Planetarium

ruang untuk memperagakan susunan planet, matahari, dan benda benda lainnya di angkasa

Planetarium adalah gedung teater untuk memperagakan simulasi susunan bintang dan benda-benda langit. Atap gedung biasanya berbentuk kubah setengah lingkaran. Di planetarium, penonton bisa belajar mengenai pergerakan benda-benda langit di malam hari dari berbagai tempat di bumi dan sejarah alam semesta. Planetarium berbeda dari observatorium. Kubah planetarium tidak bisa dibuka untuk meneropong bintang.

Gedung Zeiss-Grossplanetarium di Berlin
Proyektor planetarium Carl Zeiss di Planetarium Stuttgart

Di dalam ruang pertunjukan terdapat sumber gambar berupa proyektor planetarium yang umumnya diletakkan di tengah ruangan.[1] Proyektor dapat memperagakan pergerakan benda-benda langit sesuai dengan waktu dan lokasi.

Pertunjukan berlangsung dengan narasi yang diiringi musik. Kursi memiliki sandaran bisa direbahkan agar penonton bisa melihat ke layar di bagian dalam langit-langit kubah. Layar berbentuk setengah bola, dan biasanya disusun dari panel aluminum. Materi pertunjukan bisa berbeda-beda bergantung kepada judul pertunjukan dan jadwal.

Pendahuluan sunting

 
Jakarta Planetarium.
 
 
Berkas:Planetarium Taman Pintar Yogyakarta.jpg

Planetarium adalah sebuah tempat atau ruangan dengan atap berbentuk kubah untuk menyimulasikan keadaan langit yang sebenarnya, dipandang dari segala tempat di Bumi dan segala waktu. Sebuah planetarium dilengkapi proyektor bintang, biasanya terletak di tengah ruangan, yang berfungsi untuk memproyeksikan cahaya pada atap kubah planetarium, untuk menghasilkan cahaya benda-benda langit seperti bintang-bintang, planet, bulan dan lain-lain sehingga menghasilkan gambaran keadaan langit malam sebenarnya.

Lahirnya planetarium itu sendiri didorong oleh keinginan dari diri manusia yang senantiasa mencari tahu dan memahami hakikat kehidupan ini. Hal-hal yang terjadi di sekelilingnya berusaha dipahami dengan akalnya. Sejarah mencatat bahwa manusia sudah mulai memperhatikan benda-benda langit dengan karakternya masing-masing sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi –ribuan tahun dari sekarang. Pada waktu itu manusia telah mencoba membedakan benda-benda langit satu dengan lainnya. Manusia juga telah mengamati letak dan pergerakan benda-benda langit tersebut.

Dalam proses memahami itulah, sejak sekitar dua abad SM dicoba dibuat alat-alat yang menirukan gerak benda-benda itu, yang juga berfungsi sekaligus untuk menguji ketepatan teori yang ada saat itu. Kemudian sekitar abad 17 telah dikenal alat peraga yang disebut planetarium, stellarium, tellurium, dan lunarium. Pada akhir abad 17 telah dibuat dinding bola yang permukaan dalamnya digambari bintang-bintang atau diberi lubang kecil-kecil untuk dilalui cahaya matahari sebagai penggambaran letak bintang-bintang (S.Darsa, 1992).

Planetarium kuno pertama adalah alat peraga atau model miniatur Tata Surya dengan menggunakan mesin mekanik, hasil karya tinggi dari tangan pembuat arloji. Alat peraga tersebut memang dibuat untuk mengenal waktu, dengan membuat peraga benda-benda langit yang bergerak yang dapat dijadikan acuan waktu astronomis. Dari sinilah cikal bakal planetarium.

Cara-cara yang sederhana ini kemudian memberi dorongan munculnya pikiran-pikiran inovatif untuk menciptakan sistem proyeksi cahaya pada dinding bola yang terus digunakan sampai saat ini. Alat peraga yang berupa mesin mekanik yang dapat menggambarkan gerak planet-planet mengelilingi Matahari dengan teliti terakhir dibuat tahun 1924, tidak dapat bersaing dengan sistem proyeksi cahaya yang dilengkapi dengan mesin-mesin penggeraknya.

