Pertempuran Binuangeun


Pertempuran Binuangeun adalah pertempuran antara pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Belanda yang terjadi pada 7 hingga 9 Januari 1947 di Binuangeun, Jawa Barat. Pertempuran ini merupakan bagian dari Agresi Militer Belanda I, yang diluncurkan oleh Belanda dengan tujuan untuk menguasai kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Republik Indonesia setelah kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Pertempuran Binuangeun
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia dan Agresi Militer Belanda I
Tanggal9 Januari–21 Juli 1947
LokasiBinuangeun, Jawa barat
Hasil
  • Genjatan senjata
Perubahan
wilayah
Binuangeun diambil kembali oleh pasukan Belanda
Pihak terlibat
 Indonesia  Belanda
Tokoh dan pemimpin
Indonesia Ibrahim Adjie Belanda Simon Spoor
Pasukan
TNI KNIL
Kekuatan
1,000-1,500 3,000-5,000
Korban
100+ korban lebih rendah

Latar Belakang

sunting

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya atas wilayah Indonesia melalui agresi militer. Pada saat itu, Belanda menganggap bahwa keberadaan Republik Indonesia sebagai negara merdeka harus dihentikan demi mempertahankan kepentingan ekonomi dan politiknya di Asia Tenggara. Wilayah yang menjadi target utama serangan Belanda termasuk daerah-daerah strategis, seperti perkebunan, ladang minyak, dan sumber daya alam lainnya yang berada di Sumatera, Jawa, dan Bali.

Pada Januari 1947, Belanda melancarkan operasi militer dengan nama Operasi Produk, dengan tujuan untuk menekan perlawanan Indonesia dan merebut daerah-daerah yang dianggap vital bagi ekonomi Belanda, termasuk wilayah Binuangeun di Jawa Barat.

Kekuatan Pasukan

sunting

Pasukan Indonesia dalam pertempuran ini terdiri dari sekitar 1.000 hingga 1.500 orang, yang sebagian besar adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru dibentuk setelah kemerdekaan Indonesia. Pasukan Indonesia berjuang dengan semangat tinggi meskipun hanya dilengkapi dengan senjata ringan dan persenjataan terbatas.

Di sisi lain, Belanda mengerahkan sekitar 3.000 hingga 5.000 tentara, yang terdiri dari pasukan infanteri, artileri, serta dukungan tank dan pesawat terbang. Kekuatan tempur yang jauh lebih besar dan lebih modern ini memberikan keuntungan strategis bagi Belanda dalam menghadapi pasukan Indonesia yang lebih kecil.

Jalannya Pertempuran

sunting

Pertempuran Binuangeun berlangsung sengit selama tiga hari, dimulai pada 7 Januari 1947, ketika pasukan Belanda melancarkan serangan besar-besaran. Meskipun pasukan Indonesia melakukan perlawanan keras, termasuk serangan dari pasukan gerilya dan pertahanan posisi yang kokoh, namun jumlah dan kekuatan Belanda yang lebih besar akhirnya memaksa pasukan Indonesia mundur.

Selama pertempuran, pasukan Indonesia menggunakan strategi bertahan dan melancarkan serangan-serangan kecil yang mengganggu gerakan pasukan Belanda. Namun, akibat superioritas senjata dan dukungan logistik dari Belanda, wilayah Binuangeun akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 9 Januari 1947.

Korban dan Kerugian

sunting

Pada pertempuran ini, pihak Indonesia mengalami korban yang cukup besar, baik dari kalangan tentara maupun warga sipil. Beberapa sumber mencatat bahwa lebih dari seratus orang Indonesia gugur dalam pertempuran ini, meskipun angka pasti korban masih sulit untuk dipastikan.

Di sisi Belanda, korban lebih sedikit, tetapi tetap mencatatkan kerugian dalam hal jumlah pasukan dan peralatan. Namun, karena Belanda memiliki keunggulan dalam hal persenjataan dan dukungan dari negara-negara sekutunya, mereka tetap mampu menguasai wilayah tersebut dalam waktu singkat.

Dampak dan Konsekuensi

sunting

Kemenangan Belanda dalam pertempuran ini memberikan mereka kontrol atas wilayah Binuangeun, namun perlawanan dari pasukan Indonesia tidak berhenti di sana. Pertempuran Binuangeun memperburuk hubungan antara Indonesia dan Belanda dan mempercepat terjadinya perundingan internasional.

Setelah agresi militer ini, Indonesia membawa masalah tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengeluarkan resolusi untuk menghentikan tembak-menembak. Hal ini mengarah pada pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) yang bertujuan untuk memfasilitasi gencatan senjata dan perundingan lebih lanjut antara Indonesia dan Belanda.

Meskipun Belanda berhasil merebut beberapa wilayah, mereka harus menghadapi tekanan internasional yang semakin meningkat. Agresi Militer Belanda I, termasuk pertempuran Binuangeun, akhirnya berujung pada Perjanjian Linggarjati yang disepakati pada Maret 1947, meskipun pertempuran dan ketegangan terus berlanjut hingga perundingan berikutnya.

Referensi

sunting