Pertempuran Tarakan (1945)
Pertempuran Tarakan adalah panggung pertama dalam kampanye Borneo 1945. Pertempuran ini bermula dengan pendaratan amfibi oleh pasukan Australia pada tanggal 1 Mei, dengan nama sandi Operasi Obo Satu. Walaupun pertempuran ini berakhir dengan kemenangan pasukan Sekutu atas Jepang, kemenangan ini umumnya dianggap tak setimpal dengan harga yang mesti dibayar Sekutu.
Pertempuran Tarakan (1945) | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Teater Pasifik Perang Dunia II | |||||||
Infantri Australia maju melalui tank penyimpanan minyak yang hancur di Bukit Tank, Tarakan. | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Australia Amerika Serikat Hindia Belanda | Jepang | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Brigadir David Whitehead | Mayor Tadai Tokoi | ||||||
Kekuatan | |||||||
15.532 | 2.200 | ||||||
Korban | |||||||
Lebih dari 251 gugur, lebih dari 669 terluka. Korban sipil tak diketahui. | 1.540 gugur, 252 tertangkap sebelum 15 Agustus 1945 |
Latar belakang
suntingTarakan ialah sebuah pulau lepas pantai Borneo. Luas pulau ini 303 kilometer persegi (117 mi²), sebagian besar diliputi oleh rawa atau bukit yang tertutup hutan lebat di masa pertempuran itu. Tarakan adalah salah satu bagian Hindia Belanda dan penting sebagai pusat produksi minyak, karena 2 ladang minyak di pulau ini memproduksi 80.000 barel minyak tiap bulan pada tahun 1941.[1]
Pendudukan Jepang
suntingMendapatkan ladang minyak Tarakan adalah satu tujuan awal Jepang selama Perang Pasifik. Jepang menyerang Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942 dan mengalahkan garnisun Belanda yang kecil dalam pertempuran yang berlangsung selama 2 hari di mana separuh pasukan Belanda gugur. Saat ladang minyak Tarakan berhasil disabotase oleh Belanda sebelum penyerahannya, Jepang bisa dengan cepat memperbaikinya agar bisa menghasilkan lagi dan 350.000 barel diproduksi tiap bulan dari awal tahun 1944.[2]
Menyusul penyerahan Belanda, 5.000 penduduk Tarakan amat menderita akibat kebijakan pendudukan Jepang. Banyaknya pasukan Jepang yang ditempatkan di pulau ini mengakibatkan penyunatan bahan makanan dan sebagai akibatnya banyak orang Tarakan yang kurang gizi. Selama pendudukan itu, Jepang membawa sekitar 600 buruh ke Tarakan dari Jawa. Jepang juga memaksa sekitar 300 wanita Jawa untuk bekerja sebagai "jugun ianfu" (wanita penghibur) di Tarakan setelah membujuk mereka dengan janji palsu mendapatkan kerja sebagai juru tulis maupun membuat pakaian.[3]
Arti penting Tarakan bagi Jepang makin menguap dengan gerak maju cepat angkatan Sekutu ke daerah itu. Tanker minyak Jepang yang terakhir meninggalkan Tarakan pada bulan Juli 1944, dan serangan udara Sekutu yang hebat pada tahun-tahun itu menghancurkan produksi minyak dan fasilitas penyimpanan di pulau itu.[4] Serangan ini juga membunuh beberapa ratus penduduk sipil Indonesia.[5] Sejalan dengan kepentingannya yang makin menurun, garnisun Jepang di Tarakan berkurang pada awal 1945 saat salah satu dari 2 batalion infantri yang ditempatkan di pulau itu (Batalion Infantri Independen ke-454) ditarik ke Balikpapan. Batalion ini dihancurkan oleh Divisi ke-7 Australia pada bulan Juli selama Pertempuran Balikpapan.[6]
Rencana Sekutu
suntingTujuan utama serangan Sekutu di Tarakan (nama sandi "Obo Satu") adalah mendapatkan dan mengembangkan lapangan udara di pulau itu agar bisa digunakan untuk mempersiapkan perlindungan udara untuk pendaratan berikutnya di Brunei, Labuan, dan Balikpapan. Tujuan sekunder operasi itu adalah merebut ladang minyak Tarakan dan dibawa ke dalam operasi itu sebagai sumber minyak untuk pasukan Sekutu di panggung ini.[7]
