Persatuan Perjuangan

Persatuan Perjuangan adalah suatu organisasi massaa yang dibentuk di Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia, pada awal tahun 1946, yang bertujuan menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Organisasi ini dipelopori oleh Tan Malaka dan berhasil menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dan partai politik seperti Masyumi dan PNI, yang tidak puas dengan lambannya diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Ada lima pertimbangan mengapa Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan:

  1. Mengingat pertentangan antara kemauan dan tindakan Kepala Negara dengan kemauan dan tindakan Rakyat/Pemuda di mana-mana
  2. Mengingat pertentangan dan permusuhan partai-partai ( Islam kontra Sosialis di Pekalongan, Cirebon dan Periangen )
  3. Mengingat pemusuhan antara pasukan dan pasukan seperti sudah terbukti di Surabaya ( tembak menembak dari belakang! )
  4. Mengingat sikap dan tindakan Inggris yang mengakui kedaulatan Belanda atas bangsa Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya itu
  5. Mengingat akhirnya kedatangan Van Mook dengan usul Gemeenebest dan Rijksverbond-nya, cocok dengan pidato Wilheimina pada bulan Desember 1942

Pada kongres Persatuan Perjuangan di Solo, 15-16 Januari 1946, tidak berapa lama setelah deklarasi pendiriannya, organisasi ini mengeluarkan pernyataan politik yang disebut "Minimum Program" yang berisi

  1. Berunding dengan tujuan pengakuan kemerdekaan 100 persen
  2. Pemerintahan rakyat (kemauan pemerintah harus sesuai dengan kemauan rakyat)
  3. Tentara rakyat (kemauan tentara harus sesuai dengan kemauan rakyat)
  4. Menyelenggarakan tawanan Eropa
  5. Melucuti senjata Jepang
  6. Menyita hak dan milik musuh
  7. Menyita perusahaan (pabrik, dll) dan pertanian (perkebunan, pertambangan, dll) dari musuh

Pemerintah Sjahrir menganggap pandangan kelompok ini mustahil dilaksanakan dan karenanya terus melanjutkan politik diplomasinya. Dukungan massa terhadap kelompok Persatuan Perjuangan akhirnya memaksa Sutan Sjahrir meletakkan jabatannya dan membubarkan Kabinet Sjahrir I. Presiden Soekarno turun tangan dan meminta Sjahrir untuk kembali membentuk kabinet dan akhirnya terbentuklah Kabinet Sjahrir II pada awal tahun 1946.

Organisasi ini memainkan peran utama dalam penghapusan Daerah Istimewa Surakarta pada pertengahan 1946, ditengarai karena ketidakpuasan masyarakat Surakarta terhadap Kasunanan yang tidak populer pada saat itu.

Perselisihan antara kelompok Persatuan Perjuangan dan pemerintah parlementer akhirnya meledak dengan terjadinya Peristiwa 3 Juli 1946. Kelompok ini bubar dan tokoh-tokoh utamanya ditangkap dengan tuduhan berupaya melemahkan pemerintah.