Pragmasemantik (bahasa Inggris: pragmasemantics) atau teori makna pragmatis merupakan teori yang menekankan keterkaitan deskripsi etnografi dengan analisis linguistik. Dalam hal ini, kajian bahasa dikaitkan dengan konteks kebudayaan dan budaya dengan interpretasi linguistiknya. Teori ini mencoba menghubungkan tata bahasa dengan konteks situasi dan konteks budaya. Oleh sebab itu, pragmasemantik hanya bisa diterapkan pada tuturan (balik lisan maupun tulisan) yang ditemukan dalam masyarakat.[1]

Gagasan fundamental teori ini adalah bahwa makna suatu ujaran disediakan oleh konteks dalam aktivitas manusia. Fakta linguistik yang sebenarnya merujuk pada ujaran utuh yang berdasarkan konteks situasi. Konteks situasi dapat memperjelas makna kalimat yang secara semantik bermakna ganda atau ambigu. Gagasan fundamental ini sangat penting dalam seluruh kajian linguistik terutama yang berkaitan dengan penelitian bahasa lisan, variasi bahasa, fenomena kontak bahasa, dan penggunaan bahasa secara umum.[1][2]

Secara sederhana, teori ini mengkaji makna dalam suatu bahasa melalui perspektif dua kajian, yaitu semantik dan pragmatik. Semantik mengkaji makna yang bebas konteks sedangkan pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks.[3] Semantik dan pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang berlainan, tetapi saling berkaitan dan saling melengkapi (komplementer). Dalam analisis semantik, upaya difokuskan pada arti kata secara konseptual. Di sisi lain, dalam analisis pragmatik, ada aspek makna yang lebih bergantung pada konteks dan maksud penutur. Dengan kata lain, komunikasi tidak hanya bergantung pada mengenali arti kata dalam suatu tuturan, tetapi juga mengenali maksud penutur melalui tuturannya.[3]

Teori ini menyamakan makna dengan fungsi pragmatis yaitu memandang bahasa secara fungsional dan kontekstual dengan semantik sebagai titik awal analisis linguistik. Untuk memahami makna semantik, diperlukan tiga komponen utama: (1) konteks kalimat, (2) makna kata-kata dalam kalimat, dan 3) struktur morfologi dan sintaksis kalimat tersebut. Melalui tiga komponen utama, dapat diketahui bahwa makna semantik bergantung pada situasi yang melatarbelakangi kalimat tersebut dituturkan, leksikon dalam suatu bahasa (kamus), dan struktur gramatikal dari kalimat tersebut. Sedangkan untuk memahami makna penutur, diperlukan dua komponen utama: 1) makna semantik dan 2) konteks penggunaan.[4]

Sejarah sunting

Teori pragmasemantik pertama kali diperkenalkan oleh Bronislaw Malinowski, seorang antropolog yang memiliki minat besar terhadap kajian linguistik terutama etnolinguistik.[1][2] Ketertarikannya terhadap kajian linguistik berawal dari proyek penulisan tata bahasa Kilivila yang tidak berhasil ia wujudkan karena ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki pelatihan tentang kajian linguistik. Selain itu, ia juga sangat yakin bahwa kategori gramatika yang ditawarkan dalam teori linguistik pada masa itu tidak cocok untuk mendeskripsikan bahasa seperti bahasa Kilivila. Singkatnya, tidak ada teori etnolinguistik yang dapat mengakomodasi penelitian linguistik yang melibatkan penutur asli dan hubungannya dengan kajian etnografi.[1]

Menurutnya, peran budaya selalu memengaruhi makna dan penggunaan suatu bahasa. Ia juga menekankan bahwa makna sebuah kata terikat pada konteks situasi. Ia juga merupakan peletak dasar gagasan bahwa ujaran tidak memiliki makna tanpa konteks situasi; yang menjadi pilar penting teori-teori pragmatik. Baginya, makna sebuah kata berada pada penggunaannya. Oleh karena itu, pengkajian makna tidak bisa ditentukan dengan memisahkan kata dalam kalimat atau ujaran dari konteks situasinya.[1]

Implementasi sunting

Pragmasemantik juga telah digunakan untuk mengkaji berbagai fenomena kebahasaan di masyarakat, misalnya:

  1. Bahasa-bahasa konflik dalam penelitian Akanbi (2019) yang mengkaji ujaran Gowon dan Ojukwu, dua tokoh protagonis dalam Perang Sipil Nigeria selama 1967-1970.[5] Penggunaan teori ini didasarkan bahwa bahasa merupakan fenomena yang terjadi pada manusia dan berkaitan dengan perannya sebagai masyarakat. Oleh sebab itu, kajian tentang penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat dan dalam konteks situasi tertentu tidak bisa dipisahkan. Melalui analisis pragmasemantik, ditemukan bahwa ujaran-ujaran yang digunakan oleh kedua tokoh tersebut bersifat pragmatis dan tidak diarahkan untuk meredam ketegangan yang sudah meluas. Ujaran-ujaran itu tidak menjelaskan kepada para pengikut mereka bagaimana akibat buruk sebuah perang, juga tidak meyakinkan orang-orang untuk menapaki jalan perdamaian. Ujaran-ujaran tersebut justru lebih merujuk pada seruan yang tepat untuk berperang.
  2. Relasi emosi/sentimen dalam penelitian Basile (2016) yang mengkaji sesi argumentasi suatu debat.[6] Penggunaan teori ini dalam makalah tersebut didasarkan pada urgensi mendeteksi dan menganalisis emosi/sentimen yang dirasakan oleh orang-orang dalam suatu debat untuk pengembangan kecerdasan buatan. Teori pragmasemantik digunakan untuk menganalisis kumpulan data argumen tekstual dari perdebatan antarmanusia yang dianotasi dengan emosi/sentimen mereka.

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Senft, Gunter (2007). "Bronislaw Malinowski and Linguistic Pragmatics". Lodz Papers in Pragmatics. 3 (n/a): 79–96. doi:10.2478/v10016-007-0006-7. 
  2. ^ a b Schmidt, Bernd, 1951- (1984). Malinowskis Pragmasemantik. Heidelberg: C. Winter. ISBN 3-533-03218-3. OCLC 11048547. 
  3. ^ a b Wijana, I Dewa Putu, 1956- (1996). Dasar-dasar pragmatik. Andi Offset. ISBN 979-533-301-1. OCLC 225654362. 
  4. ^ Bagha, Karim Nazari (2011-11-01). "A Short Introduction to Semantics". Journal of Language Teaching and Research. 2 (6). doi:10.4304/jltr.2.6.1411-1419. ISSN 1798-4769. 
  5. ^ Akanbi, Timothy Adeyemi (2019). "A Pragma-Semantic Study of Language of Conflict: Gowon and Ojukwu Pre-Civil War Speeches in Focus". Open Journal of Modern Linguistics. 09 (05): 354–364. doi:10.4236/ojml.2019.95029. ISSN 2164-2818. 
  6. ^ Basile, Valerio; Cabrio, Elena; Villata, Serena; Frasson, Claude; Gandon, Fabien (2016-07-16). "A Pragma-Semantic Analysis of the Emotion/Sentiment Relation in Debates" (dalam bahasa Inggris).