Perjanjian Moresby

Perjanjian Moresby adalah perjanjian anti-perbudakan yang ditandatangani oleh Sayyid Said, Sultan Muscat dan Oman, dan Fairfax Moresby, perwira senior Mauritius yang mewakili Britania Raya,[1] pada September 1822.[2][3]

Perjanjian ini awalnya terdiri dari enam poin.[4] Tujuan perjanjian ini adalah membatasi perdagangan budak Samudra Hindia dengan mencegah impor budak oleh jajahan Britania di India dan Samudra Hindia dari daerah yang dikuasai sultan Arab Oman di Afrika Timur.[3] Perjanjian tersebut melarang penjualan budak kepada orang Kristen di negara manapun,[5] mengakui kedaulatan sultan Oman atas perairan di dekat pesisir Afrika Timur,[6] mengizinkan pengiriman seorang perwakilan Britania ke Zanzibar atau Afrika Timur,[3] dan menciptakan Garis Moresby.

Garis Moresby sunting

Garis Moresby merupakan satu dari beberapa poin perjanjian ini. Garis ini membentang dari ujung selatan wilayah sultan di Afrika Timur, yaitu Tanjung Delgado di Mozambik, sampai kota Diu di pinggir pantai India.[2][6] Perdagangan budak ke arah barat garis tersebut yang didominasi oleh penduduk Muslim[7] dibolehkan asalkan tidak ke arah timur Garis Moresby.[8] Dalam menegakkan aturan ini, kapal perang diizinkan menangkap kapal-kapal yang mengangkut budak di perairan terlarang di sebelah timur Garis Moresby dan menghukum sang kapten layaknya bajak laut (hukuman mati tanpa hak agamawan).[6] Pengecualian diberikan kepada kapal-kapal yang keluar garis karena keadaan di luar kendali mereka, salah satunya cuaca buruk.[3] Pihak yang seharusnya menegakkan aturan ini tidak jelas karena teks perjanjian versi bahasa Inggris mencantumkan Oman, sedangkan versi bahasa Arabnya mencantumkan Britania Raya.[6]

Amendemen sunting

Pada tanggal 17 Desember 1839, cakupan perjanjian ini diperluas dengan menambahkan tiga poin.[9] Amendemen ini memperkecil wilayah perdagangan budak dengan memindahkan ujung Garis Moresby sedikit ke barat, tepatnya ke kota Pasni di pesisir Makran, Pakistan.[9] Selain itu, amendemen ini melarang perbudakan orang Somali karena mereka adalah Muslim dan dianggap sebagai 'orang bebas' oleh penguasa Oman yang juga seorang Muslim.[3]

Referensi sunting

  1. ^ Nicolini, B., & Watson, P. (2004). Makran, Oman, and Zanzibar: Three-terminal Cultural Corridor in the Western Indian Ocean, 1799-1856. Leiden: Brill Academic Pub., p 132
  2. ^ a b McIntyre, C., & McIntyre, S. (2009). Zanzibar. Guilford: Bradt Pubns.
  3. ^ a b c d e Nwulia, Moses D. E. "The Role of Missionaries in the Emancipation of Slaves in Zanzibar." Journal of Negro History. 60.2 (1975): 268-287.
  4. ^ Nicolini, B., & Watson, P. (2004). Makran, Oman, and Zanzibar: Three-terminal Cultural Corridor in the Western Indian Ocean, 1799-1856. Leiden: Brill Academic Pub.
  5. ^ Nicolini, B., & Watson, P. (2004). Makran, Oman, and Zanzibar: Three-terminal Cultural Corridor in the Western Indian Ocean, 1799-1856. Leiden: Brill Academic Pub., p.133
  6. ^ a b c d Nicolini, B., & Watson, P. (2004). Makran, Oman, and Zanzibar: Three-terminal Cultural Corridor in the Western Indian Ocean, 1799-1856. Leiden: Brill Academic Pub., p.134
  7. ^ Clarence-Smith, W. G. (2006). Islam and the abolition of slavery. New York: Oxford University Press, USA.
  8. ^ Gilbert, E., & Reynolds, J. T. (2008). Africa in World History: From Prehistory to the Present. Upper Saddle River, NJ: Pearson College Div., p. 233
  9. ^ a b Nicolini, B., & Watson, P. (2004). Makran, Oman, and Zanzibar: Three-terminal Cultural Corridor in the Western Indian Ocean, 1799-1856. Leiden: Brill Academic Pub., p. 143