Perjanjian Roem-Roijen

artikel daftar Wikimedia

Perjanjian Roem-Roijen (juga dieja Rum-Royen) adalah perjanjian yang dibuat antara pihak republik Indonesia dan Belanda pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes. Nama perjanjian ini diambil dari nama dua negosiator utama dalam pertemuan tersebut, yaitu Mohamad Roem dan Jan Herman van Roijen. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum terselesaikan sebelum kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.

Perjanjian Roem-Roijen
Ditandatangani7 Mei 1949 (1949-05-07)
LokasiHotel Des Indes, Jakarta
Suasana Konferensi Permulaan Meja Bundar. Tampak: Soepomo, Ali Sastroamidjojo, Mohamad Roem, Johannes Leimena, A.K. Pringgodigdo, Johannes Latuharhary, 17 April 1949
Menteri Luar Negeri Belanda van Roijen (rekaman Desember 1948, sebelum berangkat ke New York dalam perjalanan dari negosiasi Resolusi 67 Dewan Keamanan PBB yang akan memaksa Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia).

Diskusi

sunting

Negosiasi antara kedua belah pihak dimulai pada tanggal 14 April, tetapi menemui jalan buntu setelah seminggu, dengan pemimpin delegasi Belanda, Jan Herman van Roijen, menuntut penghentian perang gerilya dan persetujuan untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar oleh pihak Indonesia sebelum pimpinan republik diizinkan kembali ke Yogyakarta. Kepala delegasi republik Indonesia, Mohamad Roem, menolak tuntutan ini, dan mengatakan bahwa kepemimpinan republik harus dikembalikan ke ibu kota terlebih dahulu.[1] Amerika Serikat kemudian menekan pihak Indonesia untuk menerima persyaratan Belanda, yang dilakukan karena khawatir akan kehilangan dukungan AS jika menolaknya. Salah satu anggota delegasi Indonesia, Mohammad Natsir mengundurkan diri sebagai bentuk protes, namun kedua belah pihak mencapai kesepakatan pada tanggal 7 Mei.[2]

Poin-poin utama dari kesepakatan tersebut adalah:[3][4]

  • Angkatan bersenjata Indonesia untuk menghentikan semua kegiatan gerilya
  • Persetujuan pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar
  • Pemulihan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta
  • Pasukan Belanda menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang yang ditangkap sejak 17 Desember 1948
  • Belanda untuk tidak mendirikan negara federal lagi di wilayah Republik Indonesia Serikat di masa depan

Akibat

sunting

Pada intinya, Belanda telah mendapatkan konsesi yang mereka cari dari pihak Indonesia pada saat perundingan mengalami kebuntuan. Pembebasan para tawanan tetap dilakukan, tetapi Belanda mengklasifikasikan orang-orang yang ditahan setelah tanggal 10 Mei sebagai penjahat, sehingga tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan.[3] Pada tanggal 18 Juni, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, yang telah mengambil alih pemerintahan setelah serangan Belanda, memerintahkan pasukan republik untuk menghentikan aksi militer, dan pasukan Belanda terakhir meninggalkan wilayah Yogyakarta pada tanggal 30 Juni.

Pada tanggal 6 Juli, pemimpin republik Soekarno dan Hatta kembali ke ibu kota. Minggu berikutnya, mereka melanjutkan peran pemerintahan dan kabinet bersidang. Pada bulan Juli dan Agustus, para pemimpin republik mengadakan serangkaian pertemuan dengan Majelis Permusyawaratan Federal, yang mewakili negara-negara bagian yang didirikan di daerah-daerah yang dikuasai Belanda, untuk menyepakati bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merdeka. Penyerahan kedaulatan kepada RIS disepakati pada Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.[5][6][7]

Referensi

sunting
  1. ^ Kahin 1952, hlm. 421.
  2. ^ Kahin 1952, hlm. 422–423.
  3. ^ a b Kahin 1952, hlm. 423–424.
  4. ^ Ricklefs 2008, hlm. 371.
  5. ^ Kahin 1952, hlm. 427–428.
  6. ^ Ricklefs 2008, hlm. 372.
  7. ^ Feith 2008, hlm. 13.

Pranala luar

sunting