Petrus Adrianus Daum
artikel ini tidak memiliki pranala ke artikel lain. |
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |
Petrus Adrianus Daum (lahir di Den Haag, Belanda pada 1850; meninggal di Dieren, Belanda pada 1898) adalah seorang wartawan dan sastrawan Belanda yang aktif di Hindia Belanda. Ia pernah bekerja di jawatan kereta api Belanda sebelum menjadi wartawan di Het Vaderland (Tanah Air), sebuah surat kabar di Den Haag. Ia diundang untuk menjadi wakil redaktur di surat kabar De Locomotief di Semarang. Pada tahun 1880, setahun setelah pertama kali bekerja di sana, dia diangkat menjadi kepala redaksi De Locomotief. Pada 1 Januari 1883 ia menjalankan Het Indisch Vaderland yang dibelinya karena surat kabar itu nyaris bangkrut.[1] Ia berhasil menaikkan nama surat kabar itu. Setelah pada Oktober 1885 surat kabarnya dilarang karena mengecam pedas beleid pemerintah, ia pindah ke Betawi dan mendirikan Het Bataviaasch Nieuwsblad.[2] Dalam bidang sastra, ia menggunakan nama Maurits, yang diperkenalkannya pada khalayak sejak 1883 lewat Uit De Suiker In De Tabak (Dari Gula Pindah Ke Tembakau).[2] Novelnya yang lain adalah Goena-Goena.[3] Ia cukup dalam mempelajari karya-karya Emile Zola. Hal itu mempengaruhi bentuk laporan objektif dan berdokumentasi lengkap tentang sebagian kenyataan dalam masyarakat. Tapi, Maurits juga tidak menyukai gaya penulisan Zola yang bertele-tele dan panjang lebar.[4] Menurut Gerard Thermorsuizen, sebagai sastrawan maupun wartawan, Daum mengecam keadaan masyarakat. Tetapi, antara gaya penulisan Daum dan Maurits terdapat perbedaan. Daum selalu menggerutu dan mengeluh, tetapi terlibat dengan peristiwa yang dikeluhkannya. Sementara itu, Maurits membicarakan keburukan dan kelemahan orang lain dengan ironi dan cemooh yang jenaka, tapi selalu dari sudut pengamat yang lebih tinggi, dengan kata lain berjarak.[4] Dalam pengamatannya tentang masyarakat pulau Jawa pada tahun 1870-an, dalam salah satu tulisan, ia menyimpulkan bahwa "Rakyat pulau Jawa ini (...) merupakan rakyat kaum proletar, dan ini disebabkan karena caranya rakyat ini diperintah (...)"[4]
Referensi
sunting- ^ Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan. hlm. 161
- ^ a b Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan. hlm. 162
- ^ Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan. hlm. 163
- ^ a b c Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan. hlm. 164