Planaria
Planaria | |
---|---|
Dugesia subtentaculata, seekor dugesiidae. | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Kelas: | |
Ordo: | Tricladida Lang, 1884
|
Subordo | |
Planaria termasuk dalam Filum Platyhelminthes yang memiliki bentuk tubuh pipih dan simetri bilateral. Planaria berhabitat di daerah bertemperatur 18–24 °C dengan ketinggian antara 500–1500 m dpl. Tubuh planaria tersusun dari bagian cranial, trunchus dan caudal. Bagian cranial terdapat kepala dengan sepasang eye spot yang berfungsi sebagai fotoreseptor (Dasheiff & Dasheiff, 2002) dan sepasang auricle yang terletak dibagian lateral tubuh pada bagian cranial.
Planaria merupakan hewan triploblastik aselomata dengan tubuh planaria tersusun solid tanpa adanya coelom. Semua ruangan yang terletak di antara organ viseral tersusun oleh mesenkim, yang lebih dikenal dengan sebutan parenkim (Kenk, 1972; Hyman, 1951 dalam Reddien & Alvarado, 2004). Planaria banyak digunakan sebagai indikator kualitas perairan terutama perairan tawar. Perairan yang terdapat planaria hampir dapat dipastikan belum tercemar. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Zhang et al., (2010) yang menunjukkan bahwa Dugesia japonica dapat berperan sebagai spesies bioindikator untuk deteksi dan evaluasi efek logam kadmium pada perairan tawar. Selain sebagai bioindikator pencemaran, planaria juga banyak diteliti karena kemampuan regenerasi yang tinggi melalui pembentukan blastema (Baguna et al., 1989; Salo & Baguna, 1989; Newmark & Alvarado, 2001).
Reproduksi planaria terjadi melalui dua moda, yaitu reproduksi aseksual (transverse fission) dan reproduksi seksual dengan pembentukan gamet.
Reproduksi seksual
suntingPada reproduksi seksualnya, planaria dikenal sebagai hewan hermafrodit. Individu planaria yang bereproduksi secara seksual (sexual strain) mampu membentuk organ reproduksi yang berkembang pasca masa embrional, sedangkan individu yang bereproduksi secara aseksual (asexual strain) gagal membentuk organ reproduksi sehingga mutlak bereproduksi melalui pembelahan transversal (Chong et al., 2011a).
Planaria yang sudah dewasa mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina, jadi bersifat monoecious (hermafrodit). Testis dan ovarium berkembang dari sel-sel formatif. Reproduksi seksual planaria dilakukan dengan cara dua planaria saling melekat pada sisi ventral-posterior tubuhnya dan terjadi kopulasi (cross fertilisasi), saling pertukaran produk seks antara dua planaria yang berbeda. Planaria melakukan reproduksi seksual setiap tahun di bulan Februari-Maret. Setelah masa reproduksi seksual, alat reproduksi mengalami degenerasi dan planaria kemudian mengalami masa reproduksi aseksual (Kastawi, dkk. 2001).
Reproduksi aseksual
suntingFragmentasi merupakan proses reproduksi aseksual pada planaria, dengan membelah diri secara transversal, masing-masing belahan mengembangkan bagian-bagian yang hilang dan berkembang menjadi satu organisme utuh. Meskipun jumlah individu yang dihasilkan dengan reproduksi aseksual itu sangat besar, tetapi proses ini mempunyai batasan yang serius, yaitu bahwa tiap turunan identik dengan induknya (Barnes, dkk. 1999).
Kemampuan regenerasi
suntingPlanaria umum digunakan sebagai hewan uji, khususnya pada eksperimen regenerasi. Kemampuan regenerasinya sangat tinggi, terutama bagi anggota yang hidup di air tawar. Kemampuan regenerasi pada Planaria sudah lama menjadi sorotan yang menarik (lebih dari 230 tahun). Planaria mampu melakukan regenerasi walaupun bagian tubuhnya terpotong hingga 1/279 bagian (Morgan, 1901 dalam Newmark & Alvarado, 2001). Penyembuhan luka merupakan proses yang sangat cepat bagi Planaria. Penyembuhan luka membutuhkan waktu sekitar 30 menit setelah pelukaan dilakukan (Newmark & Alvarado, 2001; Reddien & Alvarado, 2004; Estéves & Saló, 2010). Regenerasi adalah kemampuan untuk memproduksi sel, jaringan atau bagian tubuh yang rusak, hilang atau mati. Planaria menunjukan daya regenerasi yang kuat, bila cacing tersebut mengalami luka baik secara alami maupun secara buatan, bagian tubuh manapun yang mengalami kerusakan akan diganti dengan yang baru. Individu cacing yang di potong-potong akan menghasilkan cacing-cacing kecil yang utuh, Setiap potongan dapat tumbuh kembali (regenerasi) menjadi individu-individu baru yang lengkap bagian-bagiannya seperti induknya (Sutikno,1994 ).