Di bawah perencanaan pra-serangan, diharapkan bahwa sayap pesawat tempur akan bermarkas di Tarakan 6 hari setelah pendaratan dan angkatan ini akan dikembangkan untuk juga menyerang sayap 9 hari kemudian dan mempersiapkan fasilitas untuk 4 skuadron berikutnya dalam 21 hari pendaratan.[8]
Penggagas rencana Sekutu memiliki intelijen di Tarakan dan pembelanya. Intelijen ini telah didapat dari sejumlah sumber seperti intelijen penghubung, penerbang pengintai dan pemotret serta pejabat kolonial Belanda.[9] Tarakan adalah prioritas pertama Services Reconnaissance Department (SRD) Australia dari bulan November 1944. Namun, kesulitan operasi penyusupan ke pulau kecil seperti itu dan perebutan kuasa dalam SRD menyebabkan organisasi hanya bisa memberi bantuan terbatas pada para penerbang.[10]
Pasukan yang berhadapan
suntingSekutu
suntingPasukan Sekutu yang bertanggung jawab untuk pendudukan Tarakan dipusatkan sekitar hampir 12.000 prajurit dari Grup Brigade ke-26 Australia. Brigade ke-26 dibentuk pada tahun 1940 dan menyusun 3 batalion infantri veteran yang telah menyaksikan gerakan di Afrika Utara dan Papua. Grup Brigade juga termasuk resimen artileri, skuadron tank dari Resimen Lapis Baja ke-2/9, skuadron komando, satuan perintis dan zeni. Satuan tempur itu didukung oleh banyaknya satuan logistik dan medis.[11] Sementara Grup Brigade ke-26 amat melebihi kekuatan pembela Jepang di Tarakan yang diketahui, Sekutu menjalankan angkatan yang besar ini karena pengalaman mereka sebelumnya menunjukkan akan sulit mengalahkan angkatan Jepang jika mundur ke pedalaman Tarakan yang keras.[12]
Grup Brigade ke-26 didukung oleh satuan udara dan laut Sekutu. Satuan udara didatangkan dari Australian First Tactical Air Force (1 TAF) dan United States Thirteenth Air Force dan termasuk skuadron tempur dan pengebom. Angkatan Laut didatangkan dari United States Seventh Fleet dan termasuk beberapa kapal perang dan pengangkut Royal Australian Navy. Karena tujuan utama menyerang Tarakan adalah untuk menggunakan lapangan terbang pulau itu, angkatan penyerang itu juga termasuk sejumlah besar satuan darat Royal Australian Air Force, termasuk Sayap Konstrukti Lapangan Udara No. 61[13]
Angkatan yang mendarat di Tarakan termasuk hampir 1000 pasukan AS dan Belanda. Pasukan AS termasuk zeni U.S. Army yang mengawaki kapal pendaratan pasukan penyerang dan LVT serta detasemen Seabee United States Navy di atas Landing Ship Tank. Angkatan Belanda diatur ke dalam 1 kompi dari infantri Ambon yang dikomandoi oleh perwiraBelanda dan satuan urusan sipil.[14]
Jepang
suntingPada saat pendaratan Sekutu, angkatan Jepang di Tarakan berjumlah 2.200 orang yang didatangkan dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Satuan terbesar adalah Batalion Infantri Independen ke-455 yang berkekuatan 740 orang yang dikomandoi oleh Mayor Tadai Tokoi. 150 pasukan pendukung AD juga ada di Tarakan. Sumbangan AL kepada garnisun Tarakan tersusun atas 980 pelaut yang dikomandoi oleh Komandan Kaoru Kaharu. Satuan laut utama adalah Angkatan Garnisun Laut ke-2 yang berkekuatan 600 orang. Satuan laut ini dilatih bertempur sebagai infantri dan mengoperasikan beberapa senapan pertahanan pesisir. 350 pekerja minyak sipil Jepang juga diharapkan bertempur pada saat serangan Sekutu. Angkatan Jepang termasuk sekitar 50 orang Indonesia yang berdinas di satuan pengawal pusat. Mayor Tokoi mengarahkan keseluruhan pertahanan Tarakan, meskipun hubungan antara AL dan AD buruk.[4]
