Periklanan predator

Periklanan predator atau pemasaran predator didefinisikan sebagai praktik manipulasi kepada kelompok yang rentan seperti anak-anak untuk melakukan transaksi pasar yang tidak menguntungkan melalui eksploitasi yang tidak diungkap atas kerentanan ini. Kerentanan seseorang/populasi mungkin sulit untuk ditentukan, terutama karena kerentanan tersebut bergantung secara kontekstual dan mungkin tidak terjadi pada semua kondisi.[1]

Kampanye pemasaran predator juga menggunakan pesan palsu dan menyesatkan untuk memaksa orang melakukan transaksi asimetris.[2] Sejarah praktik ini sudah ada sejak periklanan muncul, namun praktik mengerikan ini bersamaan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Industri analisis data yang besar telah memungkinkan pemasar untuk mengakses informasi pribadi yang sebelumnya jarang dan tidak dapat diakses, memanfaatkan dan mengoptimalkannya melalui penggunaan algoritma. Beberapa contoh umum saat ini mencakup industri perguruan tinggi yang mencari keuntungan, lembaga keuangan tidak resmi, penargetan mikro politik, dan eksploitasi orang tua/anak. Banyak tindakan hukum telah diambil oleh pemerintahan untuk memitigasi praktik ini dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda.[3]

Kelompok target

sunting

Iklan predator sebagian besar bergantung pada eksploitasi yang direncakan kepada target individu berdasarkan kriteria tertentu, keadaan hidup, atau keanggotaan dalam kelompok tertentu. “Kerentanan” yang diciptakan oleh karakteristik ini bergantung pada konteks, artinya kerentanan tersebut bervariasi antara pasar dan transaksi. Dengan kata lain, individu yang memiliki beberapa atau salah satu dari kriteria tersebut tidak dianggap rentan secara umum dalam pasar.[1]

Selain itu, tidak semua pemasaran atau iklan yang menargetkan sifat-sifat ini bersifat "predator", karena kondisi praktik tersebut terutama bergantung pada niat pengiklan. Perbedaan ini bisa jadi tidak jelas mengingat kecenderungan alami pemasaran untuk mengidentifikasi calon konsumen. Meskipun demikian, bentuk-bentuk kerentanan yang paling umum yang sering menjadi target eksploitasi adalah:[4]

  1. Kerentanan Fisik, dimana keadaan biologis atau fisiologis tertentu membuat seseorang cenderung tidak menjadi target pemasaran. Contohnya adalah menargetkan individu yang kelebihan berat badan dengan suplemen penurun berat badan yang tidak efektif, atau mengiklankan perangkat "medis" yang tidak diatur kepada mereka yang menderita penyakit degeneratif atau penyakit menyakitkan lainnya.
  2. Kerentanan Kognitif, dimana defisiensi kognitif menyebabkan seseorang tidak dapat sepenuhnya memahami dan memproses iklan yang mungkin manipulatif. Contohnya tidak hanya terbatas pada penyandang disabilitas kognitif, namun juga dapat mencakup iklan yang menargetkan anak di bawah umur atau orang lanjut usia.
  3. Kerentanan Motivasi, dimana kondisi pribadi tertentu yang luar biasa dapat menghambat kemampuan seseorang untuk menolak atau menegosiasikan kemajuan pasar tertentu dengan tepat. Contohnya adalah iklan layanan pemakaman yang menaikkan harga kepada orang yang baru saja berduka.[5]
  4. Kerentanan Sosial, dimana keadaan sosial seseorang sangat meningkatkan kecenderungannya untuk terlibat dalam transaksi yang tidak menguntungkan. Contohnya termasuk pemasaran perguruan tinggi nirlaba.
  5. Kerentanan Emosional, yaitu keadaan emosi seseorang yang dimanfaatkan oleh pengiklan untuk menjual produk yang konon dapat mengatasi penyakit emosional tersebut. Jalur eksploitasi ini menjadi sangat relevan karena akses pemasar terhadap data pribadi semakin lengkap, dan algoritma menampilkan iklan yang relevan hampir secara bersamaan.
  6. Kerentanan Ekonomi, dimana keadaan ekonomi seseorang membatasi kemampuan mereka untuk terlibat dalam transaksi pasar alternatif, atau memanfaatkannya dalam skema pemasaran predator. Contohnya pemasaran pinjaman gaji yang berbunga tinggi kepada orang dengan kondisi keuangan tidak stabil yang tidak punya pilihan lain.

