Persepsi ujaran
Persepsi ujaran adalah proses interpretasi pesan dari seseorang yang melakukan ujaran atau berperan sebagai pembicara kepada seseorang yang berperan sebagai pendengar.[1] Ujaran merupakan tuturan langsung dari pembicara.[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ujaran juga berarti sebuah kalimat yang dilisankan seorang pembicara. Kalimat ini mengandung pesan yang ditujukan dari pembicara kepada pendengarnya. Adapun persepsi merupakan peristiwa ketika satu individu menafsirkan suatu pesan yang mereka dapat untuk kemudian diteruskan sesuai dengan tujuan pemberi pesan. Proses ini melibatkan tiga hal, yaitu pendengaran, penafsiran, dan pemahaman terhadap semua suara, ujaran, dan makna yang dihasilkan oleh penutur.[3]
Berbicara atau berkomunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari penutur kepada pendengar melalui suatu bahasa. Proses komunikasi akan berjalan dengan baik apabila pesan yang dikirimkan oleh pembicara dapat diterima oleh pendengar persis seperti yang dimaksudkan oleh penutur. Namun, jika makna dari pesan tersebut tidak dapat dipahami dengan baik oleh penutur, maka proses komunikasi bisa dikatakan gagal.[2] Dalam hal ini terjadilah sesuatu yang disebut dengan kesalahpahaman.
Persepsi terhadap suatu ujaran bukan sesuatu yang mudah dilakukan karena ujaran merupakan aktivitas verbal yang dilakukan tanpa adanya batasan. Ketika terjadi sosialisasi antara satu individu dengan individu lainnya, satu sama lain akan saling berkomunikasi dan persepsi ujaran otomatis terjadi di dalamnya.
Tahapan pemrosesan ujaran
suntingSadar atau tidak, komunikasi merupakan aktivitas kompleks yang melibatkan beberapa tahapan dalam proses ujarannya. Komponen utama ujaran ialah bunyi. Dalam linguistik sendiri, bunyi dibagi menjadi dua yaitu bunyi segmental dan bunyi suprasegmental atau prosodi.[4] Bunyi segmental terdiri dari vokal dan konsonan, sedangkan bunyi suprasegmental atau prosodi terdiri dari nada, tekanan, kekuatan, dan tempo ujaran. Pada dasarnya, terdapat tiga tahap dalam proses persepsi ujaran, yaitu tahap auditori, tahap fonetik, dan tahap fonologis.
Tahap auditori
suntingPada tahap ini orang mulai berbicara sedikit demi sedikit. Ujaran ini kemudian diperiksa dengan sifat akustiknya. Istilah-istilah seperti titik artikulasi, jenis artikulasi, kekhasan dan waktu onset suara atau voice onset time (VOT) sangat berguna di sini karena peristiwa semacam itu membedakan satu bunyi dengan bunyi lainnya. Bunyi-bunyi dalam ujaran itulah yang secara otomatis tersimpan dalam memori auditori.
Tahap fonetik
suntingPada tahap ini, suara-suara yang telah dikenali sebelumnya diidentifikasi secara otomatis oleh otak dan dimasukkan ke dalam memori fonetik. Perbedaan antara ingatan dalam memori auditori dan ingatan dalam memori fonetik adalah bahwa ingatan pada memori auditori semua variasi alofonik yang ada pada bunyi tersimpan semuanya, sedangkan ingatan pada memori fonetik hanya menyimpan fitur-fitur bunyi yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar bunyi /b/ dari kata ‘buntu’ maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem /b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian, /b/ sedikit banyak diikuti oleh bentuk bibir yang membundar (lip – rounding). Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena, begitu indra pendengar menangkap bunyi tersebut sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Bunyi /b/ tersebut tetaplah bunyi /b/ tanpa atau diikuti oleh bundaran bibir.