Angkatan Jepang dipusatkan di sekitar Lingkas, pelabuhan utama Tarakan dan tempat satu-satunya pantai yang cocok untuk pendaratan pasukan.[15] Pembela itu telah menghabiskan waktu beberapa bulan sebelum serangan yang menyusun posisi bertahan dan menanam ranjau.[16] Pertahanan yang diatur itu banyak dipakai selama pertempuran, dengan taktik Jepang yang difokuskan pada posisi bertahan pra-persiapan yang kuat. Jepang tak melakukan kontra-serangan besar apapun, dan kebanyakan gerakan menyerang terbatas pada beberapa pihak penyerang yang mencoba menyelusup garis Australia.[17]
Operasi persiapan
suntingSebelum tibanya angkatan penyerang, garnisun Jepang di Tarakan dipusatkan pada serangan udara dan laut intensif antara tanggal 12-29 April.[18] Pengeboman udara atas Tarakan dipusatkan pada daerah yang berdampingan dengan pantai pendaratan yang direncanakan di Lingkas dan bertujuan menihilkan pertahanan Jepang di daerah itu. Tank penyimpanan minyak di Lingkas adalah sasaran utama karena ditakutkan minyak di tank-tank itu bisa meledak dan digunakan melawan pasukan Sekutu. Pengeboman itu memaksa sebagian besar penduduk sipil Tarakan untuk lari ke pedalaman.[19]
Karena perlu membersihkan banyaknya ranjau laut di seputar pulau itu dan rintangan pantai yang meluas di Lingkas, Sekutu tidak mencoba-coba pendaratan mendadak. Unsur pertama dari armada serangan tiba di lepas pantai pada tanggal 27 April, 4 hari sebelum tanggal pendaratan utama yang direncanakan. Operasi pembersihan ranjau diselesaikan pada tanggal 1 Mei yang akibatnya 2 kapal penyapu ranjau kecil rusak.[20]
Pada tanggal 30 April, Skuadron Komando Kavaleri ke-2/4 dan Deretan ke-57 dari Resimen Medan ke-2/7 mendarat di Pulau Sadau yang berdekatan untuk mendukung zeni yang ditugasi membersihkan rintangan lepas pantai basis penyerangan. Dengan cepat angkatan ini mengamankan pulau yang tak dipertahankan itu.[18] Pendaratan di Pulau Sadau adalah pendaratan pertama pasukan Australia di wilayah bukan Australia di Pasifik sejak akhir 1941 (keikutsertaan Australia dalam Kampanye Papua dari tahun 1942 dibatasi oleh porsi Australia di Papua).[16] Satu-satunya kehilangan Sekutu dalam operasi ini adalah USS Jenkins yang rusak saat menabrak ranjau selama membantu pendaratan.[21]
Tugas membersihkan rintangan pantai di Lingkas dibebankan kepada Kompi Medan ke-2/13. Pertahanan itu menyusun sederetan kawat berduri, pos kayu dan rel baja sepanjang 125 yar dari pantai. Pada pukul 11:00 pada tanggal 30 April, 8 pihak zeni maju di LVT dan mendaratkan kapal untuk membersihkan rintangan itu. Zeni-zeni itu didukung oleh senapan di Pulau Sadau serta kapal perang dan pesawat Sekutu. Beroperasi di tengah-tengah tembakan Jepang, zeni-zeni itu membersihkan semua rintangan yang menghalangi pendaratan ke pantai. Sementara korban parah telah diperkirakan, Kompi Medan ke-2/13 menyelesaikan tugasnya tanpa kerugian.[22]
Pertempuran
suntingPendaratan
suntingAngkatan penyerang utama tiba di pesisir lepas Tarakan di pagi hari tanggal 1 Mei. Didukung oleh pengeboman udara dan laut yang deras, Batalion ke-2/23 dan Batalion ke-2/48 melakukan pendaratan amfibi di sekitar pukul 08:00. Tiada perlawanan yang dihadapi di pantai, dan 2 batalion hanya mendapat sedikit korban yang membersihkan pertahanan pesisir. Pada dini hari, pendarat Australia di muka pantai meluas sampai 2.800 yar sepanjang pesisir dan lebih dari 2.000 yar ke pulau.[23] Sebagian satuan tempur Grup Brigade ke-26 yang tersisa, termasuk skuadron tank Matilda II, kemudian mendarat pada tanggal 1 Mei.[24] Korban Sekutu lebih kecil daripada yang diperkirakan, dengan terbunuhnya 11 orang dan terlukanya 35 orang.[25] Perlawanan Jepang yang lemah terjadi karena pengeboman yang deras sebelum pendaratan yang memaksa pembela Tarakan meninggalkan pertahanan kuat di Lingkas.[26]