Taktik penipuan

sunting

Banyak pengiklan predator mengandalkan penggunaan klaim yang terbukti salah atau menipu untuk memaksa konsumen melakukan transaksi pasar. Hal ini mungkin sangat sulit untuk diklasifikasikan dan diatur karena beberapa klaim mungkin benar begitu saja, namun bergantung pada penghilangan informasi secara taktis atau keadaan kontekstual individu untuk menarik kesimpulan yang mungkin salah. Meskipun sebagian besar taktik ini mungkin wajar (dan diterima) dalam industri periklanan pada umumnya, taktik ini bisa bersifat predator jika digunakan dalam konteks tertentu. Para peneliti telah menyusun klasifikasi umum taktik ini untuk lebih memahami bagaimana taktik tersebut digunakan dalam lanskap pemasaran.[6]

Pernyataan palsu

sunting

Praktik ini mencakup klaim atau pernyataan yang terbukti salah seperti statistik atau klaim empiris lainnya. Misalnya, sebuah perguruan tinggi nirlaba mengklaim "98% lulusan kami mendapatkan pekerjaan dalam waktu satu bulan setelah kelulusan!" padahal sebenarnya hal ini tidak benar.[7]

Kelalaian

sunting

Pernyataan yang dibuat tentang suatu produk atau layanan yang tidak menyertakan informasi material yang relevan dengan klaim yang dibuat. Misalnya, sebuah iklan menyatakan bahwa "uji klinis telah membuktikan efektivitas suatu produk" padahal sebenarnya uji klinis tersebut mengukur efektivitas produk dalam konteks atau metrik yang berbeda dengan yang diiklankan.

Implikasi

sunting

Pernyataan yang mungkin benar, tetapi bermaksud untuk mengarahkan konsumen pada kesimpulan yang salah. Hal ini memanfaatkan informasi yang kurang dalam produk atau layanan atau lingkungan kontekstual konsumen.

Akses informasi pribadi

sunting

Data pribadi

sunting

Pemasar menggunakan basis data perusahaan sebagai pendekatan sistematis untuk mengumpulkan, mengonsolidasikan, dan memproses data calon konsumen mereka.[8] Eksploitasi data yang kebanyakan data pribadi akan digunakan untuk kepentingan komersial, terutama melalui iklan yang dipersonalisasi. Data ini dapat berupa jejak digital yang dikumpulkan oleh perusahaan, baik melalui cookie di situs web atau kode pelacak dalam email yang selanjutnya digunakan untuk menyusun profil pengguna. Hal ini memungkinkan penerapan strategi iklan penargetan mikro, seperti iklan yang dirancang khusus untuk kelompok demografis tertentu.[9]

Strategi ini menghasilkan pendapatan besar bagi perusahaan teknologi, namun sering kali melibatkan pelanggaran privasi pengguna tanpa kompensasi bagi pemilik data. Situasi ini mencerminkan lemahnya perlindungan data di era digital, baik di Indonesia maupun global.[9]

Penargetan algoritmik

sunting

Informasi konsumen yang dikumpulkan memungkinkan pengiklan untuk menargetkan iklan kepada individu secara spesifik.[10] Algoritma yang kompleks, ditambah dengan agregasi data yang sebelumnya terpisah, telah memungkinkan pengiklan untuk menargetkan karakteristik yang makin tepat sasaran serta menarik kesimpulan tentang individu berdasarkan statistik. Salah satu konsekuensi dari hal ini adalah bahwa terdapat informasi yang harusnya terlindungi, seperti hasil kesehatan, ras, atau riwayat keuangan dapat dikumpulkan tanpa ada yang mempermasalahkan.[3]

Contoh umum

sunting

Perguruan tinggi nirlaba

sunting

Sebuah laporan dari Kantor Akuntabilitas Pemerintah Amerika Serikat mengungkap praktik penipuan yang meluas di perguruan tinggi nirlaba, sebanyak empat di antaranya terlibat dalam praktik penipuan, sementara kelima belas institusi tersebut diketahui telah membuat pernyataan yang menipu mengenai pendaftaran, prospek pekerjaan, atau biaya kuliah.[11]

Pinjaman predator

sunting

Pemberi pinjaman predator mungkin menggunakan taktik pemasaran yang agresif untuk memikat orang agar meminjam uang. Praktik yang digunakan mencakup promosi penjualan yang sangat memaksa, panggilan telepon yang berlebihan atau iklan yang menyesatkan. Konsumen dapat terbujuk untuk berurusan dengan pemberi pinjaman predator melalui surat elektronik, telepon, TV, dan bahkan taktik penjualan dari pintu ke pintu yang agresif.[12]

Pesan politik

sunting

Iklan daring tertentu menggunakan konten politik dengan nada menghasut sebagai cara untuk menarik perhatian dan klik pembaca. Namun, tujuan sebenarnya dari iklan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan, baik dengan menjual produk, mengumpulkan informasi pribadi seperti alamat email, atau mendapatkan penghasilan melalui iklan di halaman target. Salah satu contoh iklan politik bermasalah adalah jajak pendapat atau petisi politik daring yang tampak seperti jajak pendapat atau petisi yang mendesak pembaca untuk memberikan suara pada isu politik. Adapun tujuan iklan tersebut sebenarnya bukan untuk mengukur opini publik tetapi mengumpulkan alamat email pembaca untuk dikumpulkan ke milis. Tujuan berikutnya adalah menggunakan email tersebut untuk meminta sumbangan kampanye, mengiklankan produk yang meragukan dan menyebarkan misinformasi politik.[13]

