisualisasikan atau mendemontrasikan produk atau jasa yang diperjualbelikan. Industri televisi swasta juga tak bisa lepas dari keberadaan para advertiser (pengiklan) ini karena untuk menghidupi industri yang begitu besar ini tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga membutuhkan keuntungan yang cukup besar. Sedangkan satu-satunya penghasilan dari industri televisi swasta adalah dari para advertiser (pengiklan). Sehingga keberadaan kedua pihak ini merupakan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan).
Konvensional
suntingPada awalnya periklanan di televisi hanya mengandalkan penjualan TVC (TV Commercials) atau spot di commercial break (jeda iklan di setiap program). Adapun spot yang dijual bisa berdurasi 60's, 30's, 15's dan 10's. Hal ini dianggap efektif oleh para advertiser (pengiklan) karena pada saat itu stasiun televisi di Indonesia masih terbatas serta teknologi yang ada masih belum berkembang dengan pesat seperti yang terjadi pada saat ini. Dengan adanya keterbatasan tersebut, maka khalayak tidak dapat menghindari munculnya iklan pada acara yang diselenggarakan oleh stasiun televisi dan khalayak yang dijangkau lebih luas.
Para advertiser (pengiklan) tidak sembarangan untuk melakukan placement iklan di semua stasiun televisi melainkan terlebih dahulu melihat rating dan share dari setiap acara yang diadakan oleh setiap stasiun televisi. Adapun pengertian dari rating adalah presentasi dari orang yang menonton suatu program terhadap seluruh populasi televisi (TV). Yang dimaksud dengan populasi TV di sini adalah semua orang yang berusia lima tahun ke atas yang mempunyai akses terhadap televisi di rumah tangganya masing-masing. Sedangkan share hanya menghitung orang yang saat itu sedang berada di depan TV karena selama 24 jam tidak mungkin semua populasi menonton TV bersama-sama.[6] Bertahun-tahun rating dan share dihitung oleh sebuah perusahaan bernama Nielsen dan menjadi barometer atau tolak ukur dari keberhasilan suatu acara di stasiun televisi. Kedua hal tersebutlah yang menjadi patokan survei oleh para advertiser (pengiklan) dengan dibantu oleh agency iklan. Tak mengherankan apabila terdapat sebuah acara yang memiliki rating dan share yang tinggi maka jeda iklan yang diberikan akan semakin lama untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Era Digital
suntingSeiring berjalannya waktu, televisi mengalami perkembangan. Kini mulai bermunculan televisi kabel maupun satelit sehingga menghadirkan stasiun televisi yang beragam tak hanya dari Indonesia melainkan dari berbagai negara di dunia. Pilihan khalayak kini pun menjadi beragam. Ditambah pada saat ini telah memasuki era digital, di mana teknologi internet semakin berkembang sehingga semakin menghadirkan berbagai jenis jejaring media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok hingga Youtube. Fenomena yang terjadi kini adalah smartphone ataupun tablet menjadi salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat perkotaan saat ini karena gadget tersebut tidak sekadar berfungsi sebagai alat komunikasi saja, melainkan sumber informasi, alat bantu kerja, hingga tempat berkeluh kesah yaitu dengan memanfaatkan jejaring media sosial yang ada dan bukan hanya digunakan karena fungsinya itu saja melainkan juga sudah menjadi lifestyle (gaya hidup) masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, periklanan di media televisi kini dianggap mengalami penurunan kualitas. Beragamnya media informasi saat ini membuat khalayak dapat dengan mudah menghindari iklan karena khalayak dapat beralih ke media informasi lainnya. Dan khalayak seakan-akan tidak bisa lepas dari gadget dan penggunaan gadget ini seakan tidak mengenal waktu. Dari bangun tidur hingga kembali tidur yang selalu menemani adalah gadgetnya. Meskipun khalayak sedang menyalakan televisi, bukan berarti mereka sedang menonton televisi. Melainkan mereka bisa saja melakukan aktivitas lainnya, terutama yang saat ini sedang sering terjadi adalah khalayak tetap memainkan gadget mereka pada saat menonton televisi. Hal ini lah yang luput dari perhitungan rating dan share. Perilaku khalayak tidak diperhitungkan. Sehingga keefektifan penyampaian pesan melalui iklan di televisi mulai diragukan.
Apabila hal ini dibiarkan terus terjadi tentunya industri televisi akan kehilangan kepercayaan para pengiklan sehingga bukan tidak mungkin industri ini akan mengalami kerugian yang besar. Namun ternyata yang terjadi saat ini, justru industri televisi melihat perkembangan teknologi internet sebagai sebuah peluang yang besar. Dengan mengintegrasikan internet maka televisi menjadi media massa yang memiliki kekuatan yang lebih besar. Apalagi saat ini konsep pemasaran telah menuju kepada konsep IMC (Intergrated Marketing Communication) yaitu sebuah konsep pemasaran dengan memadukan dan mengkoordinasikan semua saluran komunikasi guna penyampaian pesan yang efektif. Sehingga tidak hanya mengandalkan iklan saja melainkan dengan menggabungkan aktivitas public relations dan menggunakan berbagai media massa hingga jejaring media sosial.
Pendekatan 360°
suntingPendekatan 360° merupakan sistem periklanan baru yang mulai digunakan oleh setiap stasiun televisi saat ini. Sistem periklanan ini tidak hanya menjual iklan pada saat commercial break (jeda iklan), namun memberikan pengalaman baru kepada para advertiser (pengiklan) dengan memberikan perlakuan kepada khalayak melalui built in product di sebuah program ataupun blocking time (memblok waktu) hingga menggiringnya di beragam media sosial seperti facebook, twitter, instagram, hingga youtube serta melakukan pembuatan acara off air sehingga dapat menjangkau khalayak secara 360°. Perhitungan di beragam media sosial seperti facebook, twitter, instagram, hingga youtube dianggap lebih nyata dibandingkan perhitungan rating dan share pada televisi. Setidaknya dengan menerapkan pendekatan 360° ini khalayak yang dituju dapat lebih spesifik dan jumlah khalayak dapat diketahui dengan pasti.
Referensi
sunting- ^ Indah Rahmawati dan Dodoy Rusnandi, Berkarier di Dunia Broadcasting Televisi & Radio. Laskar Aksara. Bekasi. Hal 3
- ^ Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi. Pinus Book Publisher. Yogyakarta. 2007. Hal 17
- ^ https://theotherofmyself.wordpress.com/tag/perkembangan-televisi-di-indonesia/
- ^ Riswandi, Dasar-dasar Penyiaran.Graha Ilmu. Yogyakarta. 2009. Hal 5
- ^ Morissan, Manajemen Media Penyiaran; Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Media Grafika 77. Jakarta. 2008. Hal 11
- ^ http://www.perspektifbaru.com/wawancara/583/