Sementara infantri itu berhasil mengamankan muka pantai, pendaratan itu terhambat oleh keadaan pantai yang buruk. Banyak kendaraan Australia terjebak di lumpur Pantai Lingkas yang lunak, dan 7 LST kandas setelah komandannya salah menilai penarikan kapal itu ke pantai. Sedikitnya tanah padat di muka pantai menyebabkan kemacetan yang parah dan berakibat tak satupun dari senapan Resimen Medan ke-2/7 yang dipergunakan bertempur hingga siang pendaratan.[27] Kemacetan itu diperparah oleh banyaknya angkatan darat RAAF yang mendarat pada tanggal 1 Mei dengan kapal yang banyak.[28] 7 LST tak diapungkan lagi hingga tanggal 13 Mei.[29]
Setelah mengamankan muka pantai, Grup Brigade ke-26 maju ke timur masuk Kota Tarakan dan ke utara ke arah lapangan udara. Australia menghadapi perlawanan Jepang yang bertambah hebat karena mereka bergerak ke dalam pulau.[30] Tugas menduduki lapangan terbang Tarakan dibebankan kepada Batalion ke-2/24. Serangan awal batalion ke lapangan udara pada malam 2 Mei itu tertunda saat Jepang memasang muatan peledak, dan lapangan itu tak dapat direbut hingga tanggal 5 Mei.[31] Saat pendudukan lapangan udara itu mencapai tugas utama Grup Brigade ke-26, Jepang masih mempertahankan pedalaman Tarakan yang keras.[32]
Selama minggu pertama penyerangan, 7.000 pengungsi Indonesia melewati barisan Australia yang sedang maju. Jumlah ini lebih banyak dari yang diperkirakan, dan pengungsi itu, yang kesehatannya banyak memburuk, membanjiti satuan urusan sipil Belanda. Meskipun terjadi kerusakan di mana-mana akibat pengeboman dan serangan Sekutu, sebagian besar penduduk sipil menyambut pasukan Australia sebagai pembebas.[33] Ratusan penduduk sipil Indonesia kemudian bekerja sebagai buruh dan kerani untuk angkatan Sekutu.[34]
Menjamin keamanan dalam kota
suntingUntuk mengamankan pulau itu dan melindungi lapangan udara dari serangan, Grup Brigade ke-26 dipaksa membersihkan Jepang dari perbukitan di Tarakan yang diselimuti hutan. Sekitar 1.700 pasukan Jepang menggali parit pertahanan di utara dan tengah pulau. Posisi itu dilindungi oleh ranjau.[35] Saat menyerang posisi yang memina banyak pertempuran infantri, pasukan Australia banyak menggunakan artileri dan pasokan udara mereka untuk meminimalisasi korban.[36] Hal ini sejalan dengan perintah Jenderal Thomas Blamey untuk Grup Brigade ke-26 untuk maju secara hati-hati setelah lapangan udara direbut.[37] Tank-tank Australia hanya bisa menyediakan dukungan terbatas kepada infantri tersebut karena lebatnya hutan, rawa-rawa, dan bukit yang curam di Tarakan sering mengurung gerakan mereka ke jalanan. Sebagai akibatnya, umumnya tank tak dapat digunakan untuk membuka jalan bagi penyerangan, dan peranannya terbatas menyediakan tembakan untuk serangan infantri, dengan artileri yang menjadi sumber pilihan bagi dukungan langsung.[38] Deretan pasukan Jepang di Tanjung Djoeata di pesisir utara Tarakan dikalahkan oleh USS Douglas A. Munro pada tanggal 23 Mei.[39]
