Pulau Rajuni Ki'di'
Rajuni Ki'di' atau Rajuni Kecil adalah nama sebuah pulau kecil berpenghuni yang berada di gugusan sub Kepulauan Takabonerate, Kepulauan Selayar, perairan Laut Flores dan secara administratif masuk pada wilayah Desa Rajuni, Kecamatan Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Secara astronomis, pulau ini terletak di titik koordinat .[1] Pulau ini memiliki daya tarik berupa pantai pasir putih, panorama bawah laut, dan panorama alam.[2]
Geografi | |
---|---|
Lokasi | Laut Flores Asia Tenggara Samudra Hindia |
Koordinat | 6°32′22.434″S 120°59′55.771″E / 6.53956500°S 120.99882528°E |
Kepulauan | Kepulauan Takabonerate, Kepulauan Selayar, Kepulauan Sunda Besar (Pulau Sulawesi dan Pulau-pulau Kecil di Sekitarnya), Kepulauan Indonesia |
Dibatasi oleh | Laut Flores |
Pemerintahan | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sulawesi Selatan |
Kabupaten | Kepulauan Selayar |
Kecamatan | Takabonerate |
Desa | Rajuni |
Kependudukan | |
Penduduk | 900 KK / 3.000 jiwa (2022 (sudah mencakup penduduk Pulau Rajuni Besar dan Pulau Rajuni Kecil)) |
Bahasa | Bugis, Bajo, Buton |
Kelompok etnik | Bugis, Bajo, Buton |
Info lainnya | |
Zona waktu | |
Sejarah
suntingPulau Rajuni merupakan pulau dengan kepadatan penduduk tinggi. Sekurangnya terdapat 990 kepala keluarga dengan jumlah sekitar 3.000 jiwa hidup di Pulau Rajuni Kecil dan Pulau Rajuni Besar. Pulau Rajuni di masa lalu dijuluki pusat kerajaan di sisi selatan. Pulau Rajuni dengan permukimannya di kawasan Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Pada awalnya yang banyak ditempati adalah Pulau Rajuni Besar, sementara Pulau Rajuni Kecil menjadi tempat mencari ikan. Akan tetapi, saat ini, yang digunakan sebagai tempat berdomisili justru Pulau Rajuni Kecil.[3]
Di Pulau Rajuni pula tempat dimulainya penyebaran agama Islam di kawasan tersebut. Tokohnya bernama K.H. Muhammad Sai Dimasiki yang wafat pada sekitar tahun 1800. Pada saat itu, sebagian wilayah pulau tersebut sudah didiami sejumlah orang dari suku Bajo. Muhammad Sai juga yang mengenalkan tanaman kelapa kepada penduduk sebagai komoditas produktif yang saat itu bisa diandalkan. Komoditas kelapa menarik perhatian sebagian orang Bugis dari Sinjai untuk turut memperdagangkan komoditas tersebut. Sebagian di antaranya adalah pelarian dari Sinjai dan Bulukumba.[3]
Pada saat itu, sistem pengelolaan laut dengan keberadaan penggawa laut masih dipraktikkan. Berdasarkan cerita dahulu, praktik silelebas masih dilakukan. Sebagaimana ditulis Alder dan Christanty dalam Robinson dan Paeni, eds, (2005) masyarakat Bajo di Rajuni kecil dan pulau sekitar kerap mempraktikkan sistem penjadwalan penangkapan yang dikenal sebagai "silelebas". Ini merupakan bahasa Bajo yang secara literal artinya berganti-ganti. Silelebas bisa diartikan mengambil hasil-hasil laut yang berbeda-beda untuk kepentingan komersial pada saat berbeda dalam setahun berdasarkan siklus produksi mereka dengan Panglima Menteng sebagai pengendalinya.[3]
Musim penangkapan ada tiga, yakni penangkapan ikan, teripang, dan pengumpulan kima. Selama musim penangkapan ikan, nelayan boleh tangkap ikan untuk konsumsi atau dijual, tetapi kima dan teripang hanya bisa ditangkap untuk konsumsi hingga musim selanjutnya. Penangkapan kima dan teripang untuk kebutuhan komersial dalam masa ini dibolehkan kecuali selama masa bertelur. Namun, menurut Sallatang (1982), sistem ini berlaku hingga tahun 1940-an dan kemudian lenyap setelah 1945. Berdasarkan cerita pada masa itu, hasil tangkapan masih relatif banyak. Akan tetapi, setelah penggunaan bius dan pengeboman dalam menangkap ikan pada 1990-an, hasil tangkapan berkurang drastis. Menanggapi hal tersebut, model desa konservasi dibentuk sejak tahun 2016. Beberapa kelompok dibina pengelola taman nasional dengan gerakan, seperti transplantasi terumbu karang dan sejenisnya. Akan tetapi,sejumlah hal mendasar masih menjadi catatan. Misalnya saja sampah rumah tangga yang cenderung masih berserakan serta penambangan pasir dan karang secara terbuka untuk kebutuhan bahan bangunan.[3]
Warga yang dulu menetap di Pulau Tinabo Bakka' kini tinggal di pulau-pulau lebih besar, seperti Rajuni Bakka', Rajuni Ki'di', Latondu Besar, dan Latondu Kecil. Saat ini, Pulau Rajuni Ki'di' menjadi pulau terpadat di Kepulauan Takabonerate dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000 jiwa. Sebanyak 99 persen warga Rajuni Ki'di' bekerja sebagai nelayan tradisional. Karena kondisi lahan tidak memungkinkan untuk pertanian, warga menggantungkan hidup sepenuhnya dari laut. Namun, pada 1990-an, banyak nelayan yang mulai menggunakan cara tangkap destruktif, yakni dengan bom ataupun potasium sianida atau yang biasa disebut potas. Hal itu merusak atol dan terumbu karang.[3]
Pulau Rajuni Ki'di' merupakan salah satu pulau yang termasuk dalam gugusan pulau pada kawasan Taman Nasional Taka Bonerate.[4] Penetapan kawasan ini sebagai taman nasional dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 92/KPTS-II/2001 tanggal 15 Maret 2001.
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2012). "Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia". www.ppk-kp3k.kkp.go.id. Diakses tanggal 25 April 2023.
- ^ Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Selayar (2021). Dokumen Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Selayar 2021–2026. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Selayar. hlm. 41.
- ^ a b c d e Kumoro, Heru Sri (23 Oktober 2022). "Jelajah Terumbu Karang Dari Tinabo Ke Rajuni". jelajah.kompas.id. Diakses tanggal 31 Mei 2023.
- ^ Sani, M. Y., dan Suni, M. (2019). Wisata Bahari: Ragam Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan (PDF). Yayasan Gema Rakyat Semesta. hlm. 31–32. ISBN 978-623-90814-1-6.