Tahap fonologis
suntingPada tahap ini, mental menerapkan aturan fonologis pada rangkaian bunyi yang didengar untuk menentukan apakah bunyi tersebut mematuhi aturan fonotaktik bahasa atau tidak. Mudahnya, nyaman atau tidaknya sebuah kata dapat didengar dan diterima. Dalam bahasa Indonesia, ketika seseorang mendengar susunan fonetis /m/ dan /b/, secara otomatis mereka akan melihatnya sebagai /mb/ karena secara fonotaktik bahasa Indonesia membolehkan susunan seperti pada kata ‘mbak’ dan ‘mbok’, meskipun keduanya diserap dari bahasa Jawa. Di sisi lain, penutur bahasa Inggris pasti akan membagi kedua bunyi ini menjadi dua suku kata yang terpisah, dan kombinasi bunyi yang tidak diperbolehkan oleh aturan fonologis bahasa tersebut.
Pola persepsi ujaran
suntingBerbagai pola persepsi ujaran telah dikembangkan untuk memahami komponen bahasa sebagai alat komunikasi. Beberapa pola hanya berfokus pada proses produksi atau persepsi ucapan saja, sedangkan pola lainnya menggabungkan proses produksi dan persepsi ucapan. Pola pertama kali dibuat dan dikembangkan sampai sekitar pertengahan abad ke-20. Untuk mendefinisikan suatu pola persepsi dengan tepat, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu dengan proses bottom-up dan proses top-down.[5] Dalam pemrosesan bottom-up, pendengar mempersepsikan kata terlebih dahulu untuk kemudian merangkai kumpulan kata tersebut dan membuatnya menjadi sebuah kalimat bermakna, sedangkan dalam pemrosesan top-down, pendengar mempersepsikan keseluruhan kata dan kemudian memecahnya menjadi bagian-bagian kecil untuk menentukan maknanya. Kedua proses tersebut merupakan tolok ukur dalam perancangan pola persepsi ucapan. Beberapa pola persepsi ujaran berdasarkan tahun diusulkannya teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.
Pola teori motor
suntingPola ini pertama kali dikembangkan oleh Liberman dan timya pada tahun 1967. Prinsip dasar dari model ini terletak pada produksi suara dalam saluran vokal pembicara.[6] Teori ini menyatakan bahwa pendengar mampu merasakan gerakan fonetik saat si pembicara tersebut berbicara. Kemudian pada tahun 1994, Goldstone menyempurnakan teori ini dengan gagasan istilah mengenai trading relations dan coarticulation.[7] Trading relations adalah konsep yang menyatakan bahwa tidak setiap gerakan fonetik dapat diterjemahkan secara langsung dan didefinisikan dalam istilah akustik. Ini berarti bahwa harus ada langkah lain untuk menafsirkan gerakan vokal. Adapun konsep coarticulation adalah terdapat variasi berbeda dalam satu daerah artikulasi yang sama. Sebagai contoh /b/ dengan /p/. Keduanya diproduksi di tempat yang sama yaitu saluran vokal, tetapi keduanya memiliki luaran suara yang berbeda.
Pola analisis dengan sintesis
suntingPola ini menyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya.[8] Misalnya dalam bahasa Indonesia pada kata /pola/. Pada awalnya, bunyi tersebut dianalisis dari fitur distingtif, kemudian diterjemahkan dalam format sintaksis hingga muncul beberapa bentuk yang serupa, seperti /mula/, /pula/, /kola/, /pola/. Dari bentuk-bentuk tersebut, akhirnya dipilihlah yang paling sama yaitu /pola/. Jika sudah pada kesimpulan akhir yang sama, maka persepsi tersebut benar.