Batalion Perintis ke-2/3 dan kompi Hindia Belanda dibebani tanggung jawab mengamankan bagian tenggara Tarakan.[40] Perintis itu mulai maju ke timur Kota Tarakan pada tanggal 7 Mei namun menghadapi perlawanan kuat Jepang yang tak terduga. Dari tanggal 10 Mei, batalion itu tertahan di 'Helen', yang dipertahankan oleh 200 pasukan Jepang. Pada tanggal 12 Mei, Kopral John Mackey terbunuh setelah menduduki 3 pos senapan mesin Jepang sendirian. Secara anumerta Mackey dianugerahi Victoria Cross untuk tindakan kepahlawanan ini. Selama pertempuran di Helen, pengebom berat B-24 Liberator digunakan untuk pasokan udara dekat untuk pertama kalinya, dengan penempur P-38 Lightning menjatuhkan bensin kental segera setelah pengeboman. Gabungan ini sebagian terbukti efektif dan menjadi bentuk standar pasukan udara yang diminta oleh Australia. Angkatan Jepang menarik diri dari Helen pada tanggal 14 Mei setelah mendapat 100 korban, dan Batalion Perintis ke-2/3 mencapai pesisir timur Tarakan pada tanggal 16 Mei. Batalion itu menderita20 korban terbunuh dan 46 terluka dalam gerak maju ini.[41] Selama masa ini, kompi Hindia Belanda menjamin Tarakan selatan sisanya, dan menghadapi perlawanan kecil selama gerak majunya.[42]
Secara bertahap, garnisun Jepang dihancurkan, dan yang selamat meninggalkan posisi terakhir mereka di bukit dan mundur ke utara pulau pada tanggal 14 Juni. Pada hari tersebut, 112 buruh Tiong Hoa dan Indonesia meninggalkan daerah yang dikuasi Jepang dengan catatan dari perwira senior Jepang yang meminta bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik.[43] Saat Radio Tokyo mengumumkan bahwa Tarakan telah jatuh pada tanggal 15 Juni, perlawanan Jepang terorganisir terakhir dihadapi pada tanggal 19 Juni dan Whitehead tak menyatakan pulau itu aman hingga tanggal 21 Juni.[44][45]
Masalah pembangunan
suntingSaat infantri Grup Brigade ke-26 memerangi Jepang di perbukitan, zeni RAAF dari Sayap Konstruksi Lapangan Udara No. 61 ikut dalam usaha nekat untuk memasukkan lapangan udara Tarakan ke daftar operasi. Karena lapangan udara itu rusak berat akibat pengeboman sebelum serangan dan letaknya di dataran berawa, terbukti akan lebih sulit memperbaiki daripada yang diharapkan,[46] dan memakan waktu 8 minggu dan bukan 1 minggu untuk memperbaiki lapangan udara itu agar bisa dipakai. Digunakanlah secara meluas bahan dari plat baja bersambungan yang diletakkan seperti tikar. Sisa plat itu masih ada di parkir mobil di Bandara Tarakan.
Saat dibuka pada tanggal 28 Juni,[47] lapangan itu terlambat untuk bisa berperan dalam mendukung pendaratan di Brunei atau Labuan (10 Juni), maupun pendaratan di Balikpapan.[48] Namun RAAF Sayap No. 78 bermarkas di Tarakan dari tanggal 28 Juni dan terbang untuk mendukung dalam operasi di Balikpapan hingga akhir perang.[49] Serangan ke Tarakan juga membebaskan penduduk sipil dari pasukan pendudukan Jepang yang kejam.
Pembersihan
suntingMenyusul akhir perlawanan terorganisir, orang Jepang yang tersisa di Tarakan terpecah ke berbagai kelompok kecil yang menuju ke utara dan timur pulau. Satuan tempur Grup Brigade ke-26 dipindahkan ke bagian Tarakan di mana mereka menyapu orang Jepang. Banyak orang Jepang yang mencoba melintasi selat yang memisahkan Tarakan dari Kalimantan namun tertangkap oleh patroli AL Sekutu.[50]
Dari minggu pertama bulan Juli, orang Jepang yang selamat kekurangan makanan dan mencoba kembali ke kedudukan lama mereka di tengah pulau dan menyerang posisi Australia untuk mencari makanan. Karena lapar banyak orang Jepang yang menyerah. Satuan Australia melanjutkan patroli untuk mencari orang Jepang hingga akhir perang, dengan beberapa orang Jepang terbunuh ataupun menyerah tiap hari.[51] Patroli itu memakan 36 korban lagi antara tanggal 21 Juni-15 Agustus.[45] 300 orang Jepang lari dari penangkapan dan menyerah setelah akhir perang.[30]
Kejadian sesudahnya
suntingGrup Brigade ke-26 tetap di Tarakan sebagai tentara pendudukan hingga tanggal 27 Desember 1945, meskipun sebagian besar kesatuannya dibubarkan di bulan Oktober. Markas brigade itu dikembalikan ke Australia pada awal tahun 1946 dan secara resmi dibubarkan di Brisbane pada bulan Januari 1946.[52]