Gagasan untuk membuat alat peraga dengan sistem proyeksi cahaya untuk menghasilkan gambaran langit mendekati sebenarnya ini giat dikemukakan oleh Max Wolf, astronom Jerman. Pada masa itu, kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang optik, instrumentasi, dan listrik memungkinkan untuk merealisasikan gagasan ini. Perusahaan Carl Zeiss, yang berdiri sejak 1846 dan terkenal akan reputasinya dalam pembuatan instrumentasi optik yang berkualitas, merupakan perusahaan yang dipercaya untuk membuat alat proyeksi cahaya tersebut.

Pada bulan Agustus 1923, proyektor pertama (Model I) ini dipasang di Jena untuk diuji coba, di bawah kubah berdiameter 16 meter. Kemudian pada bulan Mei 1925 proyektor tersebut dipasang secara permanen di Deutsches Museum (Museum Jerman), München. Masyarakat yang menyaksikan pertunjukan perdananya dibuat sangat terpukau. Planetarium pertama ini sempat hancur dalam perang dunia II, tetapi pada tahun 1950-an dibangun kembali.

Sejak hadirnya proyektor yang pertama tersebut, proyektor-proyektor baru dengan berbagai pemutakhiran untuk menghadirkan langit dan isinya pada ruangan berkubah terus bermunculan. Dengan segala kecanggihannya, kini planetarium tak lagi hanya sebuah alat untuk memahami pergerakan benda-benda langit, tetapi juga untuk menjelaskan astronomi secara umum dan luas. Dilengkapi berbagai sarana dan kegiatan yang mendukung, planetarium modern kini telah menjadi tempat wisata yang ilmiah, berekreasi sambil berilmu.

Demikianlah planetarium lahir dari tangan manusia untuk membantu manusia memahami alam semesta dan memahami posisinya di jagat raya maha luas ini. Planetarium Jakarta yang merupakan satu dari sekian ribu planetarium di seluruh dunia pun berdiri sebagai alat manusia Indonesia yang ingin membuka matanya dalam memandang alam semesta ini.

Sejarah sunting

Planetarium mulanya adalah alat peraga mekanik untuk memperlihatkan pergerakan benda-benda langit seperti bintang, planet, Bulan, dan matahari. Hingga abad ke-19, planetarium berarti alat peraga mekanik yang disebut orrery.

Proyektor planetarium yang pertama dibuat pada tahun 1919 berdasarkan ide Walther Bauersfeld dari Carl Zeiss.[2] Pada bulan Agustus 1923, proyektor pertama yang diberi nama Model I dipasang di pabrik Carl Zeiss di Jena. Bauersfeld untuk pertama kali mengadakan pertunjukan di depan publik dengan proyektor tersebut di Deutsches Museum, München, 21 Oktober 1923.

Deutsches Museum menjadi planetarium pertama di dunia setelah proyektor dipasang secara permanen pada bulan Mei 1925. Di awal Perang Dunia II, proyektor dibongkar dan disembunyikan. Setelah Deutsches Museum yang hancur akibat Perang Dunia II dibangun kembali, proyektor Model I kembali dipasang pada 7 Mei 1951.[2]

Statistik sunting

Gedung planetarium umumnya dikelola oleh lembaga pendidikan atau museum. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 3.300 planetarium (data 4 Maret 2008) dengan total lebih dari 110 juta penonton.[3] Walaupun demikian, jumlah planetarium di dunia jauh lebih banyak bila planetarium mini milik sekolah ikut dihitung.

Negara yang memiliki planetarium terbanyak di dunia adalah Amerika Serikat. Di Amerika Serikat terdapat lebih dari 1.500 planetarium.[3] Di Eropa terdapat lebih dari 450 planetarium.[4]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Petersen, Mark C. ""What in the Heck Is a Planetarium Anymore?"". Loch Ness Productions. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-29. Diakses tanggal 10 October 2008. 
  2. ^ a b Chartrand, Mark R. (1 September 1973). "A Fifty Year Anniversary of a Two Thousand Year Dream [The History of the Planetarium]". reprinted from the Planetarian. Diakses tanggal 10 October 2008. 
  3. ^ a b Petersen, Mark C. (4 March 2008). "Tallying The World's Planetarium Attendance". Loch Ness Productions. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-20. Diakses tanggal 10 October 2008. 
  4. ^ Daftar planetarium situs planetariumsclub.de: Jerman Diarsipkan 2011-12-30 di Wayback Machine. dan Eropa Diarsipkan 2009-12-14 di Wayback Machine.

Pranala luar sunting