Fuzzy logic model of perception (FLMP)
suntingFuzzy logic model of perception (FLMP) adalah terobosan yang berawal dari keraguan akan pola teori motor[9]. Kognisi kategoris bukanlah tanda bahwa otak memiliki modus khusus dalam hal pengelompokan fonem. Hal ini karena persepsi ucapan, sebenarnya dibentuk oleh tiga proses, yaitu evaluasi fitur, integrasi fitur dan kesimpulan.[3] Dalam pola ini, setiap nilai ideal dalam sebuah kata dapat memiliki bentuk prototipe, termasuk sifat spesifiknya. Informasi dari semua fungsi yang masuk dievaluasi, diintegrasikan, dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi prototipe yang sudah ada dalam memori. Sebagai contoh, saat mendengar bunyi /ba/, otak langsung mengasosiasikannya dengan fonem yang ideal dari suku kata tersebut, yaitu konsonan /b/ dan vokal /a/. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan diambil kesimpulan bahwa bunyi /ba/ sama dengan suku kata dari prototipe yang telah ada dalam memori. Pola ini dinamakan fuzzy atau kabur karena bunyi suku kata atau kata yang didengar tidak selalu sama persis 100 persen dengan prototipe yang telah ada dalam memori. Sebagai contoh kasus ketika ada seseorang yang mengucapkan /baraɳ/ hasilnya akan terdengar berbeda, antara saat ia mengucapkan kata tersebut tanpa mengunyah dengan saat ia mengucapkan kata tersebut sambil mengunyah.
Pola cohort
suntingPola ini diusulkan pada tahun 1980-an oleh Marslen-Wilson, sebagai representasi untuk pengambilan leksikal.[10] Menurut sebuah penelitian, rata-rata individu memiliki leksikon sekitar 45.000 sampai 60.000 kata. Asumsi dari pola ini adalah bahwa seorang pendengar memetakan kata-kata baru dengan kosakata yang sudah ada dalam kamus mentalnya. Setiap bagian dari tuturan dapat dipecah menjadi beberapa segmen. Semakin banyak segmen yang didengar, ia bisa menghilangkan kata-kata dari kamus mereka yang tidak berpola sama. Sebagai contoh, bila mendengar satu kata berawalan /p/ seperti /pahala/, semua kata dalam kamus mental yang berawalan /p/ akan muncul, seperti /pujaan/, /panitia/, /panjang/, /pendek/, /prihatin/, /peduli/, dan /pondok/. Kata-kata yang muncul inilah yang disebut dengan cohort. Kemudian kata-kata yang tidak mirip dengan target (panitia, pondok) akan tersingkirkan.
Pola trace
suntingPola ini digagas oleh James McCleland dan Jeffrey Elman. Pola ini didasarkan pada teori bahwa pada beberapa kasus, terdapat masalah yang dialami oleh pendengar ketika mereka mendengarkan suatu ujaran.[11][12] Permasalahan tersebut berupa bunyi yang terdengar tumpang tindih, pelafalan bunyi yang dipengaruhi oleh lingkungannya yaitu bunyi yang mendahului atau mengikuti bunyi setelahnya, dan aksen individual serta kebisingan lingkungan, tempat bunyi atau ujaran tersebut diperdengarkan.[11] Hal tersebut, membuat bunyi dari sebuah kata yang memiliki awalan sama otomatis aktif dalam ingatan. Permasalahan ini yang akhirnya membuat kesalahan dalam pendengaran. Seperti contoh saat seseorang mengatakan kata /menyulam/ dalam kondisi lingkungan yang bising atau jarak dari pendengar yang terlalu jauh, maka kemungkinan pendengar menangkap bunyi tersebut dengan kata /menyelam/.
Pola teori eksemplar
suntingAsumsi utama teori ini didasarkan pada hubungan antara ingatan dan pengalaman sebelumnya dengan kata-kata.[13] Pola ini mirip dengan pola cohort dan bertujuan untuk menjelaskan cara pada saat pendengar bisa mengingat episode akustik. Episode akustik merupakan pengalaman terhadap kata-kata yang diucapkan. Rincian kata didengar dan diingat secara spesifik oleh pendengar, jika kata tersebut akrab bagi pendengar, maka pendengar mungkin dapat mengenali kata-kata dengan lebih baik. Teori ini meyakini bahwa setiap kata meninggalkan kesan unik pada pendengar. Kesan inilah yang kemudian membantu pendengar dalam mengingat kata-kata. Semakin banyak perbaikan leksikal yang diperoleh dan semakin banyak kata-kata baru yang dipelajari, stabilitas memori seseorang akan kata-kata tersebut akan semakin meningkat.