Ladang minyak Tarakan dengan cepat diperbaiki dan kembali berproduksi. Para insinyur dan teknisi tiba segera setelah pendaratan Sekutu dan pompa minyak pertama diperbaiki pada tanggal 27 Juni. Dari bulan Oktober, ladang minyak pulau itu memproduksi 8.000 barel tiap hari dan menyediakan lapangan kerja bagi banyak penduduk sipil Tarakan.[47]
Satuan Sekutu yang ikut bertempur menyelesaikan tugasnya dengan "kecakapan dan profesionalisme".[53] Dalam menyimpulkan operasi itu, Samuel Eliot Morison menulis bahwa "sama sekali hal ini merupakan operasi amfibi yang dilakukan dengan amat baik yang mencapai tujuannya dengan kerugian minimal".[54] Pertempuran Tarakan menekankan pentingnya peperangan pasukan gabungan, dan khususnya keperluan infantri untuk beroperasi dengan dan didukung oleh tank, artileri dan zeni selama peperangan di hutan.[31]
Lepas dari penilaian Morison, korban Grup Brigade ke-26 amat tinggi dibandingkan dengan pendaratan lain dalam kampanye Borneo. Brigade itu menderita korban lebih dari 2 kali dari Divisi ke-9 selama operasinya di Borneo Utara dan lebih dari 23 kematian daripada Divisi ke-7 yang datang di Balikpapan.[55] Korban Grup Brigade ke-26 yang lebih tinggi bisa diakibatkan oleh tidak bisanya garnisun Tarakan mundur seperti garnisun di Borneo Utara dan Balikpapan.[56]
Pencapaian angkatan pendaratan itu terhapus oleh fakta bahwa lapangan udara di pulau itu tidak bisa membantu aksi. Penilaian intelijen yang salah yang menyebabkan penerbang RAAF percaya bahwa lapangan udara itu bisa diperbaiki menggambarkan kegagalan utama.[36] Apalagi, prestasi RAAF di Tarakan sering buruk. Prestasi ini mungkin diakibatkan dari moral rendah yang lazim di sejumlah unit dan 'Pemberontakan Morotai' yang mengganggu 1 kepemimpinan TAF.[57]
Seperti kampanye Borneo lainnya, operasi Australia di Tarakan masih kontroversial.[58] Debat terus berlanjut atas apakah kampanye itu merupakan "pertunjukan tambahan" yang berarti, atau apakah dibenarkan dalam konteks operasi terencana untuk menyerang Jepang dan membebaskan Hindia Belanda lainnya, yang dijadwalkan bermula pada tahun 1946. Penilaian sejarawan resmi Australia Gavin Long bahwa "hasil yang dicapai tak membenarkan kerugian operasi Tarakan"[50] sesuai dengan pandangan yang umum dianut atas pertempuran itu.[30]
Catatan
sunting- ^ Long (1963). Halaman 406-408.
- ^ Stanley (1997). Halaman 7-9.
- ^ Stanley (1997). Halaman 8-9.
- ^ a b Stanley (1997). Halaman 9.
- ^ Stanley (1997). Halaman 57.
- ^ Long (1963). Halaman 503.
- ^ Long (1963). Halaman 406.
- ^ Long (1973). Halaman 447.
- ^ Stanley (1997). Page 58.
- ^ Stanley (1997). Halaman 59.
- ^ Stanley (1997). Halaman 29-41.
- ^ Long (1973). Halaman 448.
- ^ Stanley (1997). Halaman 41-42.
- ^ Stanley (1997). Halaman 42.
- ^ John Coates (2001), An Atlas of Australia's Wars. Oxford University Press, Melbourne. Halaman 280.
- ^ a b Stanley (1997). Halaman 66.
- ^ I Australian Corps (1980). Halaman 64-65.
- ^ a b Long (1963). Halaman 412.
- ^ Stanley (1997). Halaman 57-58
- ^ Samuel Eliot Morison (1959), The Liberation of the Philippines: Luzon, Mindanao, the Visayas 1944-1945. Little, Brown and Company, Boston. Halaman 259-262.
- ^ Gill (1968). Halaman 622.
- ^ Stanley (1997). Halaman 67-69.
- ^ Long (1973). Halaman 448-449.
- ^ Long (1963). Halaman 417.
- ^ Stanley (1997). Halaman 81.
- ^ I Australian Corps (1980). Halaman 61-62.
- ^ Stanley (1997). Halaman 74-76.
- ^ Stanley (1997). Halaman 78.
- ^ Stanley (1997). Halaman 114.