Sepotong potongan membujur dari bagian samping akan beregenerasi dengan normal, jika potongan itu tetap lurus. Jika potongan itu membengkok atau melengkung, maka kepala akan tumbuh pada bagian samping dalam. Jika kepala Planaria dibelah akan dapat terbentuk seekor Planaria yang berkepala dua, kemudian jika pembelahan ini dilanjutkan ke posterior sampai terjadi dua buah belahan, maka tiap belahan akan dapat tumbuh menjadi seekor cacing yang lengkap bagian-bagiannya seperti induknya. Tahapan Regenerasi Planaria dimulai dengan adanya neoblast yang akan tampak terhimpun pada permukaan luka bagian sebelah bawah epithelium sehingga terbentuknya suatu blastema yang kemudian struktur sel mengalami diferensiasi dalam pertumbuhan blastema dan dibawah kondisi yang optimal mengalami regenerasi berpoliferasi 12 membentuk bagian-bagian yang hilang. Tahapan regenerasinya sebagai berikut dediferensiasi blastema-rediferensiasi (Radiopoetra,1990).
Stem Cell Planaria sp.
suntingAgar dapat disebut sebagai stem cell, terdapat karakteristik yang mesti dipenuhi yaitu belum berdiferensiasi, mampu memperbanyak diri, dan dapat berdiferensiasi menjadi lebih dari satu jenis sel (multipoten/pluripotent). Sel tersebut tidak hanya berasal dari embrio maupun fetus, tetapi dapat berasal dari berbagai bagian tubuh. Stem cell diklasifikasikan berdasarkan asalnya, jenis organ/jaringan asal, penanda permukaan, dan hasil akhir diferensiasi.
Manusia sudah sejak lama tertarik dengan kemampuan regenerasi sel tubuh dari makhluk hidup seperti cacing pipih Planaria sp maupun Hydra. Kedua invertebrata tersebut memiliki kemampuan regenerasi yang sangat cepat dan akurat. Kemampuan itu tidak dimiliki sebagian besar vertebrata dengan kelas yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, manusia mulai memikirkan pengembangan kemampuan regenerasi sebagai bagian erapi berbagai macam penyakit.1 Sejak tahun 1950-an, stem cell mulai menarik minat peneliti di seluruh dunia, yaitu sejak ditemukannya sel yang menyusun sumsum tulang yang dapat membentuk semua jenis sel darah pada manusia yang selanjutnya disebut stem cell hematopoietic. Stem cell itulah yang berperan sebagai awal mula pertumbuhan sel dalam menyusun tubuh manusia secara keseluruhan.2 Stem cell dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi sel punca yang berarti awal mula. Stem cell menjadi secercah harapan sebagai terapi mutakhir dari berbagai macam penyakit degeneratif yang merupakan penyebab kematian sekaligus menurunkan kualitas hidup manusia seperti diabetes melitus, aterosklerosis, stroke, dan infark miokard akut. Penyakit degeneratif mengakibatkan kerusakan di tingkat sel yang bersifat irreversible, sehingga terapi konvensional tidak dapat mengatasinya secara sempurna. Selama ini terapi hanya berperan dalam memperlambat maupun mencegah kerusakan jaringan/organ yang lebih luas.
Dengan demikian melalui aplikasi stem cell secara klinis, diharapkan dapat menjadi jawaban dalam mengatasi kerusakan sel yang irreversible.
Referensi
sunting- Endah Sri Palupi, I.G.A. Ayu Ratna Puspita Sari, Atang, Eko Setio Wibowo. 2017. Kemampuan Regenerasi Planaria Dari Perairan Lereng Gunung Slamet, Baturraden, Banyumas Pada Berbagai Perbedaan Ukuran Tubuh. Semnas Biodiversitas. 6(3): 44 – 47
- Umi Wardani. 2011. Pengaruh Derajat Keasaman Dan Bagian Potongan Tubuh Planaria (Euplanaria Sp.) Terhadap Kecepatan Regenerasi Sebagai Alternatif Praktikum [skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember.
- Susintowati. 2012. Regenerasi dan Respons Gerak Planaria. Jurnal Saintek. 9(2): 110–114
- Hilman Zulkifli Amin. 2013. Terapi Stem cell untuk Infark Miokard Akut. Jurnal Kedokteran: Vol. 1, No. 2