Pola neurokomputasi
suntingPola neurokomputasi adalah pola pengolahan ujaran yang kompleks dan terdiri dari bagian kognitif, motorik, dan sensorik. Pola neurokomputasi merupakan salah satu dari beberapa pola yang memetakan jalur kerja di otak dalam proses produksi ujaran. Pola ini didasarkan pada fakta-fakta neurofisiologis dan neuropsikologi. Pola ini pertama kali digagas oleh Kroger dan timnya pada tahun 2009.[14] Mereka mensimulasikan jalur saraf mana saja di berbagai wilayah otak yang terlibat dalam proses pengujaran terutama ketika ujaran tersebut diproduksi dan dirasakan. Pengetahuan ujaran diperoleh dengan cara melatih jaringan saraf untuk mendeteksi suara di daerah kortikal dan sub-kortikal otak.
Pola aliran ganda
suntingPola ini didasarkan pada dua jaringan saraf yang memiliki fungsi berbeda dalam proses ujarannya dan informasi bahasa. Salah satu jaringan saraf, terutama yang berkaitan dengan informasi sensori dan fonologi, berkaitan dengan konseptual dan semantik. Adapun jaringan lainnya beroperasi dengan informasi sensorik dan fonologi berkaitan dengan motorik atau sistem artikulasi.[15] Dalam pola aliran ganda, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu kunci dari ujaran, produksi, dan persepsi. Sistem kerja pola aliran ganda berupa penerimaan representasi sensorik atau fonologis, baik secara konsep maupun motorik. Perlu digarisbawahi pula bahwa sistem konseptual dengan sistem motorik bukan hal yang sama, untuk itu harus ada dua aliran pengolahan yang berbeda. Pengolahan pertama diterima oleh sistem konseptual, sedangkan pengolahan lainnya diterima oleh sistem motorik.
Referensi
sunting- ^ Gleason, Jean. Berko dan Nan Bernstein Rartner, eds. (1998). Edisi Kedua: Psycholinguistics. New York: Harcourt Brace College Publishers.
- ^ a b Irham, Irham (2019). "Persepsi Ujaran dalam Konteks Psikolinguistik". Guiding World: Jurnal Bimbingan dan Konseling. Vol 2 (No 1).
- ^ a b Dardjowidjojo, Soenjono (2005). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- ^ Kushartanti (2005). Pesona bahasa langkah awal memahami linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 273.
- ^ Field, John (2003). Psycholinguistics. USA: Routledge.
- ^ Liberman (1967). "Perception of the Speech Code" (PDF). Psychological Review. 74: 431–461.
- ^ Goldstone, L (1994). "Influences of categorization on perceptual discrimination". Journal of Experimental Psychology. 123: 178–200.
- ^ Stevens, K. N (2002). "Toward a model of lexical access based on acoustic landmarks and distinctive features" (PDF)" (PDF). Journal of the Acoustical Society of America. 111 (4): 1872–1891. Archived from the original on 2007-06-09. Diakses tanggal 2023-04-12.
- ^ Massaro, D. W (1989). ""Testing between the TRACE Model and the Fuzzy Logical Model of Speech perception"". Cognitive Psychology. 21 (3): 398–421.
- ^ Marslen-Wilson, William D. (1987). "Functional parallelism in spoken word-recognition". Sience Direct. 25 (1-2): 71–102.
- ^ a b Su'udi, Astini (2011). Pengantar Psikolinguistik bagi Pembelajar Bahasa Perancis. Semarang: Widya Karya.
- ^ McClelland, James (1986). "The TRACE model of speech perception". Science Direct. Vol 18 (No 1): 1–86.
- ^ Goldinger, Stephen D (1996). "Words and voices: Episodic traces in spoken word identification and recognition memory". American Psychological Association. Vol 22 (No 5): 1166–1183.
- ^ Kröger, Bernd J. (2009). "Towards a neurocomputational model of speech production and perception". Speech Communication. 51 (9): 793–809.
- ^ Hickok, Gregory; Poeppel, David (2007). "The cortical organization of speech processing". Nature Reviews Neuroscience. 8: 393–402.