- ^ a b c Coulthard-Clark (2001). Halaman 252.
- ^ a b Coates (2001). Halaman 282.
- ^ Long (1963). Halaman 426.
- ^ Stanley (1997). Halaman 98.
- ^ Stanley (1997). Halaman 133.
- ^ Long (1973). Halaman 451.
- ^ a b Odgers (1968). Halaman 461.
- ^ Johnston (2002). Halaman 203.
- ^ Hopkins (1978). Halaman 159-161.
- ^ Morison (1959). Halaman 262.
- ^ Long (1963). Halaman 427.
- ^ Long (1963). Halaman 430-434.
- ^ I Australian Corps (1980). Halaman 52.
- ^ Long (1973). Halaman 453.
- ^ Stanley (1997). Halaman 168.
- ^ a b Johnston (2002). Halaman 218.
- ^ Odgers (1968). Halaman 458-459.
- ^ a b Stanley (1997). Halaman 175.
- ^ Long (1963). Halaman 451-452.
- ^ Odgers (1968). Halaman 483.
- ^ a b Long (1973). Halaman 452.
- ^ Long (1963). Halaman 449-450.
- ^ Stanley (1997). Halaman 194-197
- ^ Stanley (1997). Halaman 203.
- ^ Morison (1959). Halaman 263.
- ^ Coates (2001). Halaman 286 dan 290.
- ^ Long (1963). Halaman 452.
- ^ Odgers (1968). Halaman 456-457.
- ^ Stanley (1997). Halaman 1.
Rujukan
sunting- I Australian Corps (1980) [1945?]. "Report on Operations. Borneo Campaign (Appendix to Japanese Monograph No. 26: Borneo Operations (1941—1945))". Dalam Foreign Histories Division, Office of the Military History Officer, Headquarters, United States Army Japan. War in Asia and the Pacific. Volume 6. The Southern Area (Part I). New York and London: Garland Publishing, Inc. ISBN 082403290X.
- Coates, John (2001). An Atlas of Australia's Wars. Melbourne: Oxford University Press. ISBN 0195541197.
- Coulthard-Clark, Chris (2001). The Encyclopaedia of Australia's Battles. Sydney: Allen & Unwin. ISBN 10987654321 Periksa nilai: length
|isbn=
(bantuan). - Wesley Craven and James Cate (1953), The Army Air Forces in World War Two. Volume V: Matterhorn to Nagasaki. Government Printing Office, Washington D.C.
- Gill, G Herman (1968). Royal Australian Navy, 1942—1945. Australia in the War of 1939–1945. Canberra: Australian War Memorial. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-27. Diakses tanggal 2008-03-01.
- Hopkins, R.N.L. (1978). Australian Armour. A History of the Royal Australian Armoured Corps 1927—1972. Canberra: Australian War Memorial and the Australian Government Publishing Service. ISBN 0642994072.
- Johnston, Mark (2002). That Magnificent 9th. An Illustrated History of the 9th Australian Division 1940—46. Sydney: Allen & Unwin. ISBN 1865086541.
- Long, Gavin (1963). The Final Campaigns. Australia in the War of 1939–1945. Canberra: Australian War Memorial. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-27. Diakses tanggal 2008-03-01.
- Long, Gavin (1973). The Six Years War. Australia in the 1939—45 War. Canberra: Australian War Memorial dan Australian Government Publishing Service. ISBN 0-642-99375-0.
- Samuel Eliot Morison (1959), The Liberation of the Philippines: Luzon, Mindanao, the Visayas 1944—1945. Little, Brown and Company, Boston.
- Odgers, George (1968) [1957]. Air War Against Japan, 1943—1945. Australia in the War of 1939–1945. Canberra: Australian War Memorial. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-27. Diakses tanggal 2008-03-01.
- Ogawa, Itsu (1980) [1957]. "Japanese Monograph No. 26: Borneo Operations (1941—1945)". Dalam Foreign Histories Division, Office of the Military History Officer, Headquarters, United States Army Japan. War in Asia and the Pacific. Volume 6. The Southern Area (Part I). New York and London: Garland Publishing, Inc. ISBN 082403290X.
- Royal Navy (1959), Naval Staff History Second World War: War with Japan, Volume VI; The Advance to Japan. British Admiralty, London.
- Stanley, Peter (1997). Tarakan. An Australian Tragedy. Sydney: Allen & Unwin. ISBN 1864482788.