Individu yang berduka

sunting

Terdapat laporan tentang rumah duka yang memanfaatkan kerentanan emosional individu yang baru saja kehilangan orang yang dicintai dengan menjual layanan yang tidak diperlukan atau menaikkan harga paket pemakaman tradisional. Praktik ini begitu lazim sehingga Komisi Perdagangan Federal mengeluarkan mandat, yang dikenal dengan "Peraturan Pemakaman", yang menetapkan aturan untuk rumah duka, seperti persyaratan "daftar harga" yang dapat diakses konsumen, sehingga dapat membandingkan harga universal tanpa harus bertanya lebih jauh.[14]

Anak-anak/remaja

sunting

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan terhadap iklan, karena sebagian besar tidak dapat mengenali sifat persuasif dari konten yang bermotif komersial.[15] Meskipun terdapat peraturan untuk mengatur pemasaran anak-anak di televisi, inisiatif iklan yang menargetkan anak-anak di internet lebih sulit untuk diklasifikasikan dan diatur. Contohnya adalah "permainan iklan", atau, permainan online yang memanfaatkan konten bermerek yang secara tidak sadar mengarahkan preferensi merek tertentu.[16]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Garrett, Dennis E.; Toumanoff, Peter G. (2010). "Are Consumers Disadvantaged or Vulnerable? An Examination of Consumer Complaints to the Better Business Bureau". Journal of Consumer Affairs (dalam bahasa Inggris). 44 (1): 3–23. doi:10.1111/j.1745-6606.2010.01155.x. ISSN 1745-6606. 
  2. ^ Hotchkiss, Gord (2023-05-23). "Deconstructing A Predatory Marketplace". www.mediapost.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-13. 
  3. ^ a b Crain, Matthew (2018-01-01). "The limits of transparency: Data brokers and commodification". New Media & Society (dalam bahasa Inggris). 20 (1): 88–104. doi:10.1177/1461444816657096. ISSN 1461-4448. 
  4. ^ Brenkert, George G. (1998). "Marketing and the Vulnerable". Business Ethics Quarterly: 7–20. ISSN 1052-150X. 
  5. ^ "Funeral Rule". Federal Trade Commission (dalam bahasa Inggris). 2018-10-31. Diakses tanggal 2024-12-13. 
  6. ^ Xie, Guang-Xin; Boush, David M. (2011-10-31). "How susceptible are consumers to deceptive advertising claims? A retrospective look at the experimental research literature". The Marketing Review. 11 (3): 293–314. doi:10.1362/146934711X589480. 
  7. ^ "Fast Food 'False Advertising' Deemed Puffery, but Class Actions Persist". McDermott Will & Emery (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  8. ^ Gillis, Alexander (2022). "What is Database Marketing?". Search Customer Experience (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-13. 
  9. ^ a b Zaenudin, Ahmad (2017-07-12). "Menjaring Informasi Pribadi Demi Kepentingan Iklan". tirto.id. Diakses tanggal 2024-12-13. 
  10. ^ Evans, David S. (2009-09). "The Online Advertising Industry: Economics, Evolution, and Privacy". Journal of Economic Perspectives (dalam bahasa Inggris). 23 (3): 37–60. doi:10.1257/jep.23.3.37. ISSN 0895-3309. 
  11. ^ Adams, Caralee J. (2010-08-05). "GAO Reveals Fraud and Deception at For-Profit Colleges". Education Week (dalam bahasa Inggris). ISSN 0277-4232. Diakses tanggal 2024-12-13. 
  12. ^ Washington State Department of Financial Institutions. "Predatory lending". Predatory lending (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  13. ^ Eric; Wei; Gregersen; Kohno; Roesner (2021). "Polls, Clickbait, and Commemorative $2 Bills: Problematic Political Advertising on News and Media Websites Around the 2020 U.S. Elections". 2021 Internet Measurement Conference (IMC 2021). doi:10.1145/3487552.3487850. 
  14. ^ Australia, Business Insider. "STUDY: Upselling by predatory funeral directors can add 1000% to the cost of a funeral". Business Insider (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  15. ^ van Reijmersdal, Eva A.; Rozendaal, Esther; Smink, Nadia; van Noort, Guda; Buijzen, Moniek (2017-05-04). doi:10.1080/02650487.2016.1196904. ISSN 0265-0487 https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/02650487.2016.1196904.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  16. ^ Harris, Jennifer L.; Speers, Sarah E.; Schwartz, Marlene B.; Brownell, Kelly D. (2012-02-01). doi:10.1080/17482798.2011.633405. ISSN 1748-2798 https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17482798.2011.633405.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)