Pewarna makanan
Pewarna makanan merupakan zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan penampilan makanan segar dan olahan. Tujuan pemberian warna dimaksudkan agar makanan terlihat lebih berwarna sehingga, menarik perhatian konsumen. Aditif warna adalah komponen penting dari banyak produk, membuatnya menarik, menarik, menggugah selera, dan informatif.[1] Bahan pewarna umumnya berwujud cair dan bubuk yang larut di air. Bahan pewarna termasuk pewarna alami, terutama berasal dari sumber nabati dan kadang-kadang disebut pewarna nabati; pigmen anorganik; kombinasi senyawa organik dan logam; dan zat sintetis lainnya.[2]
Zat pewarna ini biasanya ditambahkan ke kulit buah, kulit luar sosis, makanan yang dipanggang, permen, minuman berkarbonasi, agar-agar, campuran minuman bubuk, dan banyak makanan lainnya. Banyak dari aditif ini juga digunakan sebagai zat pewarna dalam kosmetik, obat-obatan, dan produk seperti pasta gigi dan obat kumur.[2] Salah satu peran Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) atau BPOM di Indonesia adalah memastikan bahwa aditif warna digunakan dengan aman dan tepat.[1]
Tampilan makanan merupakan hal yang sangat memengaruhi perhatian konsumen, salah satunya warna. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa warna makanan membantu konsumen mengidentifikasi makanan dan minuman lebih tepat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa seseorang selalu mengasosiasikan rasa dengan warna tertentu, begitu pula ketika warna makanan diubah, maka identifikasi rasa dan bau makanan menjadi berkurang.[3]
Tujuan
suntingSeperti berbagai zat aditif lain yang digunakan dalam makanan, warna juga hanya dapat digunakan jika memiliki tujuan yang bermanfaat, aman, dan tidak menyesatkan konsumen. Warna dapat digunakan untuk mengembalikan penampilan asli makanan yang warnanya dipengaruhi oleh pemrosesan, penyimpanan, dll. Selain itu, warna juga dapat membuat makanan menarik secara visual dan memberi warna pada makanan yang tidak berwarna serta memberi label kekhasan pada makanan tersebut.[4][enjoy your life]
Sejarah
suntingPenambahan zat pewarna pada makanan sudah mulai terjadi di kota-kota daerah Mesir. Pada awalnya, para pembuat permen sekitar 1500 SM menambahkan ekstrak alami dan anggur untuk meningkatkan penampilan produk mereka. Hingga sampai pertengahan abad ke-19 bahan-bahan, seperti rempah-rempah kunyit dari daerah lokal ditambahkan ketika proses produksi untuk efek dekoratif pada bahan makanan tertentu.[5]
Pada awal tahun 1856, William Henry Perkin menemukan pewarna organik sintetis pertama, yang disebut mauve atau lembayung muda, yang digunakan untuk mewarnai makanan, obat-obatan, dan kosmetik. Selanjutnya mulai tahun 1900, proses pewarnaan ini adalah praktik yang umum digunakan untuk makanan, obat-obatan, dan kosmetik yang tersedia di AS untuk diwarnai secara buatan.[6]
Namun, seiring bertambahnya penggunaan warna pada makanan, beberapa masalah pun muncul di industri makanan. Pewarna buatan tidak hanya digunakan untuk menyamarkan kualitas yang buruk tetapi juga memungkinkan mewarnai makanan tiruan untuk dijual sebagai barang asli, hingga pada akhirnya menyesatkan konsumen. Selain itu, diketahui pula berbagai warna yang digunakan dalam makanan bersifat racun, seperti keju diwarnai dengan timbal merah, acar dengan tembaga sulfat, hingga permen dengan garam mineral. Akibatnya, keracunan makanan menjadi hal biasa dan pada tahun 1851, sekitar 200 orang keracunan di Inggris, 17 di antaranya berakibat fatal, akibat memakan pelega tenggorokan berwarna yang mengandung racun.[7] Dengan demikian, regulasi diterapkan di berbagai negara untuk mengurangi kemungkinan dampak buruk yang dapat terjadi.
Zat alami
suntingBerbagai zat sintesis yang digunakan sebagai bahan pewarna makanan dapat digantikan dengan zat alami. Misalnya saja, zat warna hijau dapat ditemui pada klorofil tumbuhan, sehingga berbagai sayur dan buah dapat digunakan sebagai pewarna makanan hijau.[8]
Adapun warna kuning dan oranye didapatkan dari pigmen karotenoid yang sudah teridentifikasi sebanyak 700 pigmen di alam.[8] Makanan yang mengandung karotenoid seringkali berwarna merah, kuning atau oranye, namun beberapa lain tidak. Adapun zat ini ditemukan pada wortel, ubi, ubi jalar, pepaya, semangka, melon, mangga, bayam, kangkung, tomat, paprika. dan jeruk.[9]
Warna merah dan ungu bisa didapatkan dari pigmen antosianin yang ada pada tumbuhan.[8] Sumber antosianin diantaranya beri, anggur, apel, plum, dan kubis.[10]
Referensi
sunting- ^ a b Nutrition, Center for Food Safety and Applied (2020). "Color Additives History". FDA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-30.
- ^ a b Editor Ensiklopedia Britannica (2021). "food coloring | Ingredients, Uses, & Regulation | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-30.
- ^ Delwiche, Jeannine (2003). "The impact of perceptual interactions on perceived flavor" (PDF). Food Quality and Preference. 15: 140. doi:10.1016/S0950-3293(03)00041-7. Archived from the original on 2013-02-28. Diakses tanggal 2022-01-30.
- ^ Praja, Denny Indra (2015-09-01). Zat Aditif Makanan: Manfaat dan Bahayanya. Garudhawaca. ISBN 978-602-7949-55-3.
- ^ Downham, Alison (2000). "Colouring our foods in the last and next millennium". International Journal of Food Science and Technology. 35: 6.
- ^ Filippone, Peggy Trowbridge (2021). "Food Coloring History". The Spruce Eats (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-31.
- ^ Safefood (2020). "This history of food colouring". Safefood (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-31.
- ^ a b c Coultate, T; Blackburn (2018). "Food colorants: their past, present, and future" (PDF). Coloration Technology. 134 (3): 10–12. doi:10.1111/cote.12334.
- ^ Szalay, Jessie (2015). "What Are Carotenoids?". livescience.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-30.
- ^ Mattioli, Roberto; Francioso, Antonio; Mosca, Luciana; Silva, Paula (2020). "Anthocyanins: A Comprehensive Review of Their Chemical Properties and Health Effects on Cardiovascular and Neurodegenerative Diseases". Molecules. 25 (17): 1. doi:10.3390/molecules25173809. ISSN 1420-3049. PMC 7504512 . PMID 32825684.